Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
Langit semakin menggelap, sedangkan Seno belum tampak akan datang untuk menjemputku. Bagaimana mungkin ia akan menjemput? Jika panggilanku saja tertolak oleh kotak suara yang mengundang untuk meninggalkan sebuah pesan. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. "Hhh …" Aku menghela napas panjang. Aku benar-benar kebingungan. Semburat jingga menambah rasa cemas di dadaku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menatap nanar air mancur yang ada di taman. Untuk sesaat, aku tiba-tiba teringat ibu. Dulu, ketika aku masih kecil, aku juga pernah dalam fase bimbang seperti ini. Sepulang sekolah, ibuku tak kunjung menjemput. Aku terus saja meneleponnya namun Ibu tak bisa dihubungi, beruntung aku masih memiliki ayah—sebelum pria itu kabur dengan wanita lain. Aku kemudian menelepon ayah dan pria gagah itu dengan sigap menjemputku. Siapa lagi yang bisa diandalkan di waktu sulit seperti itu, jika bukan ayah dan ibu? Aku merasa sangat beruntung kala itu. Sekolahku—ketika masih di jenjang SD d
Aku melongo mendengar perkataan Ibu Mertua. Dia memang seperti itu, tetapi aku tak suka mendebatnya. Pertengkaran kami tidak akan menguntungkan siapa-siapa. Aku harus bersabar, demi janin yang ada di perutku. "Kalau udah tau hamil tuh, dijaga badannya. Jangan sembrono! Ngerepotin orang aja!"Ibu masih mengomel tanpa memandangku. Ia bahkan hanya melirik sekilas, kemudian kembali merapikan riasannya dengan bedak kecil yang selalu dibawa kemana-mana. Saat ini, kami sudah berada di mobil untuk menuju ke rumah. Rumahku, mungkin? Atau rumah ibu mertua? Aku juga belum menanyakannya."Ma, kita mau ke rumah siapa?" tanyaku penasaran. "Dasar kamu itu! Tadi diomelin, diem aja, sekarang malah nanya-nanya."Aku terdiam. Sulit sekali berbicara kepadanya. Aku menjadi serba salah. "Kita mau ke rumah utama. Memangnya di rumahmu ada yang mengurusmu? Pelayan aja ngga ada, suamimu kan juga dinas luar terus.""Tapi, Ma—""Udah! Jangan ngeyel! Kalau bukan Nenek yang nyuruh, aku juga malas jemput kamu! M
“Ada apa, Bu?” Pelayan di sebelahku turut terkejut ketika melongok ke dalam kamar itu. Perabotnya biasa saja hanya saja, ranjangnya tidak ada! “Loh! Kemana ya ranjangnya?” pelayan itu juga kebingungan. Ia mencoba mengecek ke dalam dan mencari-cari jejak ranjang yang seharusnya ada di sana. “Loh, kok nggak ada, ya?” Suasana kamar Seno tak ubahnya kamar anak kost yang begitu minimalis, sangat berbeda jauh dengan kamar lain yang terhias mewah. “Ba–bagaimana aku bisa tidur di sana?” Aku bertanya pada diriku sendiri, tidak bermaksud menanyakannya pada pelayan. Dia pasti tidak mengetahui apa pun. “Sebentar, Bu. Biar saya tanyakan ke Bu Narsih.” “Iya, tolong cepat. Aku sudah lelah, Mbak,” ucapku sambil masuk ke dalam kamar tersebut. Tidak ada sofa, tidak ada kursi, benar-benar harus lesehan, padahal perutku sudah membesar begini. Aku bisa saja duduk di bawah, akan tetapi bangkit kembali pasti akan susah. Kudengar, pelayan tadi tampak bercakap-cakap dengan seseorang yang disebutnya seba
Pagi itu aku terbangun dengan kondisi yang lebih baik. Seno telah memindahkanku ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Aku tidak lagi kesulitan untuk pergi ke kamar dan suasana di lantai bawah juga cukup nyaman. Perabot dan kasur di kamar ini terlihat normal, bahkan tampak mewah. Semua berhiaskan nuansa emas, sampai aku silau dengan pantulan sinar yang terkadang menusuk mata. "Selamat pagi, Sayang," sapa Seno sambil tersenyum ke arahku. "Pagi, Sayang."Aku menyambut senyumnya dengan balasan serupa. Seno kemudian bangkit dari ranjang dan membantuku berdiri. Padahal, aku bisa berdiri sendiri karena punggung dan pinggangku tidak sakit lagi. "Aku mandikan ya?""E—eh? Tidak usah," tolakku malu. Mengapa aku harus dimandikan oleh suamiku? Aku bisa mandi sendiri. "Kau yakin?" Seno masih mendesakku. Kali ini, ia bahkan menanggalkan jubah tidur yang tadi kukenakan. Pakaian dalam tanpa lengan pun mendadak tampak. Aku reflek menutupinya dengan kedua tangan. "Ayolah, kita kan suami-istri,"
Aku yang tidak pernah merasa mual di pagi hari, mendadak ingin muntah karena ocehan dari ibu mertua. Bahkan, itu juga bukan karena nasi goreng yang keasinan. Aku ingin mengeluarkan isi perutku karena ibu mertua membahas soal racun. Tidak apa-apa, katanya? Makananku belum beracun? Lalu apakah ia berniat untuk memberiku racun jika ada kesempatan? “HOEK!” Sukses. Semua isi perutku yang mayoritas berisi air itu keluar semua. “HOEK!” Aku tidak bisa menahan diri. Kulihat, nenek dan ibu terperangah dan menutup mulut serta hidung mereka. Sedangkan aku masih menunduk sambil terus memuntahkan isi perutku. Aku benar-benar muak dengan segala perkataan ibu yang tidak pernah baik kepadaku. “Oh My God! Kakak!” Setelah puas dan tidak ada lagi tenaga untuk muntah, aku melongok ke arah suara yang memanggilku. Sebuah suara wanita. “Selly?” gumamku dengan lemah. Sellly—adik ipar—yang duduk di sekolah menengah itu, tampak cantik dengan seragam sekolahnya: kemeja putih dengan rok yang terlalu pende
Keesokan paginya, ketika membuka mata, betapa terkejutnya aku karena Seno sudah merapikan barang-barang kami ke dalam koper. “Kita mau pulang?” tebakku. Semoga saja tebakanku benar. Cicit burung turut menemani pagi yang cerah ini. Seno juga hanya memakai kaos polo berwarna hijau, tidak sedang memakai jas atau pun kemeja kerja. Sepertinya, ia libur. “Iya, kita pulang hari ini,” ucapnya seraya tersenyum kepadaku. Aku sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa pergi dari rumah ini. Aku tidak suka di sini. Seno terlihat menarik koper kami hingga ke ujung pintu. Kamar ini tidak terlalu luas karena sebenarnya hanya kamar tamu. Dalam hati, aku senang karena tidak perlu repot harus mencari barangku yang tercecer di ruangan yang kecil ini. “Mau pergi?” Selly tiba-tiba menyapa ketika Seno membuka pintu kamar kami. Kali ini, ia mengenakan kaos ketat berwarna keunguan dengan celana training senada. Sepertinya, Selly akan mengikuti pelajaran olahraga di jam pertama. “Iya, Kakak kamu minta pulang,”
Asap rokok mengepul, bergelung-gelung, saat Mahya menerawang di atas rooftop kantor Channel Insight–kantor berita tempatnya bekerja. Ia sedang menunggu kedatangan sang editor untuk berdiskusi sebelum mulai bertindak. Mahya sedang mempersiapkan diri untuk naik jabatan, setelah tiga tahun menjadi reporter investigasi junior tanpa promosi apa pun. “Kau sudah datang?” sapanya pada wanita berambut hitam sebahu yang baru saja keluar dari pintu darurat. “Yah. Gimana? Sudah ada ide mau liputan apa?” tanyanya menyelidik. Bola mata cokelatnya membulat seakan menuntut jawaban yang memuaskan dari sang lawan bicara. Mahya tersenyum miring. Dua perempuan berusia akhir 20-an itu pun saling tatap dalam keheningan. Mahya tentu memiliki sesuatu untuk ditawarkan pada sang editor. Sebelum itu, ia ingin memancing keingintahuan sang editor lebih dalam. “Kau ingat, kan? Pebisnis medis yang di sampul majalah SOWA? Aku mengendus sesuatu yang tak beres padanya.” “SOWA? Edisi kapan, woy!” “Bulan lalu. Huh
“Ganti rugi?” Mahya mengernyit. Ia tidak mengerti apa maksud dari sang penelepon. Memangnya apa yang dia lakukan? “Halo?!” Suara itu terus memanggil, kali ini, nadanya sedikit tinggi. Mahya yang memiliki kesabaran setipis tissue tentu saja marah. “Salah sambung!” ketusnya lalu menutup telepon itu secara sepihak. Kantor Channel Insight sudah cukup sepi, waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Mahya–yang kebetulan tidak ada tugas lembur–tentu akan bersiap pulang, sebelum sebuah panggilan telepon, lagi-lagi, menganggunya. “Halo?!” Kali ini, suara Mahya yang meninggi. Ia tidak ingin kalah dalam pertarungan kedua ini. “Ini aku, Seno Adhijaya. Kau bilang, tadi akan memberiku ganti rugi!” “Se–seno?” Mahya menutup mulutnya secara reflek. “Astaga!” gumamnya dengan segera. Mahya benar-benar lupa telah merancang skenario seperti itu. Otaknya terlalu berpikir rumit untuk proposal investigasi. Ia melupakan hal yang sangat penting: narasumber. “Pak Seno! Ya, maaf saya pikir anda adalah