Share

Bab 2.Rencana Erick

Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Obat apa sebenarnya ini? Kenapa kucing ini mati?" 

Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik.

Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup, ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati.

"Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas, ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, namun Alissa tidak menyangka ternyata Riana menusuknya dari belakang.

"Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda sudah minum obat atau belum," ucap Riana.

"Sudah, lihat saja sendiri!" ketus Alissa seraya menunjuk gelas kosong yang ada di meja.

Riana tersenyum lega, dengan itu ia bisa tenang saat menghadapi Erick. Ya, Riana hanyalah dimanfaatkan oleh Erick selama ini. Riana ditugaskan oleh Erick untuk memastikan bahwa Alissa sudah minum obat yang Erick minta.

Seperti yang ia lakukan semalam, Alissa yang sangat hafal bagaimana obat itu harusnya bekerja, segera pura-pura tidur untuk mengusir Riana. "Riana, sepertinya aku harus istirahat. Kamu bisa pergi dan urus yang lainnya sekarang!"

"Baik, Nyonya!" Riana pun pergi meninggalkan Alissa di dalam kamar. 

Setelah kepergian Riana, Alissa bangun lagi. Dengan tubuhnya yang masih sangat lemah, Alissa berjalan ke balkon dan membuang kucing mati itu lewat balkon. Setelah membuang kucing itu, dari atas balkon Alissa melihat mobil Erick yang baru saja kembali dan masuk ke garasi. 'Bukankah dia sudah berangkat ke kantor? Kenapa dia kembali?' tanya Alissa dalam hati. 

Alissa yang penasaran, meski sedikit sempoyongan, dengan sekuat tenaga Alissa berjalan keluar kamar untuk melihat apa yang dilakukan suaminya. 

Sementara itu, Erick baru saja baru memasuki rumahnya. Ia tidak langsung pergi ke kamar Alissa, melainkan langsung menemui Riana. Erick memanggil Riana yang sedang ada di kamar Ellena, lalu mengajak Riana untuk pergi ke ruang kerja yang berada tidak jauh dari kamar Alissa. Keduanya pun masuk ke dalam ruang kerja bersamaan, tanpa mereka sadari ada Alissa yang baru saja keluar dari kamar dan melihat mereka. 

Alissa berjalan menuju pintu ruang kerja Erick. Ia menempelkan kupingnya pada pintu untuk mendengar pembicaraan Erick. Sementara di dalam, Erick tampak duduk gelisah di kursi kebesarannya. 

"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu tampak gelisah?" tanya Riana, seraya membuka sedikit kancing baju memperlihatkan dadanya. Riana sangat tahu, jika Erick sedang gelisah maka ia bisa marah sewaktu-waktu. Jadi, Riana sengaja menggoda Erick untuk mencegah kemarahannya. 

"Hari ini Alissa sangat aneh sekali, tidak biasanya ia menolakku. Apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya Erick. 

"Alissa? Tidak, Sayang! Aku tidak tahu. Dia terlihat biasa-biasa saja kok," jawab Riana mulai gugup. Riana hanya bisa berharap, Erick percaya padanya. 

"Ooh, tapi ... dia sudah minum obatnya, kan?" tanya Erick lagi. 

"Tentu sudah, tadi aku melihat gelasnya sudah kosong. Pasti ia sudah meminum obatnya." Riana yang mulai takut dengan kemarahan Erick, berjalan mendekati Erick. Ia harus segera mengalihkan perhatian Erick dari rasa curiganya terhadap Alissa. 

"Sayang, seharusnya kamu jangan berpikir macam-macam. Tenang saja, wanita itu masih dalam kendali kita," ucap Riana yang kini sudah berada di dekat Erick, ia berusaha memeluk dan naik ke pangkuan Erick. Namun, gerakannya terhenti kala tiba-tiba tangan Erick mencengkeram dagunya. 

"Awh, sa-sakit!" rintih Riana. 

"Apa kamu pikir, aku tidak tahu niatmu, hah? Jangan mengalihkan pembicaraan kita! Kamu sudah tahu tugasmu, kan? Kamu harus pastikan bahwa Alissa meminum obatnya, atau kamu mau kamu sendiri yang meminum obat itu?" ucap Erick menatap tajam Riana. 

"Ti-tidak, ku-mohon ja-jangan lakukan itu!" ucap Riana terbata-bata. 

"Kamu ingat ini! Kamu di sini hanya pemuas nafsuku. Jadi, jangan kamu pikir bisa bodohi aku dengan rayuanmu ini! Dasar, wanita murahan!" ucap Erick tepat di telinga Riana. Setelahnya, Erick pun melepaskan cengkeraman tangannya. Lalu mendorong Riana menjauh. Riana sudah tidak berani berkata-kata lagi, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dan menuruti kemauan Erick. 

"Ba-baik, Tuan! Lalu, apa yang harus saya lakukan?" 

"Bagus, seperti itulah seharusnya kamu memanggilku! Kamu boleh panggil sayang saat aku memintamu saja." Riana pun mengangguk sebagai jawaban. 

"Satu lagi, kamu harus benar-benar memastikan obat itu diminum oleh Alissa. Aku ingin dia mati secara perlahan, obat itu akan mengantarkan kematian Alissa di waktu yang tepat dan di saat itu aku sudah berhasil menguasai semua hartanya, " ucap Erick lantang, tanpa ia sadari di luar pintu Alissa dapat mendengar dengan jelas apa yang dia ucapkan. 

Sementara di luar, Alissa membungkam mulutnya. Airmata pun membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, ia tidak menyangka ternyata Erick tidak hanya bermain wanita di belakangnya, tapi juga berniat membunuhnya. Alissa sangat terkejut mendengar semua itu, perlahan ia memundurkan langkahnya. Lalu setelahnya, dengan langkah gontai ia pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin Erick melihatnya dan mengetahui jika ia telah menguping pembicaraan Erick dengan Riana. 

Saat malam hari tiba, Alissa sedang termenung sendiri di balkon kamarnya sambil menikmati angin malam. Hatinya sangat gelisah. Ia takut, jika sewaktu-waktu Erick mencelakainya. Alissa mulai berpikir, ia harus meminta pertolongan pada seseorang. Alissa pun teringat pada sahabatnya, Rena. 

Sejenak kemudian, Alissa teringat ponsel miliknya disimpan oleh Erick. Ya. Selama Alissa sakit, Erick menyimpan ponsel Alissa dan melarang Alissa menggunakan ponsel dengan alasan Alissa harus fokus dengan kesembuhan penyakitnya. Namun, ternyata penyakit itu hanya akal-akalan Erick saja untuk bisa membunuhnya secara perlahan. 

Alissa kembali masuk ke dalam kamar untuk mencari ponselnya di dalam lemari. Namun, ia tidak mendapatkannya. Ia pun mencari di tempat di mana Erick biasa menyimpan barang-barangnya. Ia harus mencari ponsel itu dengan cepat sebelum Erick atau Riana datang ke kamarnya. 

Akhirnya Alissa pun menemukan ponselnya di tempat bersama barang-barang Erick yang sudah tidak terpakai disimpan. Alissa mencoba menghidupkan ponselnya. Ia merasa lega, ternyata ponselnya masih bisa digunakan. 

Alissa men scroll layar ponsel itu, mencari nama sahabatnya. Alissa langsung melakukan panggilan begitu ia melihat nama temannya tertera di layar, lalu mengetuknya fan menempelkan pada telinganya. 

"Hallo, ini aku nggak salah lihat ponsel kan? Ini beneran kamu kan, Al?" ucap Rena heboh sendiri dari seberang. 

"Iya, Ren! Ini aku, Alissa. Ren, tolong aku! Erick berniat membunuhku," ucap Alissa, seraya sesekali melihat pintu. Ia takut tiba-tiba Erick datang. 

"Apa maksud kamu, Al? Bukannya kamu sedang liburan? Aku sering hubungi Erick, dia bilang kamu nggak bisa di ganggu dan sedang menikmati liburanmu." tanya Rena. 

"Dia bohong, Ren! Dia ingin membunuhku, dengan memberiku obat. Dia ...." Belum selesai Alissa bicara pada Rena, ia tersentak mendengar suara dari pintu kamarnya. 

Ceklek

... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status