Mungkin aku sedang bermimpi sampai harus ketemu dengan wanita kur*ng aj*r itu. Ku cubit lenganku dengan keras ternyata beneran sakit. Jadi ini bukan mimpi."I-itu, bukannya dia perempuan yang sering datang ke rumah kita, Dit?" tanyaku ragu.Ku tunjuk beberapa poto yang terpasang di dinding rumah ini."Iya, Bu. Dia adalah sahabat Rina sejak di bangku sekolah."Waduh bisa malu aku kalau aku ketemu dia sekarang ini. Aku yakin dia bakalan memarahiku seperti tempo dulu saat Rina baru saja melahirkan. Atau mungkin dia bakalan menertawakanku kalau semua yang dibicarakan itu benar."Ibu ini gimana? Masak orang setelah melahirkan harus diatur terus makannya. Jangan makan ini jangan makan itu. Yang diperbolehkan cuman makan pakai sayur kulup (sayur yang hanya direbus dan saat menyantapnya tanpa menggunakan kuah) saja dan bawang merah goreng sebagai pelengkapnya. Memangnya ibu tidak kasihan dengan menantu dan cucu Ibu sendiri?" katanya waktu itu."Yang nggak kasihan itu kamu. Anak muda tahu apa?
"Sudah keterlaluan itu yang namanya Prita. Kurang aj*r sama orang tua. Kalau dia tadi berdiri lebih dekat sudah dipastikan ibu pasti sudah menjamb*k-jamb*k rambut pirangnya itu.""Sudahlah, Bu. Jangan, emosi terus begitu!" ucap Adit mencoba menenangkan aku."Gimana nggak emosi? Wanita yang masih bau kencur itu sudah merendahkan aku yang lebih tua dari dirinya. Itu kan sudah nggak sopan namanya. Kayak aku ini nggak punya harga diri saja.""Apa pantas mengusir orang yang ingin meminta bantuan darinya? Benar-benar kurang aj*ar!" lanjutku yang masih terus saja ku luapkan emosiku ini."Kalau Ibu marah-marah terus, Ibu nanti bisa kena darah tinggi. Ini saja kepala Adit jadi tambah puyeng setelah mendengar ocehan Ibu.""Diam kamu, Dit! Jangan sok menasehati ibu. Sekarang cari akal gimana kita bisa menemui Rina. Bayangkan, Dit, bayangkan! Aku ini lagi seneng-senengnya punya cucu terus sekarang dijauhkan gitu. Hati nenek mana yang kuat dengan cobaan begini, Dit?""Iya, Bu. Adit paham dengan mak
"Kalau jauh gini gimana Romi, Bu Munah. Jadi cuman minum Asi saja dong, ya?" tanya Bu Kasih."Iya kayaknya Bu. Yang penting saya tiap hari mengingatkan Rina untuk tetap kasih makan Romi kerokan pisang gitu. Kalau digunakan atau tidak omongan saya itu saya udah pasrah. Soalnya juga rumah kita tidak dekatan. Kalau dekat mungkin setiap hari saya bakal kontrol itu si Rina. Soalnya saya nggak tega kalau lihat cucu saya kelaparan," terangku."Iya, Bu, bener itu sing penting diingatkan. Perkara dipakek atau nggak itu biar urusan dia. Yang penting kewajiban kita sebagai orang tua sudah dijalankan.""Aku juga setuju itu, Mbak kasih," ucap Bu Sayuti."Maaf, Bu-Ibu. Saya tinggal masuk dulu. Soalnya badan saya lagi capek."Kalau tidak cepat aku masuk ke dalam, pasti aku terus ditanyain perkara Rina dan Romi. Daripada salah bicara, lebih baik aku istirahat saja di kamar.Ku jatuhkan bobotku ke kasurku yang begitu empuk ini. Rasanya lega sekali setelah bertemu dengan kasur."Rin, Rina. Kamu itu suda
Pov Ibu Mertua"Bude!" teriak keponakanku dari ambang pintu.Aku sekarang sedang memasak di dapur. Membuat beraneka macam makanan yang akan aku kirim ke sawah untuk sarapan pekerja."Ada apa, Nang? Kok pagi-pagi sekali sudah sampai sini.""Lihat ini, Bude! Ini kan fotonya adik Romi. Adik Romi memangnya sakit apa ya, Bude?" Nanang menunjukkan ponselnya dari arah agak jauh."Mana sih? Bude nggak pakai kaca mata jadi nggak kelihatan."Diberikannya ponsel yang dia pegang kepadaku.Terlihat Romi sedang digendong oleh Bu Nuria, besanku. Kayaknya ini rumah sakit yang kemarin itu, Rumah sakit tempat Romi dirawat. Mungkin Romi sedang kontrol ke sana. Ku lihat status itu sudah diposting kemarin siang."Kasihan banget cucuku pasti dia masih belum sembuh total," batinku."Kamu dapat foto ini dari siapa?""Ini di status keponakannya Mbak Rina, Bude. Dia kan temanku sekolah," jawab Nanang.Setelah melihat foto Romi, membuat dadaku bergemuruh. Ada rasa marah dan senang di dalam hatiku.Marah karena
Aku hanya bisa tersenyum saja mendengarkan omelan ibu mertua. Namun aku tak sedikitpun bergeser dari tempat dudukku. Karena kalau sampai lengah sedikit pasti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.Tapi saking pintarnya taktik ibu mertuaku hingga penjagaanku yang ketat ini bisa tembus juga. Entah mungkin saat aku mandi atau saat aku mencuci baju Romi berhasil diberi kerokan pisang.Ya, bagaimana lagi, semenjak aku hamil aktivitas mencuci baju aku kerjakan seorang diri. Terlebih setelah aku melahirkan. Mas Adit tidak pernah membantuku karena katanya sudah capek bekerja. Sungguh mengenaskan menjadi istri seorang Adit anak laki-laki satu-satunya yang paling disayang oleh ibunya, yang tak boleh capek-capek melakukan aktifitasnya. Tak jarang aku pun meneteskan air mata karena saking letihnya mengerjakan apa-apa seorang diri.Kalau mengingat masa-masa itu aku sangat sedih sekali. Untung saja Allah masih sayang kepadaku hingga aku bisa melewatinya dengan baik walaupun tak sedikit beruarai
Pov Rina.Seketika rasa laparku langsung musnah. Padahal bau penyetan bebek Pak Ruslan yang aku bawa sudah membuat perut ini keroncongan.Gurih dan lembutnya daging bebek ini, serta sambalnya yang tidak pelit membuat cita rasa dari penyetan bebek Pak Ruslan ini diserbu oleh para penyuka kuliner.Bahkan sebelum aku menikah dengan mas Adit aku sering berkunjung ke tempat makan milik Pak Ruslan ini. Hanya untuk menikmati penyetan bebek dan minuman segarnya."Tenang, Nak. Jangan gegabah menyimpulkan perkataan ibu. Ibu bisa menjelaskan semua ini," kata ibu dengan penuh kehati-hatian setelah mendekat ke arahku."Mau dijelaskan bagaimana lagi, Bu? Semua sudah jelas kalau Ibu itu masih berat dengan mas Adit. Ingat, Bu, lelaki itu yang sudah menyakiti anak dan cucu Ibu!""Bukan itu maksud ibu, Nak. Kamu jangan salah tafsir dulu. Ibu hanya tidak ingin kamu menyandang status janda. Apalagi bernasib sama seperti kebanyakan janda di luar sana. Ditambah lagi kamu sudah ada anak, Nak.""Kalau sudah j
"Rin, Rina! Romi eek, Rin!" teriak Prita dari ruang tengah."Iya!" Ku usap air mataku dengan kasar. "Maaf sudah menganggu kamu makan, Rin.""Ah, nggak apa-apa akunya yang malah minta maaf sudah merepotkan kamu," jawabku.Ku ambil alih Romi dari gendongan Prita. "Tunggu sebentar ya Tante. Aku mau salin dulu," ku katakan dengan bahasa yang seperti anak kecil."Iya, Romi ganteng. Tante tunggu di depan ya."Dengan cekatan aku pun mengganti celana Romi. Meski ibu menawari untuk menggantikannya tapi aku tetap kekeh tidak memberikan Romi kepada beliau. Rasanya aku jadi sakit hati dengan ibuku sendiri. Ini sudah tidak boleh dibiarkan. Aku akan menyelidiki apa maksud ibu yang selalu membela mas Adit yang sudah jelas terbukti bersalah."Gimana rasa penyetan Pak Ruslan, enak?" tanya Prita setelah aku keluar ke ruangan tamu dan menemuinya."Enak banget, Prit. Tidak ada yang berubah rasanya." Terpaksa berbohong kepada Prita padahal aku sendiri belum tahu gimana bentuk dan rasa penyetan yang dibaw
"Memangnya kenapa, Prita? Kalau Romi bersama dengan ibuku di rumah? Beliau kan neneknya, pasti akan menjaga Romi dengan baik," kataku berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi dengan pikiranku ini.Sengaja aku memancing Prita agar menceritakan kepadaku sesuatu yang dia ketahui tentang ibu, meskipun itu hal kecil.Prita menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada seseorang yang mendengar perkataannya."Sebenarnya sudah lama aku ingin bicara mengenai masalah ini, Rin. Tapi aku nggak berani karena aku tidak ingin membuat kamu jadi kepikiran. Apalagi selama kamu tinggal di rumah mertua kamu, keadaan kamu tidak baik-baik saja.""Jadi sekarang beritahukanlah aku, Prita. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibuku? Aku merasa ibu telah menyembunyikan suatu hal dari kami, aku dan bapak.""Namun kamu jangan menyalahkan ibu kamu, ya. Karena posisi ibu kamu waktu itu sedang kepepet," katanya."Ada suatu hal yang membuat ibu kamu sulit untuk membuang Adit, sebagai menantunya Rin. Soalnya ibu