Di kamar asrama, saat ini Salwa dan Nuha tengah istirahat sepulang kampus. Mereka pulang lebih awal, karena salah satu dosen berhalangan hadir.“Kenapa kau melamun?” tanya Neng Mas melihat sahabatnya diam lama dengan menopang sebelah tangannya di atas meja belajar. Biasanya gadis itu terlihat ceria. Namun hari itu ia seperti tengah menyimpan sesuatu yang mengganjal pikirannya.“Um, aku merasa aneh dengan sikap Kak Raja.”Salwa memutar tubuhnya dan menghadap Neng Mas yang tengah tengkurap di atas karpet bulu. Sesekali gadis bertubuh berisi melakukan gerakan macam renang.“Ka Raja temannya Mas Daniel?” tanya Neng Mas menimpali karena ia memang tidak tahu persis siapa pemuda tadi yang mengobrol dengan sahabatnya.“Masa kau tak ingat, Kak Raja itu masih sepupu Kak Romi itu lo,” tukas Salwa berdiri dari tempat duduknya dan ikut bergabung dengan sahabatnya di bawah. Ia ikut merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya. Namun posisi gadis itu terlentang, menatap nanar langit-langit kamar pondok
Rasanya Daniel kehilangan kewarasannya ketika ia tak bisa bertemu dengan calon istrinya dalam waktu yang cukup lama. Pemuda bergaya rambut undercut itu tengah disibukan dengan proyek barunya--membangun real estate di ibukota. Biasanya Daniel akan pulang dalam seminggu sekali, mendatangi Salwa saat berada di kampus sebab akan sangat sukar jika Daniel ingin menemuinya langsung. Kuliah kedokteran menyita sebagian besar waktu kekasihnya.Namun sudah hampir satu bulan ia tidak pulang ke kota hujan karena sibuk mengurus proyek, mengawasinya di lapangan dan mengurus coffee shop yang sudah mulai berkembang baik.Siang itu, Daniel tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia harus menuntaskan pekerjaannya jika ia ingin menemui kekasihnya. “Pak Daniel, ini dokumen yang Bapak minta.”Sekretaris muda-yang kini sudah berpakaian sopan menyerahkan tumpukan dokumen perjanjian penting pada atasannya. Kehadirannya mengusik pikiran Daniel yang berkelana.Seketika indera penciuman Daniel yang tajam bisa meng
Wajah pemuda itu mendadak panas. Sudah tak bisa dikondisikan lagi. Mungkin rezeki anak sholeh. Kebahagiaan dipeluk oleh sang kekasih hati seperti memenangkan lotere.Ia diam mematung dengan salah tingkah. Pipinya yang berkulit putih terlihat merona dari pipi menjalar hingga ke telinga. Jika Kinan melihatnya macam anak perawan pasti akan menertawakannya.Sisi lain, sang pelaku justru terlihat ketus setelah adegan sepersekian detik yang ia lakukan. Wajahnya ditekuk dan menunduk dalam. Gadis itu merutuki kebodohannya.Salwa ketiduran dan bermimpi bertemu dengan kekasihnya saat sakit kronis dulu. Ia begitu ketakutan andai kekasihnya itu tiada. Beruntung sang ibu dan adiknya tidak berada di sana menyaksikan tingkahnya. Jika ketahuan, habis sudah mereka berdua digiring ke KUA.“Lupakan yang barusan!” ucap gadis itu bahkan tak berani menatap lawan bicaranya.Mereka tengah duduk di kursi taman terhalang meja yang menjadi pembatas.Mendengar perkataan Salwa, Daniel hanya mengulum senyum dan be
Akhirnya Salwa Salsabila mendapat persetujuan sang ibu untuk ikut magang di klinik perusahaan PT JD Group. Ia berencana akan menjadi asisten dokter senior yang bertugas di sana. Bukan benar-benar senior karena telah bekerja lama di sana. Memang dokter itu direkrut dari klinik perusahaan yang berpusat di Bogor. Gadis itu akan mulai mengisi waktu produktifnya minggu depan. Sebab ia ingin menghabiskan waktunya dengan istirahat dan menikmati ‘kebebasan’ nya terlebih dahulu. Ya, bebas dari mengikuti mata kuliah yang menjejali otaknya. “Sekarang kita mau kemana?” tanya Neng Mas pada Salwa yang tengah memperbaiki rantai sepedanya yang longgar. Kini mereka memutuskan menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan menggunakan sepeda, seolah mengenang masa-masa putih abu-abu mereka. Ke dua sahabat itu seringkali menghabiskan waktu mereka bersepeda saat berangkat ke sekolah dan pergi berlatih silat di padepokan. “Sudah betul!” gumam Salwa dengan senyum yang mengembang. Tatapannya lalu beralih pada
“Salah! Aku tidak memesan kopi espresso! Aku memesan cappucino!”Salwa berkata dengan berlagak seperti bos. Bahkan dia duduk di atas kursi kebesaran Daniel Dash dengan bersedekap tangan di dada.‘Boleh lah merasakan menjadi CEO,’ batin gadis bertahi lalat itu.“Mbak, tadi ‘kan pesan espresso one shot,” tukas karyawati wanita muda itu dengan raut wajah tak tertolong. Tubuhnya gemetar karena ketakutan. Salwa menggeram kecil lalu berdiri dengan punggung bersandar pada meja dan tangan masih bertengger di dadanya. Kali ini manik berwarna karamel itu menelisik karyawati itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Angkat kepalamu!” titah gadis itu meraih dagu wanita itu. Mau tak mau wanita itu mendongak dengan perasaan kesal.‘Awas kau! Aku diam karena ada Bos Daniel! Jika tidak ada, aku akan kasih pelajaran untukmu! What the fuck! Selera Bos Daniel sungguh jelek. Cantik saja tidak cukup! Penampilannya mirip emak-emak pengajian. Um, sepertinya Bos Daniel dijodohkan. Mana mungkin suka dengan g
“Calon istri?” Seorang wanita muda memakai kemeja berlengan panjang nan ketat serta rok span selutut terkejut saat mendengar beberapa staf karyawati yang sedang menggunjingkan atasan mereka. “Betul, Mbak,” sahut rekan kerjanya yang lain, tengah duduk di kubikel sebelah kanannya. “Heboh satu kantor lihat calon istri Pak Daniel Dash!” “Emang siapa dia? I mean, anak siapa? Pemilik perusahaan apa? Artis? Selebgram? Anak pejabat?” telisik wanita muda-yang merupakan sekretaris Daniel Dash. Ia baru saja mendengar kabar tentang kedatangan calon istri atasannya. Pasalnya ia baru saja selesai membuat notulen rapat. “Kami belum tahu sih dia berasal dari keluarga mana. Yang pasti kayaknya keluarga pesantren. Soalnya penampilannya tertutup. Tapi kalau soal cantik jangan tanya! Wajahnya mirip Ralin Shah. Benar gak sih?” “Benar, tapi cukup bar-bar. Nona itu mengerjai staf resepsionis tadi,” timpal yang lain dengan gelegak tawa. “Emang kenapa dengan resepsionis?” tanya sang sekretaris begitu h
Di sebuah ruangan pantry berwarna cat putih. Beberapa office girl sedang mengobrol ria di sana. Sembari mengerjakan tugasnya, mereka seringkali membahas apapun.“Aduh, anakku itu nakalnya minta ampun. Masa tas ibunya diisi kelereng.”Seorang staf OG berbincang pada kawan di sebelahnya saat mereka tengah menyiapkan kopi pesanan dari ruang divisi HRD karena sedang mengadakan meeting.“Mana lihat?” Kawannya yang sesama seorang ibu mengintip tas yang dimaksud karena penasaran dengan perkataannya.“Silahkan monggo!” Wanita berusia kepala tiga itu melebarkan resleting tas bahunya. Seketika kawannya tertawa terbahak-bahak melihatnya.“Asli, anakmu itu lo di luar nulur!”Gelegak tawa pecah di ruang pantry.Tak jauh dari sisi mereka seorang staf resepsionis tengah menguping pembicaraan mereka.‘Kelereng? Wow, It’s great idea.’ Gadis muda itu menarik sudut bibirnya hingga membentuk seringai tajam di bibirnya.Ia merasa seolah semesta tengah mendukungnya. Ia masih merasa kesal pada calon istr
Salwa merasa puas bisa berkenalan dengan dr Resti yang berkarakter supel dan humoris. Dokter senior itu menyambut kehadirannya dengan sangat baik. Terlepas dari privilege yang dimiliki oleh gadis itu-yang merupakan tunangan atasannya. Siapapun akan bersikap baik padanya. “Makasih dr Resti sudah repot-repot mengajakku berkeliling. Aku akan pulang sekarang. Aku akan membawa barang keperluanku selama di sini dan menjemput Neng. Neng pasti suka dengan Anda. Dia juga anaknya humoris dan banyak bicara.” Salwa berkata dengan begitu ceria. Dr Resti justru berfokus pada ekspresi wajah gadis itu saat bicara bukan pada isi yang disampaikannya. Tahi lalat yang bertengger di atas bibir tipisnya benar-benar mempermanis tampilan wajahnya. ‘Pantas, Pak Daniel terpesona pada gadis ini. Wajar sih, gadis ini cantik, energik dan bergairah saat bicara. Um, ya, seorang yang hustle!’ batin dr Resti. Menyadari tatapan dr Resti yang terlihat kosong Salwa melambaikan sebelah telapak tangannya di depan waj