Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Obat apa sebenarnya ini? Kenapa kucing ini mati?"
Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik.
Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup, ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati.
"Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas, ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, namun Alissa tidak menyangka ternyata Riana menusuknya dari belakang.
"Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda sudah minum obat atau belum," ucap Riana.
"Sudah, lihat saja sendiri!" ketus Alissa seraya menunjuk gelas kosong yang ada di meja.
Riana tersenyum lega, dengan itu ia bisa tenang saat menghadapi Erick. Ya, Riana hanyalah dimanfaatkan oleh Erick selama ini. Riana ditugaskan oleh Erick untuk memastikan bahwa Alissa sudah minum obat yang Erick minta.
Seperti yang ia lakukan semalam, Alissa yang sangat hafal bagaimana obat itu harusnya bekerja, segera pura-pura tidur untuk mengusir Riana. "Riana, sepertinya aku harus istirahat. Kamu bisa pergi dan urus yang lainnya sekarang!"
"Baik, Nyonya!" Riana pun pergi meninggalkan Alissa di dalam kamar.
Setelah kepergian Riana, Alissa bangun lagi. Dengan tubuhnya yang masih sangat lemah, Alissa berjalan ke balkon dan membuang kucing mati itu lewat balkon. Setelah membuang kucing itu, dari atas balkon Alissa melihat mobil Erick yang baru saja kembali dan masuk ke garasi. 'Bukankah dia sudah berangkat ke kantor? Kenapa dia kembali?' tanya Alissa dalam hati.
Alissa yang penasaran, meski sedikit sempoyongan, dengan sekuat tenaga Alissa berjalan keluar kamar untuk melihat apa yang dilakukan suaminya.
.
Sementara itu, Erick baru saja baru memasuki rumahnya. Ia tidak langsung pergi ke kamar Alissa, melainkan langsung menemui Riana. Erick memanggil Riana yang sedang ada di kamar Ellena, lalu mengajak Riana untuk pergi ke ruang kerja yang berada tidak jauh dari kamar Alissa. Keduanya pun masuk ke dalam ruang kerja bersamaan, tanpa mereka sadari ada Alissa yang baru saja keluar dari kamar dan melihat mereka.
Alissa berjalan menuju pintu ruang kerja Erick. Ia menempelkan kupingnya pada pintu untuk mendengar pembicaraan Erick. Sementara di dalam, Erick tampak duduk gelisah di kursi kebesarannya.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu tampak gelisah?" tanya Riana, seraya membuka sedikit kancing baju memperlihatkan dadanya. Riana sangat tahu, jika Erick sedang gelisah maka ia bisa marah sewaktu-waktu. Jadi, Riana sengaja menggoda Erick untuk mencegah kemarahannya.
"Hari ini Alissa sangat aneh sekali, tidak biasanya ia menolakku. Apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya Erick.
"Alissa? Tidak, Sayang! Aku tidak tahu. Dia terlihat biasa-biasa saja kok," jawab Riana mulai gugup. Riana hanya bisa berharap, Erick percaya padanya.
"Ooh, tapi ... dia sudah minum obatnya, kan?" tanya Erick lagi.
"Tentu sudah, tadi aku melihat gelasnya sudah kosong. Pasti ia sudah meminum obatnya." Riana yang mulai takut dengan kemarahan Erick, berjalan mendekati Erick. Ia harus segera mengalihkan perhatian Erick dari rasa curiganya terhadap Alissa.
"Sayang, seharusnya kamu jangan berpikir macam-macam. Tenang saja, wanita itu masih dalam kendali kita," ucap Riana yang kini sudah berada di dekat Erick, ia berusaha memeluk dan naik ke pangkuan Erick. Namun, gerakannya terhenti kala tiba-tiba tangan Erick mencengkeram dagunya.
"Awh, sa-sakit!" rintih Riana.
"Apa kamu pikir, aku tidak tahu niatmu, hah? Jangan mengalihkan pembicaraan kita! Kamu sudah tahu tugasmu, kan? Kamu harus pastikan bahwa Alissa meminum obatnya, atau kamu mau kamu sendiri yang meminum obat itu?" ucap Erick menatap tajam Riana.
"Ti-tidak, ku-mohon ja-jangan lakukan itu!" ucap Riana terbata-bata.
"Kamu ingat ini! Kamu di sini hanya pemuas nafsuku. Jadi, jangan kamu pikir bisa bodohi aku dengan rayuanmu ini! Dasar, wanita murahan!" ucap Erick tepat di telinga Riana. Setelahnya, Erick pun melepaskan cengkeraman tangannya. Lalu mendorong Riana menjauh. Riana sudah tidak berani berkata-kata lagi, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dan menuruti kemauan Erick.
"Ba-baik, Tuan! Lalu, apa yang harus saya lakukan?"
"Bagus, seperti itulah seharusnya kamu memanggilku! Kamu boleh panggil sayang saat aku memintamu saja." Riana pun mengangguk sebagai jawaban.
"Satu lagi, kamu harus benar-benar memastikan obat itu diminum oleh Alissa. Aku ingin dia mati secara perlahan, obat itu akan mengantarkan kematian Alissa di waktu yang tepat dan di saat itu aku sudah berhasil menguasai semua hartanya, " ucap Erick lantang, tanpa ia sadari di luar pintu Alissa dapat mendengar dengan jelas apa yang dia ucapkan.
Sementara di luar, Alissa membungkam mulutnya. Airmata pun membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, ia tidak menyangka ternyata Erick tidak hanya bermain wanita di belakangnya, tapi juga berniat membunuhnya. Alissa sangat terkejut mendengar semua itu, perlahan ia memundurkan langkahnya. Lalu setelahnya, dengan langkah gontai ia pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin Erick melihatnya dan mengetahui jika ia telah menguping pembicaraan Erick dengan Riana.
.
Saat malam hari tiba, Alissa sedang termenung sendiri di balkon kamarnya sambil menikmati angin malam. Hatinya sangat gelisah. Ia takut, jika sewaktu-waktu Erick mencelakainya. Alissa mulai berpikir, ia harus meminta pertolongan pada seseorang. Alissa pun teringat pada sahabatnya, Rena.
Sejenak kemudian, Alissa teringat ponsel miliknya disimpan oleh Erick. Ya. Selama Alissa sakit, Erick menyimpan ponsel Alissa dan melarang Alissa menggunakan ponsel dengan alasan Alissa harus fokus dengan kesembuhan penyakitnya. Namun, ternyata penyakit itu hanya akal-akalan Erick saja untuk bisa membunuhnya secara perlahan.
Alissa kembali masuk ke dalam kamar untuk mencari ponselnya di dalam lemari. Namun, ia tidak mendapatkannya. Ia pun mencari di tempat di mana Erick biasa menyimpan barang-barangnya. Ia harus mencari ponsel itu dengan cepat sebelum Erick atau Riana datang ke kamarnya.
Akhirnya Alissa pun menemukan ponselnya di tempat bersama barang-barang Erick yang sudah tidak terpakai disimpan. Alissa mencoba menghidupkan ponselnya. Ia merasa lega, ternyata ponselnya masih bisa digunakan.
Alissa men scroll layar ponsel itu, mencari nama sahabatnya. Alissa langsung melakukan panggilan begitu ia melihat nama temannya tertera di layar, lalu mengetuknya fan menempelkan pada telinganya.
"Hallo, ini aku nggak salah lihat ponsel kan? Ini beneran kamu kan, Al?" ucap Rena heboh sendiri dari seberang.
"Iya, Ren! Ini aku, Alissa. Ren, tolong aku! Erick berniat membunuhku," ucap Alissa, seraya sesekali melihat pintu. Ia takut tiba-tiba Erick datang.
"Apa maksud kamu, Al? Bukannya kamu sedang liburan? Aku sering hubungi Erick, dia bilang kamu nggak bisa di ganggu dan sedang menikmati liburanmu." tanya Rena.
"Dia bohong, Ren! Dia ingin membunuhku, dengan memberiku obat. Dia ...." Belum selesai Alissa bicara pada Rena, ia tersentak mendengar suara dari pintu kamarnya.
Ceklek
...
Ceklek Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, nampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar
Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam, namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon. Seketika matanya terbelalak, ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang baru saja berhasil memanjat dan sampai di balkon, terkejut saat melihat dan mendengar teriakan Alissa. Dengan cepat, Reyvan bergerak menghampiri Alissa, lalu menarik tubuh Alissa dan menyandarkannya pada tembok. Ali
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingi
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Mendengar pertanyaan Alissa, seketika membuat Erick gugup dan memalingkan wajahnya. Wajah Erick tampak memerah, seperti menahan amarah, juga tangannya terkepal kuat. Namun, sejenak kemudian Erick mencoba mengendalikan dirinya dan bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Erick menoleh lagi ke arah Alissa dengan senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tidak mungkin ada yang berani menyakitimu," ujar Erick.Tanpa Erick sadari, semua gerak gerik Erick sebelumnya tak luput dari perhatian Alissa. Alissa dapat melihat jelas dengan perubahan yang terjadi pada Erick. "Tapi Mas ... kalau memang tidak ada, kenapa aku bisa terluka?" desak Alissa.Desakan Alissa membuat Erick semakin geram. Erick menjadi berpikir, kenapa Alissa semakin lama semakin terlihat sehat. Erick yang tak ingin terlalu memikirkannya pun mencoba untuk melimpahkan kesalahannya pada Riana. "Coba nanti aku tanyakan pada Riana, Sayang. Jika sampai dia terlibat, aku pasti akan memberinya pelajaran."Lagi-lagi Alissa te