Share

Bab 5. Keputusan Alissa

"Emph ... "

Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri. 

Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. 

Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. 

"Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang."

Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingin tahu apa alasan Erick menjauhkan ia dan putrinya. Ia takut apa yang dilakukan Erick pada putrinya, juga merupakan bagian dari rencana Erick. 

"Karena kamu masih sakit; kamu belum bisa merawat Ellena dengan baik." ucap Erick. "Aku tidak mau Ellena bergantung padamu saat kondisimu masih lemah seperti ini, Sayang!" lanjutnya. 

Alissa tersenyum kecut menatap Erick. Hatinya benar-benar marah. Erick yang sengaja membuatnya sakit. Dan sekarang, dengan alasan Alissa sakit, Erick berusaha menjauhkan putrinya. Namun, Alissa tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menuruti Erick. Ia tidak mau jika ia menentang Erick, Erick akan curiga padanya. 

"Baiklah, sekarang aku antar kamu ke kamar."

"Nggak perlu Mas, biar aku berjalan sendiri saja." Dengan langkah gontai, Alissa pergi menuju ke arah kamarnya. Baru beberapa langkah, Alissa membalikkan badannya. Tepat seperti yang ia duga, Erick sudah tidak ada di sana. 

Alissa pun kembali ke kamar Ellena untuk memastikan sesuatu. Sampai di kamar Ellena, ia membuka perlahan kamarnya. Ia melihat di kamar anaknya hanya ada Ellena, ia tidak melihat Riana lagi. Alissa pun yakin, saat ini Riana sedang bersama Erick untuk merencanakan sesuatu lagi. 

Alissa berpikir ke mana Erick dan Riana pergi. Setelahnya ia mencari di seluruh ruangan di lantai 2, namun hasilnya nihil. Akhirnya Alissa mencoba untuk mencari ke lantai bawah. Sampai di ujung tangga, Alissa perlahan berjalan menuruni tangga. Namun, baru beberapa langkah melewati anak tangga, samar-samar ia mendengar Erick dan Riana berbicara. 

Jarak antara Alissa dan Erick masih tertutup dinding, Alissa yang penasaran dengan apa yang dibicarakan Erick, tetap melangkah turun hingga di pertengahan tangga ia menghentikan langkahnya. Di mana dinding pemisah tadi sudah tidak ada. Kini Alissa dapat melihat jelas apa yang dilakukan Erick. Namun hal itulah yang membuat ia terkejut. Seketika ia membekap mulutnya sendiri, berusaha untuk tidak bersuara. 

"Dasar ceroboh, sudah kubilang awasi wanita itu dengan baik!" ucap Erick penuh penekanan pada Riana. Sementara salah satu tangan Erick mencekiknya. 

"Ma-maaf Tuan, ta-tapi ak-aku selalu memastikan dia minum obat itu Tuan!" ucap Riana terbata-bata.

"Sudah pastikan, kamu bilang! Sekarang yang kulihat apa? Kenapa dia terlihat lebih segar?" bentak Erick seraya melepaskan cekikannya. Riana pun terbatuk-batuk, terengah-engah karena baru bisa bernafas. 

"Sa-saya tidak tahu, Tuan!"

Tiba-tiba Erick menarik rambut Riana, hingga kepala Riana mendongak ke atas. "Camkan ini, aku tidak mau ada kesalahan lagi. Atau kau, terima akibatnya!" 

Riana menganggukkan kepalanya dan Erick pun melepaskan Riana. Setelahnya, Erick tampak merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Lalu memberikannya pada Riana. 

"Berikan obat ini pada Alissa! Dosis obat ini lebih tinggi dari biasanya. Efeknya bisa membuat orang muntah darah, tubuhnya juga tidak hanya lemah atau mati rasa. Tapi bisa membuat lumpuh secara perlahan." jelas Erick, Riana pun hanya mengangguk patuh. Setelah itu Erick pun pergi meninggalkan Riana dan segera pergi ke kantor. 

Tubuh Alissa terpaku, mendengar semua itu membuatnya semakin takut. Tak berselang lama, Alissa pun tersadar dari lamunannya. Ia segera kembali ke kamarnya sebelum Riana mengetahui keberadaannya. 

Sampai di dalam kamar, Alissa nampak gelisah. Ia hanya berjalan mondar mandir, bingung harus kepada siapa lagi ia meminta pertolongan. Ia mencoba menghubungi Rena lagi. Namun, ternyata tidak bisa karena sepertinya Rena sedang sibuk. 

Sepintas, Alissa teringat dengan Reyvan. Pria yang datang menemuinya tadi malam. Ia menjadi dilema, ia harus bisa menyelamatkan diri dan balas dendam, namun sebagai bayarannya ia harus menikahi seorang pria yang bahkan usianya lebih muda darinya. 

Sudah tidak ada cara lain, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Reyvan. Alissa pun mencari surat perjanjian dari Reyvan yang ia simpan di dalam nakas. Setelah ketemu, Alissa mencari nomor ponsel Reyvan yang tertera dalam surat perjanjian itu. Alissa mengambil ponselnya, lalu menghubungi Reyvan. Panggilan pun terhubung, dan menunggu lama Reyvan mengangkat panggilannya. 

"Hallo, siapa ini?" tanya Reyvan dari seberang, 

"Hallo, Ak-aku Alissa. Teman kakakmu," jawab Alissa. 

"Wah ... Tidak ku duga, cepat juga Kakak menghubungiku!"

"Sudah, jangan banyak bicara. Kamu datanglah kemari malam ini!" pinta Alissa. 

"Tidak perlu nanti malam, bahkan sekarang pun aku akan ke sana. Bagaimana?" 

"Terserah kamu, yang penting kamu kesini saja dulu. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang." 

"Baiklah, tunggu aku Kakak sayang!"

"Dasar, pria gila," ucap Alissa, lalu terdengar tawa menggelegar dari seberang. Alissa hanya bisa menggelengkan kepalanya, mendengar keabsurdan Reyvan. Setelahnya Alissa pun menutup panggilannya. Lalu menyembunyikan kembali ponselnya. 

Tak berselang lama, Alissa mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya. Alissa pun segera duduk bersandar di ranjang. 

Tok tok tok

"Masuk," teriak Alissa. 

Tak lama, tampak Riana masuk dengan membawa sarapan untuk Alissa lalu menaruhnya di atas nakas. 

"Nyonya, sudah waktunya sarapan dan minum obat. Apa perlu saya bantu?" tanya Riana. 

"Tidak perlu, aku bisa lakukan sendiri," jawab Alissa. "Oh ya, aku tadi sudah bilang pada Tuan. Mulai sekarang aku hanya minum obat di malam hari. Jadi, kamu tidak perlu menyiapkan obatnya sekarang. Nanti malam saja!" pinta Alissa. 

"Tapi Tuan tidak bilang pada saya, Nyonya!"

"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya sendiri pada Tuan Erick," ucap Alissa. Riana pun mencoba menghubungi Erick, tak lama Riana berbicara pada Erick, setelahnya Riana pun menutup panggilannya. 

"Nyonya benar! Baiklah, Nyonya! Kalau begitu saya tinggal dulu, Nyonya bisa menikmati sarapan Nyonya!" Riana pun pergi meninggalkan kamar Alissa. 

Waktu menjelang siang, Alissa duduk bersantai di balkon menikmati pemandangan taman yang ada di bawahnya. Udara segar membawa Alissa larut dalam lamunannya. Hingga tanpa ia sadari, ada Reyvan yang baru datang dari bawah. 

"Woi, siang-siang udah melamun aja!" seru Reyvan seraya melambaikan tangannya di depan wajah Alissa. 

Alissa tersentak, ia kaget ketika melihat Reyvan sudah ada di depannya. "Kamu ... sejak kapan kamu datang?"

"Barusan, Kakak aja yang tidak sadar," jawab Reyvan. "Baiklah, langsung saja! Bagaimana penawaranku?"

Hati Alissa pun gelisah, pikirannya terbagi dua antara iya atau tidak. Alissa memejamkan matanya sejenak untuk memantapkan keputusannya. Tak berselang lama ia berkata, "Baiklah, aku setuju."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nona_happy
baca sampai sini dulu. nanti dilanjut lagi. sayang kalau buru-buru, biar lebih penasaran. thor sukses ya. suka deh sama novelnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status