"Di sini?" tanya Mas Arhab begitu kami sampai di restoran. Memang cukup jauh dari tempat pertemuan kami tadi."Maaf, karena ini masih jam kerjaku. Aku gak bisa bolos gitu aja."Mas Arhab menatap ke sekeliling. Seperti memastikan apa tidak apa-apa berada di sana."Ayo!" seruku memimpin langkah.Perlahan Mas Arhab mengayunkan langkah juga. "Oke, gak masalah. Mari kita coba makanan di restoran kamu bekerja." Aku tersenyum tipis. Satu kali dayung dua pulau terlampaui. Tetap masuk jam kerja dan bisa bersamanya lebih lama. Begitu kiranya. Kami pun memasuki area restoran. Sengaja kupilih tempat yang tidak terlalu ramai sekaligus tidak jauh dari pintu utama. Aku harus bolak balik ke lantai dua."Mau pesan apa, Mas?" Buku menu kuambil sembari membaliknya."Ada rekomendasi?" Mas Arhab membaca satu per satu daftar menu dengan seksama. Nampaknya ia cukup bingung dalam menentukan pilihan."Ehmmmm apa ya. Aku juga gak begitu hapal." "Lah, katanya kamu kerja di sini, kok, gak paham." Mas Arhab mel
Tak kupikirkan lagi anak tangga yang akan kunaiki. Yang paling utama adalah cepat sampai ke rumah ibu mertua. Meski ada sedikit kegamangan. Perlukan aku menolongnya atau kuabaikan saja? Aku manusia biasa. Tentu naluri untuk menjadi jahat pernah terlintas.Segera aku menggeleng. Rasa kemanusiaan tetap harus dipertahankan. Aku hanya akan menjemput Akila setelah memastikan kondisi ibu mertua. Bukan untuk kembali ke rumah yang tak pernah mengizinkanku untuk singgah. Rumah tempatku mendulang luka.Semakin ke atas semakin kupercepat langkah. Buru-buru meraih kunci di tas kecil yang melingkar di tubuh. Benda kecil itu kugunakan untuk membuka pintu. Namun, saat gugup melanda apa-apa menjadi kacau. Biasanya bisa dibuka dalam satu gerakan saja tanpa perlu pengulangan. Kali ini percobaan ke tiga masih sulit juga."Susah amat," gumamku. Tak biasanya seperti ini. Pagi tadi saja masih mudah. "Ngapain, Mbak?" tanya Arga yang berjalan menaiki tangga. Rupanya Arga lebih lama sampai ke restoran diband
Mobil Bos Teo melaju dengan kecepatan penuh. Hingga tak butuh waktu lama kami susah sampai di depan pintu gerbang rumah ibu mertua. Aku langsung membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Pintu gerbang yang menjulang tidak terkunci seperti biasa. Segera aku berlari untuk sampai lebih cepat. Tanpa peduli aku datang bersama atasan tertinggi di tempatku bekerja.Akila tengah duduk memeluk lutut di undakan menuju teras rumah. Gadis kecil itu tampak ketakutan dengan tangis yang berderai. Aku semakin berlari hingga bisa mendaratkan pelukan ke tubuh kecilnya."Akila, ini ibu, Nak. Kamu kenapa?" tanyaku segera. Kondisi Akila sangat memprihatinkan. Penampilannya berantakan."Nenek, Bu. Nenek pingsan," ucap Akila dengan tetap menangis. Tatapannya menyedihkan. Aku mengangguk paham. Kembali memeluknya agar lebih tenang. Sejenak kuusap punggungnya lalu melepas pelukan itu."Akila tunggu di sini sebentar. Ibu lihat nenek dulu, ya," ucapku seraya melongok ke arah dalam. Ada perih saat melihat ruanga
Ajiz beserta Tante Mutia datang setelah kami menunggu hampir satu jam. Aku yang memang belum bisa masuk ke ruang perawatan ibu mertua tidak bisa memberi kabar apa-apa untuk mereka."Makasih, Mbak. Makasih udah nolong Bude," ujarnya begitu sampai di depan kami."Ya, Jiz.""Makasih juga, Teo. Aku gak ngerti lagi kalau gak ada kalian tadi.""Its okay gak masalah, Jiz. Ibu kamu langsung ke ruang dokter?""Iya. Tadi langsung belok."Tante Mutia keluar dari ruangan itu setelah diajak berbincang sedikit dengan dokter. Beliau berjalan menghampiri kami."Makasih, Mir, udah bantuin neneknya Akila. Maafin Tante ya, ngrepotin kamu," ujarnya seraya mengulurkan tangan. Aku menerimanya."Gak apa-apa, Tante. Kebetulan tadi Amira lagi gak ada kerjaan jadi bisa langsung datang. Akila ngubungin Amira sambil nangis. Jadi, Akila pikir ada masalah di rumah.""Anak pintar," ujar Tante Mutia seraya mengusap rambutnya. "Nenek gimana, Bu?" tanya Akila melihatku. "Nenek sudah ditangani sama dokter, Akila. Seb
Suasana rumah Bos Teo cukup tenang. Tidak menunjukkan kalau di depan sana ada restoran yang selalu ramai dengan orang-orang. Mungkin tembok di rumah ini sangat tebal campuran semennya sampai benar-benar kedap suara. Aku memainkan ponsel berbodi pipih untuk mengusir kebosanan. Bos Teo dan Akila sudah seperti orang yang tidak tidur cukup lama. Bahkan ada yang mendengkur. Aku cukup geli menyaksikan itu.Kembali kufokuskan diri pada layar ponsel. Sebuah pemberitahuan masuk di sana. Senyumku pun merekah seketika.[Mas Arhab : Aku udah nyampe hotel. Kamu gimana?][Amira : Gimana apanya, Mas?]Pertanyaan dari Mas Arhab cukup ambigu. Aku sulit menjawabnya. Sejurus kemudian ponsel itu bergetar. Segera kugeser tombol terima panggilan agar getarnya tidak mengganggu Akila dan Bos Teo. Aku menutup layar itu dan berjalan pelan ke arah depan."Ya, Mas gimana?"Assalamualaikum, Amira.Aku lupa tidak mengucap salam. Mas Arhab mengingatkannya. Sedikit malu saat menyadari itu."Waalaikumsalam. Ya, gima
"Ibu!" panggil Akila dari dalam.Aku pun menoleh. Mengabaikan Bos Teo yang sudah menutup rapat pintu utama dari luar."Ya, Nak, sebentar," sahutku seraya melangkah menghampirinya."Ibu dari mana?""Habis dari depan, Nak. Ayo kita keluar." Kami harus keluar dulu karena ini bukan tempat kosku. Tidak nyaman saat pemilik rumah sendiri justru pergi. Akila mengangguk. Berbeda saat dari dibuka dari luar. Pintu itu tidak membutuhkan pin untuk membukanya saat dari dalam. Dengan mudah kami bisa keluar dari rumah Bos Teo yang sepi.Kruyuk kruyuk ...."Kamu laper, Nak?" tanyaku saat kami sudah melewati lorong sempit penghubung rumah Bos Teo dengan restoran."Iya, Bu. Akila laper." Akila memamerkan gigi kelincinya. Ekspresi jujur khas anak-anak. Kuulas senyum lalu menggandengnya lebih erat. Kami pun berjalan cepat menuju area restoran. "Nasi putih sama bebek goreng, Mas. Air putih dua." Kusebutkan pesanan untuk kami berdua. Teringat sejak siang pun aku belum makan."Tadi juga pesen dua, Mbak Am
Mau tak mau aku menuruti permintaan Bos Teo untuk tinggal sebentar di rumahnya. Mengingat Akila yang harus membersihkan diri dan istirahat. Hingga pukul setengah tujuh Ajiz tak kunjung membalas pesanku. Begitu juga dengan Tante Mutia. Keduanya kompak membiarkan pesanku dalam mode centang dua saja."Akila pakai yang ini, ya. Kalau yang besar buat ibu kamu." Bos Teo menyerahkan dua gulungan handuk pada Akila. "Iya, Om. Kamar mandinya mana?""Di dalam kamar itu. Akila bisa masuk aja." Bos Teo menunjuk kamar yang berada di lantai satu tak jauh dari ruang televisi."Makasih, Om," ucap Akila seraya tersenyum. Bos Teo membalasnya.Cukup terhenyak aku melihatnya. Kedekatan mereka terlihat sekali. Seperti sudah lama saling menyapa satu sama lain. Kulihat wajah Bos Teo yang terus saja memerhatikan Akila."Dah sana. Anaknya udah mau mandi, tuh." Bos Teo mengedikan dagu. Ia sadar telah kuperhatikan. Buru-buru kualihkan pandangan dan tak menangggapi ucapan itu. "Ayo, Nak." Segera kuayunkan lang
Matahari merangkak naik. Setelah kunci pintu kamar berhasil terbuka aku bergegas ke sana. Akila kubiarkan menunggu di kamar sedangkan aku bersiap untuk melakukan pekerjaan di kantor. Hari kemarin aku tergolong izin karena tidak kembali selepas jam istirahat.Pakaian formal berupa kemeja panjang dan celana berbahan semi jins kukenakan. Kali ini kutinggalkan kacamata karena tidak perlu lagi menyamarkan tangis. "Sarapan dulu, ya, Akila. Habis itu Akila nemenin ibu kerja." Nasi goreng beserta teh hangat sengaja kupesankan dari restoran Bos Teo dan meminta untuk diantar langsung ke kamar. Akila mengangguk."Ibu enggak?" "Udah. Tadi ibu udah nyicipin waktu Akila masih mandi." "Baiklah." Doa sebelum makan Akila panjatkan lalu tanganku sigap menyendok menu itu. "Aaaaaa.""Yummi." Kami kompak tersenyum.Jarum jam sudah sampai di angka tujuh. Harusnya aku sudah membuka pintu kantor dan segera bekerja. Namun, aku meminta toleransi pada Bos Teo untuk sedikit terlambat. Aku tidak mau kehil