"Emph ... "
Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri.
Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa.
Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang.
"Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang."
Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingin tahu apa alasan Erick menjauhkan ia dan putrinya. Ia takut apa yang dilakukan Erick pada putrinya, juga merupakan bagian dari rencana Erick.
"Karena kamu masih sakit; kamu belum bisa merawat Ellena dengan baik." ucap Erick. "Aku tidak mau Ellena bergantung padamu saat kondisimu masih lemah seperti ini, Sayang!" lanjutnya.
Alissa tersenyum kecut menatap Erick. Hatinya benar-benar marah. Erick yang sengaja membuatnya sakit. Dan sekarang, dengan alasan Alissa sakit, Erick berusaha menjauhkan putrinya. Namun, Alissa tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menuruti Erick. Ia tidak mau jika ia menentang Erick, Erick akan curiga padanya.
"Baiklah, sekarang aku antar kamu ke kamar."
"Nggak perlu Mas, biar aku berjalan sendiri saja." Dengan langkah gontai, Alissa pergi menuju ke arah kamarnya. Baru beberapa langkah, Alissa membalikkan badannya. Tepat seperti yang ia duga, Erick sudah tidak ada di sana.
Alissa pun kembali ke kamar Ellena untuk memastikan sesuatu. Sampai di kamar Ellena, ia membuka perlahan kamarnya. Ia melihat di kamar anaknya hanya ada Ellena, ia tidak melihat Riana lagi. Alissa pun yakin, saat ini Riana sedang bersama Erick untuk merencanakan sesuatu lagi.
Alissa berpikir ke mana Erick dan Riana pergi. Setelahnya ia mencari di seluruh ruangan di lantai 2, namun hasilnya nihil. Akhirnya Alissa mencoba untuk mencari ke lantai bawah. Sampai di ujung tangga, Alissa perlahan berjalan menuruni tangga. Namun, baru beberapa langkah melewati anak tangga, samar-samar ia mendengar Erick dan Riana berbicara.
Jarak antara Alissa dan Erick masih tertutup dinding, Alissa yang penasaran dengan apa yang dibicarakan Erick, tetap melangkah turun hingga di pertengahan tangga ia menghentikan langkahnya. Di mana dinding pemisah tadi sudah tidak ada. Kini Alissa dapat melihat jelas apa yang dilakukan Erick. Namun hal itulah yang membuat ia terkejut. Seketika ia membekap mulutnya sendiri, berusaha untuk tidak bersuara.
"Dasar ceroboh, sudah kubilang awasi wanita itu dengan baik!" ucap Erick penuh penekanan pada Riana. Sementara salah satu tangan Erick mencekiknya.
"Ma-maaf Tuan, ta-tapi ak-aku selalu memastikan dia minum obat itu Tuan!" ucap Riana terbata-bata.
"Sudah pastikan, kamu bilang! Sekarang yang kulihat apa? Kenapa dia terlihat lebih segar?" bentak Erick seraya melepaskan cekikannya. Riana pun terbatuk-batuk, terengah-engah karena baru bisa bernafas.
"Sa-saya tidak tahu, Tuan!"
Tiba-tiba Erick menarik rambut Riana, hingga kepala Riana mendongak ke atas. "Camkan ini, aku tidak mau ada kesalahan lagi. Atau kau, terima akibatnya!"
Riana menganggukkan kepalanya dan Erick pun melepaskan Riana. Setelahnya, Erick tampak merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Lalu memberikannya pada Riana.
"Berikan obat ini pada Alissa! Dosis obat ini lebih tinggi dari biasanya. Efeknya bisa membuat orang muntah darah, tubuhnya juga tidak hanya lemah atau mati rasa. Tapi bisa membuat lumpuh secara perlahan." jelas Erick, Riana pun hanya mengangguk patuh. Setelah itu Erick pun pergi meninggalkan Riana dan segera pergi ke kantor.
Tubuh Alissa terpaku, mendengar semua itu membuatnya semakin takut. Tak berselang lama, Alissa pun tersadar dari lamunannya. Ia segera kembali ke kamarnya sebelum Riana mengetahui keberadaannya.
Sampai di dalam kamar, Alissa nampak gelisah. Ia hanya berjalan mondar mandir, bingung harus kepada siapa lagi ia meminta pertolongan. Ia mencoba menghubungi Rena lagi. Namun, ternyata tidak bisa karena sepertinya Rena sedang sibuk.
Sepintas, Alissa teringat dengan Reyvan. Pria yang datang menemuinya tadi malam. Ia menjadi dilema, ia harus bisa menyelamatkan diri dan balas dendam, namun sebagai bayarannya ia harus menikahi seorang pria yang bahkan usianya lebih muda darinya.
Sudah tidak ada cara lain, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Reyvan. Alissa pun mencari surat perjanjian dari Reyvan yang ia simpan di dalam nakas. Setelah ketemu, Alissa mencari nomor ponsel Reyvan yang tertera dalam surat perjanjian itu. Alissa mengambil ponselnya, lalu menghubungi Reyvan. Panggilan pun terhubung, dan menunggu lama Reyvan mengangkat panggilannya.
"Hallo, siapa ini?" tanya Reyvan dari seberang,
"Hallo, Ak-aku Alissa. Teman kakakmu," jawab Alissa.
"Wah ... Tidak ku duga, cepat juga Kakak menghubungiku!"
"Sudah, jangan banyak bicara. Kamu datanglah kemari malam ini!" pinta Alissa.
"Tidak perlu nanti malam, bahkan sekarang pun aku akan ke sana. Bagaimana?"
"Terserah kamu, yang penting kamu kesini saja dulu. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang."
"Baiklah, tunggu aku Kakak sayang!"
"Dasar, pria gila," ucap Alissa, lalu terdengar tawa menggelegar dari seberang. Alissa hanya bisa menggelengkan kepalanya, mendengar keabsurdan Reyvan. Setelahnya Alissa pun menutup panggilannya. Lalu menyembunyikan kembali ponselnya.
Tak berselang lama, Alissa mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya. Alissa pun segera duduk bersandar di ranjang.
Tok tok tok
"Masuk," teriak Alissa.
Tak lama, tampak Riana masuk dengan membawa sarapan untuk Alissa lalu menaruhnya di atas nakas.
"Nyonya, sudah waktunya sarapan dan minum obat. Apa perlu saya bantu?" tanya Riana.
"Tidak perlu, aku bisa lakukan sendiri," jawab Alissa. "Oh ya, aku tadi sudah bilang pada Tuan. Mulai sekarang aku hanya minum obat di malam hari. Jadi, kamu tidak perlu menyiapkan obatnya sekarang. Nanti malam saja!" pinta Alissa.
"Tapi Tuan tidak bilang pada saya, Nyonya!"
"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya sendiri pada Tuan Erick," ucap Alissa. Riana pun mencoba menghubungi Erick, tak lama Riana berbicara pada Erick, setelahnya Riana pun menutup panggilannya.
"Nyonya benar! Baiklah, Nyonya! Kalau begitu saya tinggal dulu, Nyonya bisa menikmati sarapan Nyonya!" Riana pun pergi meninggalkan kamar Alissa.
.
Waktu menjelang siang, Alissa duduk bersantai di balkon menikmati pemandangan taman yang ada di bawahnya. Udara segar membawa Alissa larut dalam lamunannya. Hingga tanpa ia sadari, ada Reyvan yang baru datang dari bawah.
"Woi, siang-siang udah melamun aja!" seru Reyvan seraya melambaikan tangannya di depan wajah Alissa.
Alissa tersentak, ia kaget ketika melihat Reyvan sudah ada di depannya. "Kamu ... sejak kapan kamu datang?"
"Barusan, Kakak aja yang tidak sadar," jawab Reyvan. "Baiklah, langsung saja! Bagaimana penawaranku?"
Hati Alissa pun gelisah, pikirannya terbagi dua antara iya atau tidak. Alissa memejamkan matanya sejenak untuk memantapkan keputusannya. Tak berselang lama ia berkata, "Baiklah, aku setuju."
***
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Mendengar pertanyaan Alissa, seketika membuat Erick gugup dan memalingkan wajahnya. Wajah Erick tampak memerah, seperti menahan amarah, juga tangannya terkepal kuat. Namun, sejenak kemudian Erick mencoba mengendalikan dirinya dan bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Erick menoleh lagi ke arah Alissa dengan senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tidak mungkin ada yang berani menyakitimu," ujar Erick.Tanpa Erick sadari, semua gerak gerik Erick sebelumnya tak luput dari perhatian Alissa. Alissa dapat melihat jelas dengan perubahan yang terjadi pada Erick. "Tapi Mas ... kalau memang tidak ada, kenapa aku bisa terluka?" desak Alissa.Desakan Alissa membuat Erick semakin geram. Erick menjadi berpikir, kenapa Alissa semakin lama semakin terlihat sehat. Erick yang tak ingin terlalu memikirkannya pun mencoba untuk melimpahkan kesalahannya pada Riana. "Coba nanti aku tanyakan pada Riana, Sayang. Jika sampai dia terlibat, aku pasti akan memberinya pelajaran."Lagi-lagi Alissa te
Setelah mendengar semua percakapan Erick dan Riana, Alissa segera pergi meninggalkan ruang kerja Erick menuju meja makan. Tubuhnya sedang berjalan, namun pikirannya seakan di tempat. Ia terus terpikirkan oleh ucapan Erick yang ingin memastikan perihal obat yang harusnya ia minum. Alissa tidak menyangka, ternyata sikapnya telah membuat Erick curiga. Akhirnya Alissa pun tiba di meja makan. Ia duduk di salah satu kursi meja makan seraya menunggu Erick dan Riana. Tak sampai lama ia menunggu, Erick tampak datang seorang diri. "Kamu dari mana saja, Mas? Aku cari-cari, kok tidak ada?" bohong Alissa."Aku tadi dari ruang kerja, Sayang. Aku harus periksa berkas proposal yang akan aku ajukan pada klien lebih dulu." "Ooh ...." Alissa hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "Ya sudah, ayo kita makan, Mas!" Erick bergegas mengambil centong makan dan menyiapkan makanan untuk Alissa, namun tiba-tiba tangan Alissa terangkat mencegah Erick melakukan itu. "Jangan, Mas! Kamu siapkan untuk dirimu se
Erick hampir saja membuka pintu ruang kerjanya, tetapi gerakannya terhenti kala tiba-tiba ia mendengar suara Riana dari belakang. "Tuan!" Seketika Erick menoleh. "Riana! Kapan kamu pulang? Bukankah seharusnya kamu mengantar Ellena?" "Iya, Tuan. Saya sudah mengantarnya dan baru saja kembali. Saya ada di belakang Tuan saat Anda masuk gerbang tadi." "Ooh ... baguslah, kebetulan ada yang mau aku bicarakan. Ayo kita masuk!" Erick pun membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkah masuk dan diikuti ole Riana. Di dalam ruang kerja, Alissa sudah tidak terlihat di sana. Ternyata saat Riana dan Erick berbicara, di gunakan Alissa untuk bersembunyi.Erick berjalan menuju mejanya dan duduk di kursi kebesarannya, sementara Riana berdiri di depan Erick. "Maaf, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Riana seraya menundukkan kepalanya. Erick menatap Riana dari ujung kepala hingga ujung kaki Riana sembari mengetuk-ngetuk mejanya. Selama ini, Riana lah yang sudah membantunya dalam segala hal. E
"Reyvan, Rena, apa yang kalian rencanakan?" Risa yang baru saja datang melihat kedua anaknya tampak aneh. Hal itu pun membuat Risa bertanya-tanya. "Rencana apa sih, Ma? Ini lho ... rencana perkembangan kerja sama dengan PT Adiguna. Aku butuh bantuan Reyvan untuk menanganinya kali ini," bohong Rena. Rena tidak ingin mamanya mengetahui bahwa ia menyuruh Reyvan untuk menyelamatkan temannya. Tanpa Rena ketahui ternyata hal itu dimanfaatkan oleh adiknya sendiri.Risa yang tidak mengerti tentang masalah perusahaan hanya mengangguk saja. "Ooh, aku kira apa. Oh ya, Rey! Bagaimana penawaran Mama kemarin, kamu mau, kan?" "Penawaran apa, Ma?" Reyvan pura-pura tidak mengerti ucapan sang Mama. Ia sebenarnya tahu kemana maksud arah pembicaraan mamanya, namun ia sengaja tak ingin membicarakannya. "Mama tahu kamu hanya pura-pura, kan? Mau tak mau, kamu harus melakukannya," putus Risa yang sudah tidak ingin didebat lagi. "Aku pun sama, Ma ... tetap pada keputusanku. Mama tidak bisa memaksaku." teg