Pagi hari aku sudah siap dengan outfit semi formal. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Aku berniat akan melakukan yang terbaik untuk hari ini. Esoknya baru aku akan pulang ke rumah ibu. Pintu utama kamar kos kubuka dengan hati riang gembira. Bersiap menyambut hari bahagia."Bwaaaaaa!" sebuah kejutan mengagetkanku."Astaghfirulloh, Bos. Ngapain?!" Bos Teo terbahak melihatku yang nyaris saja mati mendadak karena ulahnya."Hahahaha! Kena juga.""Mau bikin saya mati, Bos?" ucapku sembari mengurut dada."Lama amat kamu. Ini sudah jam tujuh lewat." Bos Teo dengan pakaian formal orang kantoran melihat jam di pergelangan tangan kanannya."Baru jam tujuh pas, Bos. Belum lebih walau satu detik. Saya gak akan telat buat masuk kantor.""Tetap saja lama. Saya nunggu dari jam enam tiga puluh.""Nunggu? Ngapain nunggu, Bos?" "Kamu gak jadi ambil berkas?" tanyanya dengan kening mengernyit. Seperti sengaja menampakan ekpresi bahwa berkas itu terkesan tidak penting."Maksud, Bos?""Berkas ijaza
"Sudah lama, Mir?""Lumayan, Pak. Ada dua jam lebih.""Ya sudah ayo pindah ke ruangan saya." Pak Ginanjar membawa sejumlah berkas sembari mengedikan dagu. "Baik, Pak."Ruangan Pak Ginanjar berada tak jauh dari ruangan Bos Teo. Ada di tengah-tengah. Dengan pelan aku berjalan untuk sampai ke sana."Beneran mau ngalamar kerja lagi kamu? Gak tahu malu banget, sih!" seru Mbak Ripka yang baru keluar dari ruangannya. Dia bisa dengan jelas melihatku.Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Menanggapi omongannya sangat tidak perlu."Heh! Gak punya telinga, ya?!""Amira, cepat masuk!" seru Pak Ginanjar dari dalam. Aku semakin tersenyum sembari mengangguk dalam pada Mbak Ripka. Pembalasan yang terasa sempurna.Tok! Tok! Tok!"Langsung duduk aja, Mir.""Ya, Pak." Pak Ginanjar membuka lemari berkas di dekat meja kerjanya lalu mengambil satu buah map berwarna coklat dan berjalan ke arah kursi kerjanya. Di ruangan Pak Ginanjar tidak ada satu set kursi tamu seperti ruangan Bos Teo."Gimana kabar kam
"Stop Tante? Bagaimana bisa?" tanyaku tak tahu menahu soal hal itu."Ayo kita bicarakan di luar." Tante Mutia melihat wajah Bu Nunik sebentar.Aku mengangguk. Namun, sebelum itu aku menatap neneknya Akila sebentar. Satu tembok paling kuat sudah runtuh. Beliau orang yang selalu menentangku untuk membawa Akila. Beliau yang paling gencar membuat penolakan atas niat baikku, sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau tubuhnya seringkih itu harusnya semua jauh lebih mudah. Sudah kuniatkan dalam hati untuk melawan mereka. Membalas perbuatan semua orang yang pernah melukaiku. Sekarang rencana itu menguap begitu saja. Bahkan anehnya ada sedikit keprihatinan yang ikut datang bersamaan saat aku menatapnya. Bagaimanapun juga perempuan ini sayang dengan darah dagingku sendiri. "Akila sini aja, Bu. Mau jagain Nenek." Aku mengulas senyum lalu mengusap rambutnya. Akila sejak awal memang dekat dengan neneknya. Saat aku bekerja setiap hari Mas Baja menitipkan Akila pada neneknya. Mungkin waktu yang dih
Pov Teo***Namanya Amira tanpa kepanjangan apa-apa. Perempuan berusia sekitar 26 tahun dengan rambut sebahu dan perawakan kecil. Tingginya paling sekitar 152 cm. Kulitnya kuning langsat dengan bibir tipis serta hidung pesek. Dari standar kecantikan wanita pada umumnya, jelas dia biasa saja.Aku mengenalnya tak sengaja saat dia kebetulan terhubung dengan kisah Raline dan Baja. Dia adalah istri sah dari kekasih orang yang kucintai. Hubungan rumit yang menyebabkan mereka mengakhiri biduk rumah tangga. Awalnya aku biasa saja. Tidak berminat membantunya sama sekali. Namun, sikap bodoh serta polosnya cukup mengusikku.Saat dengan yakin ia memilih pergi dari pabrik karena permintaan Raline. Meski dia bisa menghindari pemecatan itu kalau saja mau bicara denganku. Dia justru kabur entah ke mana selama beberapa minggu. Aku mencaritahu lewat Pak Ginanjar dan rupanya ia bertahan di desa tempatnya tinggal.Rasa-rasanya semua yang berkaitan dengan Amira berputar di sekelilingku. Mulai dari pabrik
Bos Teo membukakan pintu mobil untuk kami. Entah apa yang ada dalam pikiranku sampai berani meminta beliau mengantar. Yang pasti aku ingin cepat sampai rumah untuk sekadar mengusir gundah."Mau ke mana, Bos?" tanya Arga yang tiba-tiba muncul begitu saja. Mungkin dia habis mengisi perut di tempat lain."Nah, kebetulan datang. Ayo ikut saya," jawab Bos Teo."Ke mana, Bos?" "Udah ikut aja." Bos Teo melempar kunci mobil pada Arga yang sudah pasti tidak bisa mengelak. Mana ada bawahan berani membantah."Eh, saya belum matiin komputer, Bos," ujar Arga ragu. Pasti ia harus mencari alasan agar terbebas dari permintaan Bos Teo ini."Biar Ajiz yang matiin." Bos Teo mengedikan dagu. Meminta Arga segera membuka akses pintu mobil. Dengan cepat Arga mengangguk, mengambil alih untuk perjalanan kali ini.Aku menggandeng tangan Akila seraya masuk ke mobil Bos Teo. Beruntung ada Arga dalam perjalanan kali ini. Setidaknya aku tidak harus berduaan dalam arti lain dengan Bos Teo.Desaku berada di luar da
Rumah menjadi sangat ramai dengan kedatangan kami berempat. Ibu tak henti mengulas senyum saat candaan demi candaan dilontarkan Arga dan Bos Teo. Tiba waktunya kumandang adzan maghrib terdengar. Menginterupsi keceriaan ruangan sederhana ini.Akila sudah berganti pakaian. Aku demi menghormati Arga dan Bos Teo memilih tidak untuk membersihkan diri dulu. Arga bilang lepas maghrib akan bertolak kembali ke kota. Itu artinya setelah Ibu menghidangkan menu makan malam, mereka akan berpamitan."Kamu beneran mau resign?" tanya Bos Teo saat aku sedang menata piring di atas meja. Arga mengambil air wudu sedangkan dirinya hanya berdiri di gawang pintu.Aku mengangguk lemah. Sejak awal pekerjaanku di tempat Bos Teo terjadi bukan karena mauku. Tiba-tiba saja membantunya agar lunas utang dua belas juta."Gak mau nyoba di pabrik lagi?" Aktivitasku terhenti sebentar. Pabrik? "Iya. Pabrik lama, Amira. Kamu tahu kan aku sekarang Bos besarnya." Senyum kebanggan atas pencapaian diri terpancar di wajahn
Hari yang dijanjikan oleh Mas Arhab pun tiba. Aku dan Akila bersiap satu jam sebelumnya. Setelah obrolan di sore hari pembahasan tentang jalan-jalan yang dimaksudkan Mas Arhab berlanjut sampai di aplikasi pesan. Aku tak kuasa untuk menolak.Sore di hari minggu menjadi janji temu. Aku memilih menunggu di rumah Martia yang memang lebih mudah akses jalan rayanya. Kebetulan rumahku sedikit masuk ke dalam area perkampungan. Baju terbaik yang ada di lemari kukenakan untuk mengawali pertemuan baik ini. Memang masih ada batasan di mana aku belum resmi bestatus sebagai janda, namun aku keluar hanya demi menghormati ajakan orang yang dulu pernah menjadi kekasih hati walau sebentar."Cieee mau celebek sama mantan," ujar Martia begitu aku sampai setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit."Apaan, sih, Mar. Ini juga karena dipaksa.""Dipaksa apa sama-sama suka? Udah lah ngaku aja kalau masih sayang."Aku buru-buru menggeleng. Martia selalu seperti itu. Bercanda tak kenal tempat. Ada Akila yan
Pov MartiaSekitar pukul enam pagi aku mulai mendorong rolliing door warung kelontong. Bersiap menjemput rezeki yang diberikan illahi. Bisa dibilang warung yang merupakan warisan dari orangtuaku ini cukup besar dan komplit. Tidak hanya menyediakan sembako dasar, tetapi juga bumbu-bumbu serta jajanan kesukaan anak-anak. Banyak warga yang menjadi langgananku, langganan belanja juga langganan utang. Meski begitu aku tetap bersyukur karena aku masih bisa bekerja meski di rumah saja.Selesai menata gas elpiji tiga kilogram juga beberapa barang yang memang di tempatkan di luar warung, serta menyapu lantai dan halaman depan aku bersiap menyambut pembeli pertama di pagi ini. Sialnya yang datang justru tiga serangkai yang hobinya meronce. Perlu digaris bawahi dalam hal ini bukan meronce bunga tapi meronce kata-kata. Aku cukup malas menyapa mereka dulu. Namun, bagaimanapun itu mereka bertiga adalah pembuka gerbang rezeki yang pertama di hari ini. Maka demi melancarkan aksi bekerja dengan pelay