Di kantornya, Reyvan baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tadi siang setelah Reyvan menemui Denis, ia langsung kembali menuju kantornya, untuk memeriksa beberapa masalah yang terjadi dengan perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya. Sebelumnya kakaknya, Riana, melaporkan ada salah satu perusahaan mitra kerja mereka ketahuan telah berbuat curang. Untuk itu Reyvan harus menyelidiki dan mengatasinya sendiri.Dari penyelidikan yang dilakukan oleh anak buahnya, Reyvan dibuat terkejut seketika. Ternyata dibalik pengkhianatan mitra kerjanya itu, ada hubungannya dengan perusahaan milik Alissa yang saat ini berada dalam kekuasaan Erick. "Ooh ... jadi begini cara kamu bermain, Erick? Sepertinya kamu belum mengenal siapa lawanmu," gumam Reyvan, tersenyum sinis.Berpikir tentang Erick, Tiba-tiba Reyvan pun terpikirkan tentang Alissa. Ia teringat ucapan Denis yang mengatakan bahwa Erick berencana memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Rasa khawatir pun memenuhi benak Reyvan. Seketika ia
Di rumah Reyvan, tepatnya di kamar, Reyvan baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Reyvan berjalan ke arah pintu untuk keluar. Akan tetapi langkahnya terhenti kala ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Dengan cepat Reyvan merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Tampak nama Alissa tertera di layar ponselnya. Reyvan tersenyum lebar. Ia senang Alissa menghubunginya, karena sejak semalam ia tidak berhasil menghubungi Alissa.Reyvan menyentuh layar ponselnya dan langsung terhubung dengan Alissa. Raut wajah Reyvan seketika memerah, rahangnya mengeras setelah mendengar semua yang di ucapkan oleh Alissa. Apa yang ditakutkannya terjadi. seperti kata Denis, Erick telah berhasil memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Tanpa pikir panjang, Reyvan segera menghubungi Rena. Ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Rena, juga meminta bantuan Rena untuk membawa Alissa keluar dari rumahnya. Setelah itu, Reyvan segera melangkah pergi menuju tempat Denis berada. Di
Awalnya, hidup Alissa sangat bahagia. Namun, semua berubah saat Alissa mendadak sakit. Karena kondisi yang lemah, ia sekarang tidak dapat melayani suaminya Erick, dengan baik. Justru sebaliknya, Erick lah yang melayaninya. Di dalam kamar, Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya dengan bantuan Erick. "Mas, maaf! Harusnya aku yang melayani kamu, tapi sekarang ...." Tiba-tiba jari telunjuk Erick menyentuh bibir Alissa; menghentikan ucapan Alissa."Ssst! Kamu ngomong apa sih, Sayang? Sudah, jangan dipikirkan lagi!" pinta Erick. Alissa pun hanya bisa mengangguk, pasrah menuruti apa yang diucapkan suaminya."Oh ya, kamu belum minum obat kan? Biar aku panggilkan Riana supaya menyiapkan obat untukmu." Alissa mengangguk, Erick pun beranjak pergi dan meninggalkan Alissa sendiri di kamarnya.Alissa termenung, merutuki dirinya sendiri yang tidak berdaya karena sebuah penyakit. Ia tidak mengerti, sebenarnya sakit apa dirinya. Kenapa semakin hari tubuhnya semakin lemah, seakan mati rasa? Eri
Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Obat apa sebenarnya ini? Kenapa kucing ini mati?" Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik.Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup, ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati."Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas, ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, namun Alissa tidak menyangka ternyata Riana menusuknya dari belakang."Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda s
Ceklek Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, nampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar
Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam, namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon. Seketika matanya terbelalak, ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang baru saja berhasil memanjat dan sampai di balkon, terkejut saat melihat dan mendengar teriakan Alissa. Dengan cepat, Reyvan bergerak menghampiri Alissa, lalu menarik tubuh Alissa dan menyandarkannya pada tembok. Ali
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingi
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah