Wajah pemuda itu mendadak panas. Sudah tak bisa dikondisikan lagi. Mungkin rezeki anak sholeh. Kebahagiaan dipeluk oleh sang kekasih hati seperti memenangkan lotere.Ia diam mematung dengan salah tingkah. Pipinya yang berkulit putih terlihat merona dari pipi menjalar hingga ke telinga. Jika Kinan melihatnya macam anak perawan pasti akan menertawakannya.Sisi lain, sang pelaku justru terlihat ketus setelah adegan sepersekian detik yang ia lakukan. Wajahnya ditekuk dan menunduk dalam. Gadis itu merutuki kebodohannya.Salwa ketiduran dan bermimpi bertemu dengan kekasihnya saat sakit kronis dulu. Ia begitu ketakutan andai kekasihnya itu tiada. Beruntung sang ibu dan adiknya tidak berada di sana menyaksikan tingkahnya. Jika ketahuan, habis sudah mereka berdua digiring ke KUA.“Lupakan yang barusan!” ucap gadis itu bahkan tak berani menatap lawan bicaranya.Mereka tengah duduk di kursi taman terhalang meja yang menjadi pembatas.Mendengar perkataan Salwa, Daniel hanya mengulum senyum dan be
Akhirnya Salwa Salsabila mendapat persetujuan sang ibu untuk ikut magang di klinik perusahaan PT JD Group. Ia berencana akan menjadi asisten dokter senior yang bertugas di sana. Bukan benar-benar senior karena telah bekerja lama di sana. Memang dokter itu direkrut dari klinik perusahaan yang berpusat di Bogor. Gadis itu akan mulai mengisi waktu produktifnya minggu depan. Sebab ia ingin menghabiskan waktunya dengan istirahat dan menikmati ‘kebebasan’ nya terlebih dahulu. Ya, bebas dari mengikuti mata kuliah yang menjejali otaknya. “Sekarang kita mau kemana?” tanya Neng Mas pada Salwa yang tengah memperbaiki rantai sepedanya yang longgar. Kini mereka memutuskan menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan menggunakan sepeda, seolah mengenang masa-masa putih abu-abu mereka. Ke dua sahabat itu seringkali menghabiskan waktu mereka bersepeda saat berangkat ke sekolah dan pergi berlatih silat di padepokan. “Sudah betul!” gumam Salwa dengan senyum yang mengembang. Tatapannya lalu beralih pada
“Salah! Aku tidak memesan kopi espresso! Aku memesan cappucino!”Salwa berkata dengan berlagak seperti bos. Bahkan dia duduk di atas kursi kebesaran Daniel Dash dengan bersedekap tangan di dada.‘Boleh lah merasakan menjadi CEO,’ batin gadis bertahi lalat itu.“Mbak, tadi ‘kan pesan espresso one shot,” tukas karyawati wanita muda itu dengan raut wajah tak tertolong. Tubuhnya gemetar karena ketakutan. Salwa menggeram kecil lalu berdiri dengan punggung bersandar pada meja dan tangan masih bertengger di dadanya. Kali ini manik berwarna karamel itu menelisik karyawati itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Angkat kepalamu!” titah gadis itu meraih dagu wanita itu. Mau tak mau wanita itu mendongak dengan perasaan kesal.‘Awas kau! Aku diam karena ada Bos Daniel! Jika tidak ada, aku akan kasih pelajaran untukmu! What the fuck! Selera Bos Daniel sungguh jelek. Cantik saja tidak cukup! Penampilannya mirip emak-emak pengajian. Um, sepertinya Bos Daniel dijodohkan. Mana mungkin suka dengan g
“Calon istri?” Seorang wanita muda memakai kemeja berlengan panjang nan ketat serta rok span selutut terkejut saat mendengar beberapa staf karyawati yang sedang menggunjingkan atasan mereka. “Betul, Mbak,” sahut rekan kerjanya yang lain, tengah duduk di kubikel sebelah kanannya. “Heboh satu kantor lihat calon istri Pak Daniel Dash!” “Emang siapa dia? I mean, anak siapa? Pemilik perusahaan apa? Artis? Selebgram? Anak pejabat?” telisik wanita muda-yang merupakan sekretaris Daniel Dash. Ia baru saja mendengar kabar tentang kedatangan calon istri atasannya. Pasalnya ia baru saja selesai membuat notulen rapat. “Kami belum tahu sih dia berasal dari keluarga mana. Yang pasti kayaknya keluarga pesantren. Soalnya penampilannya tertutup. Tapi kalau soal cantik jangan tanya! Wajahnya mirip Ralin Shah. Benar gak sih?” “Benar, tapi cukup bar-bar. Nona itu mengerjai staf resepsionis tadi,” timpal yang lain dengan gelegak tawa. “Emang kenapa dengan resepsionis?” tanya sang sekretaris begitu h
Di sebuah ruangan pantry berwarna cat putih. Beberapa office girl sedang mengobrol ria di sana. Sembari mengerjakan tugasnya, mereka seringkali membahas apapun.“Aduh, anakku itu nakalnya minta ampun. Masa tas ibunya diisi kelereng.”Seorang staf OG berbincang pada kawan di sebelahnya saat mereka tengah menyiapkan kopi pesanan dari ruang divisi HRD karena sedang mengadakan meeting.“Mana lihat?” Kawannya yang sesama seorang ibu mengintip tas yang dimaksud karena penasaran dengan perkataannya.“Silahkan monggo!” Wanita berusia kepala tiga itu melebarkan resleting tas bahunya. Seketika kawannya tertawa terbahak-bahak melihatnya.“Asli, anakmu itu lo di luar nulur!”Gelegak tawa pecah di ruang pantry.Tak jauh dari sisi mereka seorang staf resepsionis tengah menguping pembicaraan mereka.‘Kelereng? Wow, It’s great idea.’ Gadis muda itu menarik sudut bibirnya hingga membentuk seringai tajam di bibirnya.Ia merasa seolah semesta tengah mendukungnya. Ia masih merasa kesal pada calon istr
Salwa merasa puas bisa berkenalan dengan dr Resti yang berkarakter supel dan humoris. Dokter senior itu menyambut kehadirannya dengan sangat baik. Terlepas dari privilege yang dimiliki oleh gadis itu-yang merupakan tunangan atasannya. Siapapun akan bersikap baik padanya. “Makasih dr Resti sudah repot-repot mengajakku berkeliling. Aku akan pulang sekarang. Aku akan membawa barang keperluanku selama di sini dan menjemput Neng. Neng pasti suka dengan Anda. Dia juga anaknya humoris dan banyak bicara.” Salwa berkata dengan begitu ceria. Dr Resti justru berfokus pada ekspresi wajah gadis itu saat bicara bukan pada isi yang disampaikannya. Tahi lalat yang bertengger di atas bibir tipisnya benar-benar mempermanis tampilan wajahnya. ‘Pantas, Pak Daniel terpesona pada gadis ini. Wajar sih, gadis ini cantik, energik dan bergairah saat bicara. Um, ya, seorang yang hustle!’ batin dr Resti. Menyadari tatapan dr Resti yang terlihat kosong Salwa melambaikan sebelah telapak tangannya di depan waj
“Um, aku pernah tak sengaja bertemu Kak Raja di kampus, Mister. Dia tersesat mencari ruang TU. Katanya dia sedang mengantar keponakannya.”Salwa berusaha menjawab pertanyaan Daniel dengan tenang berharap agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara Daniel dan Raja. Kendati Salwa memikirkan pendapat Neng Mas tentang ia harus berhati-hati pada Raja. Zaman sekarang tak menutup kemungkinan pagar makan tanaman.Daniel percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Salwa.Namun Salwa belum bisa membaca sikap Raja yang sesungguhnya pada Daniel-yang ia anggap sahabatnya.Hanya saja, Salwa melihat dari satu perspektif. Cara berpakaian Raja seolah meniru cara berpakaian Daniel Dash. Entah apa istilahnya dalam dunia psikologi.“Sally, Mas mau bertemu Raja di ruang kerja. Sally tunggu di situ ya! Soalnya di dalam banyak karyawan cowok. Mas gak mau ‘kan nimpuk mereka satu per satu gara-gara melihatmu!”Salwa cemberut mendengar perkataan Daniel Dash yang terkesan hiperbolis.“Mas Mister, lebay!”
Di salah satu kamar pondok pesantren Babussalam putri, seorang wanita tengah menangis pilu menyesali sebuah takdir pahit yang harus ia telan akibat perbuatannya.Karena sebuah ambisi telah membuatnya gelap mata, tak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Cinta bertepuk sebelah tangan telah menggelapkan nuraninya.Ia sadar, ia sudah melangkah terlampau jauh. Ia telah berhasil mencapai cita dan citta sesuai rencananya. Namun siapa sangka apa yang ia lakukan ternyata takkan mampu menggugah hati seorang insan. Hati Ilham masih tertambat pada satu nama, Salwa Salsabila. Namun karena Ilham seorang yang paham agama. Ia tahu diri bahwa Salwa takkan mungkin ia gapai. Gadis itu pula sudah menambatkan hatinya pada muridnya, Daniel Dash. Lantas, ia memilih berusaha ikhlas dan menerima istri yang sudah ditakdirkan untuknya saat semuanya belum terbongkar. Saat Ilham belum mengetahui sifat buruk Shafiyah-istrinya.“Dengar, Shafiyah! Pikirkan baik-baik keputusanmu! Pernikahan kalian baru seu