"Mir, bangun, Mir!" Ibu mengguncang tubuhku."Jam berapa, Bu? Masih pagi, kan?" Aku tetap memejamkan mata."Iya, baru subuh. Tapi ada yang ngucap salam, Mir. Dari tadi juga ketuk pintu."Aku pun menggeliat. "Ah, Bu, yang bener. Jangan buat Amira takut deh." "Beneran. Tuh, dengerin.""Assalamu'alaikum. Assalamualaikum!"Keningku mengernyit. Suara itu terdengar seperti suara manusia. Bukan hantu yang gentayangan di waktu subuh."Masa tamu, Bu?" tanyaku setelah mendudukkan diri. Mengumpulkan kesadaran."Dah sana cek dulu. Sekalian kamu solat subuh." Ibu menyingkap selimut. Beliau juga bersiap untuk bangun."Ya, Bu." Meski masih ngantuk, aku tetap berjalan menuju pintu utama rumah. "Assalamualaikum, Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Ya, sebentar!" Tanganku meraih kenop pintu lalu membukanya. "Pasti baru bangun, ya, Mbak. Sampai saya harus teriak berkali-kali," ujar seorang lelaki yang terlihat lebih muda dariku."Eh, He.""Kalau subuh tuh, jangan kesiangan, Mbak. Nanti rezekinya dipat
Setelah memastikan uang pinjaman dari Martia cukup, aku mulai memilah baju-bajuku yang masih berada di dalam koper. Tidak semua kubawa untuk perjalanan kali ini. Beberapa potong baju kusisakan di lemari kamar masa kecilku. Semua masih sama. Dipan dan kasur belum diganti sejak SMP sampai saat ini. Dulu sempat aku ingin membelikan yang baru. Namun, Ibu menolaknya.“Biar ada sejarahnya, Mir. Biar anak kamu juga tahu rasanya tidur di kasur yang tidak empuk,” gurau Ibu kala itu.“Tapi kasihan Akila, Bu. Takutnya gak nyaman.” Aku masih ingin menunjukkan bahwa setelah menikah hidupku berkecukupan. Bahkan mampu membelikan banyak barang yang belum bisa terbeli oleh ibu.“Ya gak gitu, Mir. Kalau mau yang nyaman kan bisa di kamar depan. Khusus buat Baja kalau semisal di sini terasa sempit buat kalian bertiga. Toh, di sana juga spring bed-nya baru, ‘kan?” Ibu mengingatkan tentang kamar depan. Sebuah kamar hasil sekat di ruang tamu.“Iya, deh. Bilang aja ibu gak mau Amira repot beli ini itu. Gitu,
Hari berikutnya aku berangkat lebih pagi. Setelah melakukan dua rakaat subuh dan menerima bekal sarapan yang ibu buatkan. Kesehatan ibu benar-benar cepat. Mungkin berada di rumahnya, beraktivitas dan menghirup udara segar di desa, membuat tubuhnya semakin bugar. Orang tua kadang memang demikian. Kesehatannya sejalan dengan apa yang dipikirkan.“Amira pamit, ya, Bu. Ibu kalau ada apa-apa telepon Amira saja. HP butut udah normal lagi, Bu.” Aku sudah selesai memanaskan motor matic merah dan bersiap berangkat.“Iya, Mir. Kamu juga jangan lupa kabari ibu kalau sudah sampai. Kebiasaan kamu kan gak pernah ngasih kabar.” Ekspresi wajah ibu tampak datar.“He, maaf, Bu.”“Ya sudah sana berangkat. Hati-hati, ya. Salam buat Akila kalau kamu sudah bisa ketemu sama dia.”“Ya, Bu. Pasti.” Kucium punggung tangan ibu takzim seraya meminta restu. Mengucap salam kemudian.Perjalanan pagi kali ini akan terasa berbeda. Jika beberapa waktu lalu aku berjalan dengan membawa segudang masalah, kali ini aku mem
Aku terkesiap. Sejenak hanyut dalam kalimat yang dilontarkan Mas Arhab. Tidak. Tidak bisa kamu memutuskan dengan buru-buru Amira. Ingat tujuan yang sudah kamu tetapkan sebelum berniat kembali ke kota. Kamu harus lurus memenuhi prinsip itu. Bisikan kuat di telinga kanan membawaku dalam kesadaran penuh. Segera aku mengulas senyum pada Mas Arhab yang wajahnya tampak memerah. "Mas, aku berangkat dulu, ya. Janjian sama seseorang sebelum jam makan siang. Takutnya terlambat," ujarku seraya berdiri. Merapikan meja minimarket dari botol air mineral yang telah kosong."Eh, ketemu siapa, Mir? Suami kamu?" Mas Arhab tampak ingin memastikan sesuatu. Selepas menaruh sampah itu pada tempatnya, aku pun mengangguk untuk bisa mengakhiri obrolan tak bertepi ini."Oh, gitu. Ya udah hati-hati, Mir. Pastikan kamu ingat pesanku, ya," tegasnya.Kusunggingkan senyum. Lantas mengangguk lemah. Mengenakan kembali jaket tebal dan sarung tangan. Mau sebaik apa pun dia saat ini, dia pernah mematahkan hatimu, A
Mobil Bos Teo melaju di jalanan kota. Aku yang belum tahu lokasi makan siang, terpaksa membuntutinya dengan kecepatan yang kusesuaikan. Sepanjang perjalanan aku menebak sendiri apa yang akan menjadi pekerjaanku nanti. Semoga pekerjaan yang ditawarkan Bos Teo nantinya tidak melenceng dari kualifikasi yang kupunya. Menjadi admin perusahaan atau hal-hal yang masih berkaitan dengan administrasi, tentu aku bisa. Kalau bidang lain, tak yakin bisa kulakukan atau tidak.Mobil Bos Teo berbelok ke arah kanan dari jalanan utama. Menepi sedikit dari keriuhan kota. Tidak terlalu jauh. Bos Teo pun memasuki gerbang yang terbuka dan memarkirkan mobilnya di area parkir yang disediakan pemilik bangunan. Aku melakukan hal yang sama. Halaman restoran terlihat cukup luas. Dikelilingi tanaman hijau yang menyejukkan mata. Kurapikan baju beserta rambut. Melangkah menuju tempat Bos Teo berdiri. "Ayo!" seru Bos Teo. Lagi aku membuntuti langkahnya. Rupanya bangunan berlantai dua di depan hanya sebagai paga
"Kalau Mbak mau cepat selesai, Mbak gak usah datang. Lagian udah gak ada lagi yang perlu diharapkan dari Mas Baja, Mbak." Ajiz menarik kembali fokusku."Apa begitu alurnya, Jiz?" tanyaku basa basi. Meski sebenarnya aku pun tahu.Ajiz mengangguk. "Iya, Mbak. Sebentar lagi juga Mas Baja mau nikah sama Raline."Deg!Menikah? Secepat itu?"Iya, Mbak. Keluarga besar sudah mempersiapkannya." Ajiz bisa menebak gurat wajahku.Hatiku pun mencelos. Cinta tak selalu berakhir bahagia. Semudah itu sirna dan berganti dengan cinta baru."Ibu!" teriak Akila dari halaman restoran."Ya!" jawabku semangat meski hati rasanya tersayat."Ya sudah aku mau pamit, Mbak. Tadi izin ajakin Akila gak lama. Kalau misal Mbak Amira beneran kerja di sini, kapan-kapan aku mampir lagi bawa Akila.""Gak nanti, Jiz? Aku masih mau sama Akila.""Gak bisa, Mbak. Aku takut Bude nyariin. Mbak bisa ngobrol dulu bentar. Aku ketemu Teo dulu." Ajiz nyaman saja memanggil nama Bos Teo. Segera kuberdiri. Berlari menuju Akila berada
Zaman sekarang berkomunikasi lewat media juga tak selalu mudah. Saat ibu lebih memilih ponsel lamanya dibandingkan versi android yang pernah kubelikan, rasanya kemajuan teknologi semacam itu tak selalu tepat guna. Menghubungi ibu terkadang tidak bisa dilakukan dengan cepat. Sudah pasti beliau tengah asik di kolam ikan lele atau kebun belakang. Ibu tipe orang yang tidak bisa diam. Setelah mencoba panggilan suara hingga tiga kali dan tetap tidak ada jawab dari beliau, aku pun hanya mengirimkan pesan singkat.[Amira sudah sampai]Kembali kuletakkan ponsel ke dalam tas. Lalu menatap ke luar jendela. Bos Teo sudah berada di bawah. Tangannya melambai. Mengintruksikanku untuk cepat turun. Dengan segera aku meninggalkan ruangan yang nantinya akan sering kukunjungi."Melamun itu gak baik buat kesehatan, Amira. Nanti kamu bisa kesambet." Bos Teo duduk di kursi tempat kami makan siang tadi."He, Ya, Bos.""Ini kunci cadangan ruang atas. Semisal kamu tidak menemukan tempat kos atau kamu harus le
Langit sore perlahan turun ke bumi. Sebagai tanda pergantian waktu akan tiba. Saat matahari kembali ke peraduan dan bergantikan bulan, satu hari jatah hidup manusia berkurang dengan sendirinya. Karena esok, masih menjadi rahasia bagi makhluk paling sempurna itu. Di keramaian sebuah rumah makan aku menekuri kejadian yang terlalui. Harusnya tak perlu ada insiden lemparan telur-telur dan cekcok di rumah ibu mertua. Tak perlu juga ada cacian untuk saling menyakiti. Namun, roda hidup seolah tak seru jika ia tak mempermainkanku seperti itu.Segelas teh hangat yang kupesan terasa asin. Buliran air dari pelupuk mata sedikit tercampur saat aku meneguknya. Sudah hampir petang dan aku belum menemukan tempat untuk menginap. Malam ini akan terlalui lebih lama lagi. Ponsel yang sudah berada dalam mode diam kulirik sekilas. Untuk memastikan apakah sudah ada balasan dari Ibu atau belum. Sialnya justru panggilan dari orang yang sejak tadi mencoba menghubungiku, datang membuat getar. Kubiarkan pangg