Share

Bab 6. Kecurigaan Erick

"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick.

"Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?"

"Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.

Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya.

Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa.

"Mana lihat!"

"Ini ... sudah aku tanda tangani barusan." Alissa menyodorkan kertas perjanjian itu pada Reyvan.

Reyvan melihatnya sekilas, sudah ada tanda tangan Alissa di sana. "Bagus, sekarang apa rencanamu? Kamu ingin aku langsung membawamu pergi dari sini sekarang, atau bagaimana?"

Alissa pun nampak berpikir. Ia sebenarnya ingin sekali segera pergi dari cengkraman Erick tapi ia masih teringat bagaimana dengan anaknya. Lagipula ia juga masih ingin mengetahui kabar ayahnya. Ya. sejak ia sakit dan Erick melarangnya menggunakan ponsel, ia belum pernah sekalipun memberi kabar pada ayahnya.

"Aku masih ingin tetap di sini. Aku ingin tahu apa saja yang telah Erick lakukan dan juga aku tidak bisa meninggalkan putriku begitu saja."

"Jadi Kakak ingin aku melakukan apa?" Reyvan heran dengan Alissa yang ingin minta tolong tapi tidak mau dibawa pergi.

"Aku ingin kamu bantu aku untuk mencari bukti kejahatan Erick. Dan lagi selama ini perusahaan yang Erick pegang adalah perusahaan ku. Aku juga ingin merebut itu kembali," jelas Alissa.

"Baiklah, kurasa ini akan jadi panjang urusannya. Aku akan selidiki segalanya lebih dulu kalau begitu." Reyvan pun beranjak untuk pergi. Namun, sejenak kemudian ia teringat akan sesuatu. "Tunggu, bagaimana dengan dirimu? Bukankah akan bahaya jika kamu tetap di sini?"

"Aku masih bisa jaga diri. Selama mereka tidak curiga, aku masih bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa."

Reyvan pun mengerutkan keningnya. Ia berpikir, kenapa Alissa tetap memilih bertahan dan itu membuatnya ragu. "Sebenarnya, apa yang membuatmu yakin jika suamimu ingin membunuhmu?"

"Secara tidak sengaja, aku mendapati kucingku mati setelah minum obat yang selama ini aku konsumsi. Aku juga tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka," jelas Alissa.

"Jadi maksud Kakak, suamimu ingin membunuh melalui obat itu?"

Alissa pun menganggukkan kepalanya. "Kamu benar dan aku tidak tahu obat apa itu sebenarnya? Yang jelas, obat itu membuatku lemah dan tidak bertenaga seperti orang lumpuh."

"Itu artinya kita harus cari tahu obat apa itu sebenarnya. Kakak nanti simpan obat itu, aku akan mengambilnya nanti malam atau besok. Baiklah, aku pergi dulu sekarang. Nanti aku akan hubungi Kakak lagi," ucap Reyvan. Namun, saat ia melangkah untuk pergi, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Alissa.

"Apa kamu tetap akan datang seperti ini? Kamu tahu, jika begini kamu itu seperti maling saja. Bagaimana jika kamu ketahuan oleh para satpam?"

Seketika Reyvan menoleh kembali ke arah Alissa dengan senyum penuh arti. "Hmm ... ternyata Kakak ini perhatian juga, ya!" Perlahan Reyvan melangkah mendekati Alissa. "Jika perhatian seperti ini, bagaimana aku bisa jauh dari Kakak?"

Mendadak Alissa menjadi gugup lalu memundurkan langkahnya untuk menghindari Reyvan, namun Reyvan semakin maju mendekatinya hingga ia terpojok. "A-apa yang mau kamu lakukan?"

"Hahaha ... ternyata Kakak lucu juga kalau sedang gugup. Tenang kak? Aku cuma bercanda. Serius amat!"

"Huh ... kamu tuh bikin aku jantungan saja." Seketika Alissa pun merasa lega.

""Dah, lah! Aku pergi dulu. Aku akan hubungi Kakak nanti untuk langkah selanjutnya. Setelahnya Reyvan pun pergi dengan menuruni tiang seperti biasanya. Ia melihat dua satpam di sana masih tertidur pulas. Ya. Sebelumnya Reyvan datang dengan pura-pura memberi minuman, ternyata dalam minuman itu sudah ia beri obat tidur. Melihat keadaan terasa aman ia pun pergi dari rumah Alissa.

Hingga akhirnya malam pun tiba. Alissa sedang gelisah memikirkan bagaimana ia bisa mengelabuhi Riana lagi untuk tidak minum obat. Apalagi obat yang akan diberikan padanya sekarang punya efek lebih dari pada obat sebelumnya. "Aku harus memikirkannya, tapi bagaimana caranya?" batin Alissa.

Ditengah kebingungannya, tiba-tiba ia mendengar suara diketuk dari luar. "Masuk," teriaknya.

Tak berselang lama pun tampak Riana sedang masuk membawa makan malam juga obatnya. Riana berjalan mendekati Alissa yang sedang duduk di ranjang di samping nakas, lalu menaruh makanan itu di atas nakas. "Makan malamnya, Nyonya."

"Baiklah, ambilkan makanan itu!"

Riana pun mengambilkan makanan itu dan menyerahkannya pada Alissa. Alissa memakan makanan itu perlahan sambil memikirkan lagi cara mengelabuhi Riana. Hingga sejenak kemudian sebelum makanannya habis ia pun terbersit ide.

"Riana, Erick sedang di dalam ruang kerja, kan? Tolong panggilkan!" perintah Alissa.

Riana yang ingat perintah Erick menjawab, "Tidak mungkin, Nyonya. Saya harus memastikan Anda minum obat lebih dahulu."

"Aku akan meminumnya nanti, Riana. Sekarang panggilkan dulu suamiku Erick atau kamu aku pecat," ancam Alissa. "Ayolah, aku akan meminumnya setelah kamu kembali," lanjutnya.

Riana tidak punya pilihan lain, akhirnya ia pun pergi untuk memanggil Erick. Dengan cepat Riana menghampiri Erick di ruang kerjanya, namun seperti dugaannya. Erick marah besar padanya.

"Dasar bodoh! Sudah kubilang pastikan dulu dia minum obatnya." Erick pun akhirnya beranjak pergi dan berjalan menuju kamarnya bersama Alissa.

Sementara di kamar Alissa segera menghabiskan makanannya dan menuang obatnya lagi ke selimut tebalnya. Tak lama kemudian ia terkejut saat tiba-tiba pintu terbuka dari luar.

"Sayang, ada apa kamu memanggilku?" Erick menatap pada Alissa lalu matanya fokus pada gelas yang di atas nakas yang ternyata sudah kosong isinya. "Sial ...!" ucapnya dalam hati.

"Nggak, Mas! Tadi aku butuh kamu tapi sekarang sudah bisa sendiri, kok!"

Dalam hati, Erick merasa geram. melihat gelas obat yang kosong membuat Erick mulai curiga lagi. "Ya sudah, Sayang. Aku kerja lagi, ya?" pamit Erick.

Alissa hanya menganggukkan kepalanya menanggapi Erick, lalu pura-pura berbaring untuk tidur.

Setelah melihat Alissa tidur, Erick melangkahkan kakinya keluar meninggalkan kamar dan diikuti oleh Riana. Sampai di luar, mendadak ia menghentikan langkahnya. "Kau lihat! Obat itu sudah habis, apa kau yakin Alissa sudah meminumnya, hah?!"

"Ma-maaf, Tuan. Tadi ...."

Ucapan Riana pun terpotong saat tiba-tiba tangan Erick mencengkeram rahang Riana. "Ingat ini! Kau akan tahu akibatnya jika ternyata wanita itu tidak meminumnya." Kemudian Erick melepas cengkeramannya dengan kasar. "Obat itu pasti sudah bekerja, sekarang kita pastikan. Berharap lah wanita itu sudah meminumnya," ucap Erick, berjalan kembali ke kamar.

Kini Erick dan Riana sudah di kamar Alissa dan melihat Alissa tertidur pulas. "Sekarang kita lihat, apa kau sedang pura-pura tidur atau tidak." Erick pun berjalan menuju nakas dan mengambil sesuatu dari dalam nakas.

"Jarum? Untuk apa jarum itu, Tuan?" tanya Riana, namun tidak ditanggapi oleh Erick.

Erick hanya diam, lalu mendekati dan meraih tangan Alissa. Dengan senyum seringai di wajahnya, ia menusuk-nusuk jari Alissa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status