Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu.
Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam, namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon. Seketika matanya terbelalak, ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah.
"Siapa kamu?" teriak Alissa.
Reyvan yang baru saja berhasil memanjat dan sampai di balkon, terkejut saat melihat dan mendengar teriakan Alissa. Dengan cepat, Reyvan bergerak menghampiri Alissa, lalu menarik tubuh Alissa dan menyandarkannya pada tembok. Alissa yang terkejut dengan apa yang di lakukan oleh Reyvan, hampir saja berteriak lagi. Namun, dengan cepat Reyvan segera membungkam mulut Alissa dengan tangannya.
"Ssst, diam! Aku datang untuk menolongmu."
Alissa terpaku di tempat. Ia menatap lekat wajah sesorang yang tampak asing di matanya, tetapi tiba-tiba berkata akan menolongnya. Dalam hati Alissa bertanya, 'Siapa dia? Dari mana ia tahu aku sedang butuh bantuan seseorang?'
Melihat tatapan Alissa membuat Reyvan salah tingkah. Seketika ia melepaskan tangannya dari mulut Alissa. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud melakukan itu. Tadi aku cuma refleks aja supaya kamu nggak teriak dan membuat yang lain mendengarnya."
"Si-siapa kamu? Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Alissa, yang saat ini sudah lebih tenang.
Reyvan tidak menjawab. Namun, tiba-tiba tanpa minta ijin pada Alissa, Reyvan masuk ke kamar Alissa, lalu duduk di sofa yang ada di kamar Alissa. Sementara Alissa, berjalan kembali ke kamar untuk melihat apa yang dilakukan oleh orang asing itu di dalam kamarnya.
"Sebenarnya, siapa kamu? Dan, apa yanga kamu lakukan di sini? tanya Alissa lagi.
"Langsung saja! Namaku Reyvan. Aku sengaja ke sini atas permintaan kakakku Rena. Kamu mengenal dia kan?" jawab Reyvan.
"Re-Rena! Itu artinya, dia yang mengirimmu ke sini untuk menolongku!" seru Alissa senang. Ia tidak menyangka Rena akan secepat ini mengirim seseorang untuk menolongnya.
"Jangan senang dulu! Siapa juga yang mau nolong cuma-cuma?" ucap Reyvan pada Alissa. Seketika Alissa pun mengerutkan keningnya. "Aku bisa saja menolong Kakak, tapi ada syaratnya," lanjutnya, seraya tersenyum penuh arti.
"Syarat?"
"Terima ini!" Reyvan memberi secarik kertas pada Alissa. "Jika Kakak ingin aku tolong, maka tanda tangani surat perjanjian itu. Kakak bisa baca sendiri isinya."
Alissa membaca surat perjanjian itu dengan seksama. "I-ini, apa kamu gila? Tidak mungkin aku menandatangani surat perjanjian seperti ini." Alissa tidak habis pikir dengan apa yang di pikirkan oleh adik temannya itu. Bisa-bisanya Reyvan meminta untuk menikah setelah berhasil menolongnya.
"Kenapa tidak! Apanya yang salah?" sahut Reyvan.
"Aku bahkan masih menjadi suami orang, apa kamu lupa itu? Lagipula kamu itu masih muda, kenapa nggak cari yang seusiamu saja."
"Aku tahu! Tapi suamimu ingin membunuhmu kan? Setelah ini kamu pasti cerai dengannya, artinya kita bisa menikah, kan?" jelas Reyvan. "Soal usia, Aku suka yang dewasa," ucap Reyvan, seraya mengedipkan matanya.
Alissa hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin melakukan hal konyol seperti itu. "Dasar gila! Keputusanku tetap tidak. Kamu bisa pergi, jika sudah tidak ada lagi yang kamu lakukan!"
Reyvan pun berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekati Alissa yang berdiri tak jauh di depannya. "Pikirkan ini baik-baik. Jika kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi aku kapan saja. Nomerku ada di surat perjanjian itu," ucap Reyvan tepat di telinga Alissa. Setelahnya, Reyvan pun pergi dari hadapan Alissa.
Alissa berjalan menuju ranjangnya, ia duduk di tepi ranjang merenungi nasibnya. Ia pikir, ia akan tertolong saat menghubungi temannya. Namun, ternyata ada harga yang harus ia bayar. Kini Alissa bingung, ia tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.
.
Pagi hari datang, namun Alissa masih enggan untuk membuka matanya. Dengan mata terpejam mendadak Alissa merasakan ada yang menyentuh dan mengusap pipinya. Alissa sangat hafal dengan sentuhan itu, sentuhan yang selama inI membuat Alissa semangat dalam menjalani hidupnya.
Namun, sekarang semua telah berbeda. Bersama dengan erick, ia merasa bagai berjalan di atas tumpukan duri. Namun, ia harus sabar dalam menjalani. Sejak Alissa mendengar rencana Erick untuk membunuh dirinya, ia selalu merasakan ketakutan luar biasa. Setiap detik, Erick seakan mengancam jiwanya.
"Sayang, bangun!" ucap Erick tepat di telinga Alissa. Alissa yang sejak tadi bertahan untuk tidak bangun, akhirnya terpaksa membuka matanya. Ia melihat suaminya Erick nampak sudah siap untuk pergi ke kantor.
"Kamu sudah siap, Mas!"
"Iya, Sayang! Hari ini ada meeting dadakan," jawab Erick seraya memakai dasinya.
"Mas, aku pengen ngomong dulu sebentar sama kamu. Bisa kan, Mas?" pinta Alissa. Erick mengerutkan keningnya. Ia berpikir, 'Apa yang ingin dibicarakan istrinya? Kenapa tiba-tiba?'
"Tentu, Sayang! Memang apa yang ingin kamu bicarakan?" ucap Erick seraya tersenyum menatap Alissa, namun Alissa yakin senyuman itu hanya senyuman palsu.
"Mas, bisa tidak kalau siang, aku tidak usah minum obat. Aku ingin punya waktu sama Ellena, Mas! Aku tidak mau tertidur terus." Seketika Erick menghentikan kegiatannya, tangannya mengepal kuat dasi yang pakai. Ia marah, ia seakan tak terima jika Alissa tidak minum obat seperti biasa. Namun, Erick tidak bisa menolak begitu saja permintaan Alissa. Ia harus tetap terlihat sempurna di mata Alissa.
"Terus, bagaimana dengan kondisimu, Sayang? Apa tidak apa-apa?" tanya Erick, berusaha meyakinkan Alissa untuk tetap minum obat.
"Aku tidak apa-apa kok, Mas! Sekarang, Aku ingin melihat Ellena di kamarnya. Sudah lama aku tidak ketemu sama dia." Alissa bangun dari ranjang, sekuat tenaga ia berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Tunggu, Sayang! Aku bantu ya!" seru Erick yang kini sudah siap untuk membantu Alissa. Namun, belum sempat Erick menyentuh Alissa, Alissa sudah mencegah Erick untuk melakukannya.
"Tidak perlu Mas, Aku bisa sendiri kok!" tolak Alissa. Erick tidak menyangka, Alissa akan menolaknya. Hal itu membuat Erick semakin curiga dan mulai meragukan Alissa. Erick pun akhirnya membiarkan Alissa pergi ke kamar Ellena sendirian.
"Alissa pun telah sampai di kamar putrinya, Ellena. Alissa membuka pintu kamar putrinya. Namun, belum sempat ia masuk ke dalam, iya terkejut saat mendengar suara putrinya.
"Mama Liana, nanti aku minta ecim ya, Ma? laca tobeli, " ucap Ellena.
"Tentu Ellena sayang, apapun yang tuan putri mau," sahut Riana.
Deg
Dada Alissa bagai dihantam bongkahan baru besar, nafasnya sesak, air mata pun mulai menumpuk. Belum hilang rasa sakit yang diberikan oleh suaminya, kini ia harus mendengar putrinya sendiri menyebut orang lain sebagai mamanya. Alissa terus menyaksikan kedekatan putrinya dengan pengasuhnya itu. Rasa sakit di hatinya membuat ia tak bisa membendung lagi tangisannya. Hingga tanpa ia sadari, tiba-tiba ada yang membekapnya dari belakang.
"Emph.... "
***
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingi
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Mendengar pertanyaan Alissa, seketika membuat Erick gugup dan memalingkan wajahnya. Wajah Erick tampak memerah, seperti menahan amarah, juga tangannya terkepal kuat. Namun, sejenak kemudian Erick mencoba mengendalikan dirinya dan bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Erick menoleh lagi ke arah Alissa dengan senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tidak mungkin ada yang berani menyakitimu," ujar Erick.Tanpa Erick sadari, semua gerak gerik Erick sebelumnya tak luput dari perhatian Alissa. Alissa dapat melihat jelas dengan perubahan yang terjadi pada Erick. "Tapi Mas ... kalau memang tidak ada, kenapa aku bisa terluka?" desak Alissa.Desakan Alissa membuat Erick semakin geram. Erick menjadi berpikir, kenapa Alissa semakin lama semakin terlihat sehat. Erick yang tak ingin terlalu memikirkannya pun mencoba untuk melimpahkan kesalahannya pada Riana. "Coba nanti aku tanyakan pada Riana, Sayang. Jika sampai dia terlibat, aku pasti akan memberinya pelajaran."Lagi-lagi Alissa te
Setelah mendengar semua percakapan Erick dan Riana, Alissa segera pergi meninggalkan ruang kerja Erick menuju meja makan. Tubuhnya sedang berjalan, namun pikirannya seakan di tempat. Ia terus terpikirkan oleh ucapan Erick yang ingin memastikan perihal obat yang harusnya ia minum. Alissa tidak menyangka, ternyata sikapnya telah membuat Erick curiga. Akhirnya Alissa pun tiba di meja makan. Ia duduk di salah satu kursi meja makan seraya menunggu Erick dan Riana. Tak sampai lama ia menunggu, Erick tampak datang seorang diri. "Kamu dari mana saja, Mas? Aku cari-cari, kok tidak ada?" bohong Alissa."Aku tadi dari ruang kerja, Sayang. Aku harus periksa berkas proposal yang akan aku ajukan pada klien lebih dulu." "Ooh ...." Alissa hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "Ya sudah, ayo kita makan, Mas!" Erick bergegas mengambil centong makan dan menyiapkan makanan untuk Alissa, namun tiba-tiba tangan Alissa terangkat mencegah Erick melakukan itu. "Jangan, Mas! Kamu siapkan untuk dirimu se
Erick hampir saja membuka pintu ruang kerjanya, tetapi gerakannya terhenti kala tiba-tiba ia mendengar suara Riana dari belakang. "Tuan!" Seketika Erick menoleh. "Riana! Kapan kamu pulang? Bukankah seharusnya kamu mengantar Ellena?" "Iya, Tuan. Saya sudah mengantarnya dan baru saja kembali. Saya ada di belakang Tuan saat Anda masuk gerbang tadi." "Ooh ... baguslah, kebetulan ada yang mau aku bicarakan. Ayo kita masuk!" Erick pun membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkah masuk dan diikuti ole Riana. Di dalam ruang kerja, Alissa sudah tidak terlihat di sana. Ternyata saat Riana dan Erick berbicara, di gunakan Alissa untuk bersembunyi.Erick berjalan menuju mejanya dan duduk di kursi kebesarannya, sementara Riana berdiri di depan Erick. "Maaf, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Riana seraya menundukkan kepalanya. Erick menatap Riana dari ujung kepala hingga ujung kaki Riana sembari mengetuk-ngetuk mejanya. Selama ini, Riana lah yang sudah membantunya dalam segala hal. E