Aku mengusap pipiku sebelum tersenyum getir sambil menatapnya."Segitunya?" "Kemarilah." Pak Ardi merangkul pinggangku dan menarikku mendekat, menempatkan kepalaku di dadanya sembari membelai punggungku. "Sepertinya pertemuan kalian tidak baik."Aku mengangguk pelan. Pelukannya adalah perasaan yang sangat luar biasa sekarang. "Tanpa aku bercerita banyak tentangnya kamu sudah tahu apa alasanku pergi darinya, dan satu fakta yang aku tahu barusan. Ibunya tiada setelah aku pergi malam itu." Aku meremas punggungnya. Aku begitu kacau hari ini, tiga tahun Dito kesepian, berjuang menyembuhkan lukanya atas rasa kehilangan dengan sendirian. Aku tidak menyangka bahwa ternyata yang aku harap Bu Susanti sembuh lalu bahagia ternyata salah. Dito hancur dalam satu hari. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana Dito menghadapi hari-hari terberat dalam hidupnya gara-gara aku."Aku harus gimana?" tanyaku sambil mendongak. Pak Ardi berhenti mengusap punggungku."Apa yang dia har
Dugaanku benar. Dua hari setelah pertemuanku dengan Dito malam itu, dia masih mengunjungiku di apartemen. Ibu jelas menerimanya tanpa ada kecurigaan apapun karena Dito memang berkelakuan baik. Tidak aneh-aneh dan slalu membawa buah tangan untuk Ibu. Kelakuannya yang seperti itu mengingatkan aku dulu saat dengan segala obsesinya. Cinta yang berlebihan kadang membuatku tidak nyaman meski dia baik, selama aku menjadi kekasihnya dia begitu menjaga perasaanku, membuatku berarti dengan caranya dan mati-matian tidak membuatku cemburu.Sementara sekarang, aku yang menjadi kedua harus mengalah dan tidak punya waktu banyak dengan suamiku sendiri. Keadaan ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang aku jalani dulu bersama Dito. Sekarang aku percaya semesta bekerja dengan seadil-adilnya."Dito kok dicuekin, Na?" Ibu masuk ke di kamar dengan tampang hendak mencari kesalahan---ku."Aku mau kerja, Bu. Ini harus live streaming untuk acara bedah buku. Ada temanku juga, Coki. Kami har
Aku menyeka air mata yang seakan tidak ada habisnya keluar dari kelopak mata. Entah sudah berapa banyak rahasia yang Dito ketahui tentangku dan suami. Apakah sekarang ini Dito datang untuk mengancamku dan menyebarkan skandal ini? Tentu saja ada rasa ketidakterimaan dalam batinku meski itu bukan sepenuhnya salah Dito. Dia hanya membuntutiku atas dasar rasa rindu yang membekas pun juga menuntut kejelasan hubungan kami dulu yang sebenarnya Dito bisa memahami aku pergi karena terlalu sayang. Terlalu lelah berharap dengan ujung cerita yang tidak jelas.Aku mendongkak, berharap suamiku merasa ada yang tidak beres dengan istri keduanya, hingga ia mendatangiku dan memberi ketenangan. Aku tersenyum getir, mungkinkah bisa begitu? Perasanku pada Pak Ardi begitu dalam sekaligus bimbang. Kami saling memiliki, bahkan akan ada buah hati. Tapi begitu banyak hal-hal yang tidak bisa aku anggap sepele. Sekuat apapun aku dan dia bertahan dan seberapa rapat kami menyembunyik
Jika semua cerita kehidupan hanya berujung manis, jelas tidak akan ada nada sumbang dan kata cela. Jika semua cerita hanya berujung manis, jelas hidup tidak bergelombang.Sementara, aku membiarkan diri ini mencecap akhir yang bergelombang. Tidak manis bahkan indah. Meski, sejauh aku melangkah saat ini. Aku masih berharap, ada cinta sejati untukku. Namun, jika akan terus begini pada akhirnya. Mungkin ini takdir cintaku harus menikmati ini dengan berteman rasa sepi dan harapan. Bu Farah jelas sangat membutuhkan suaminya daripada aku sekarang. Aku meraih tas jinjingku dan kacamata hitam seraya keluar dari kamar. Ibu yang baru saja memasak nasi goreng yang konon katanya itu adalah nasi goreng kesukaan Dito sedang berdiri dan menyusun bekal untuk di bawa entah kemana hari ini. "Udah siap, Bu?" tanyaku sambil memantau raut wajahnya. Ibu yang nampaknya betah ada disini membuatku cukup tenang karena ada teman dan diperhatikan---meski caranya galak."Kit
Aku memasang kacamata seraya membuang muka ke arah panorama beton di sepanjang jalan menuju pemakaman di daerah pinggiran kota. Dimana pusara atas segala macam kenangan yang pernah terjadi antara aku dan Bu Susanti berada disana.Ternyata melupakan tak semudah kata dan mengetiknya di atas keyboard butuh rasa yang pernah terjadi, aku sudah mengungkapkan segala kegundahanku di sana, mungkin iya Dito sudah membacanya, mengerti, dan hmm..., Aku sesak, aku ingin pergi, dan pahitnya terasa lebih pekat saat mobil Dito sampai di lahan parkiran di depan luasnya pemakaman.Dito memiringkan tubuhnya, menatapku dengan tatapan hangat. "Ikut beli bunga dulu ya, Ann. Dulu kamu suka kan pilih-pilih bunga untuk mama. Aku harap sekarang masih."Aku menghela napas lelah. Banyak yang ingin aku bicarakan dengannya, tapi terbatasi oleh janji. Seolah apa yang terjadi saat ini tak memberi jalan bagiku untuk bertanya apa Dito tahu aku saat ini? "Boleh." Aku tersenyum dat
"Awalnya ibu senang kamu punya temen yang perhatian dan baik banget sama kita, Ann. Tapi kemarin Ibu benar-benar tidak nyangka, istrinya lumpuh dan suaminya malah main sama kamu. Ibu kira dia pasti sama seperti bapakmu, main perempuan!" Aku menghela napas. Ibu ngomel-ngomel sepanjang ia mengepak pakaiannya ke dalam koper dan kardus. Dan jika benar bapak dulu main perempuan, apa iya sekarang yang aku alami adalah buah karma atas perbuatannya? Aku menggeleng, karma bapak biar bapak yang tanggung. "Udahlah, Bu. Pak Ardi sama siapa aja baik kok. Kalau gak percaya tanya aja sama dia, dia humble dan gak suka marah-marah." ucapku sambil menarik resleting koper. Pak Ardi gak suka marah-marah? Aku berlagak muntah dalam hati. Ya kali, dia memang tidak marah tapi tuntutannya luar biasa menyebalkan. Hatiku pun masih bertanya-tanya, apakah dia cemburu padaku saat keluar bersama Dito seminggu yang lalu? Tapi Dito kemarin-kemarin juga rutin datang ke sini dengan dalih
"Dit..." Aku menatap sekeliling. Ibu yang masih di kamar membuatku membulatkan tekad. "Bawa aku pergi sekarang!" Tanpa berpikir panjang, Dito membuka pintu seraya membopongku. "Pegangan!" Aku mengalungkan tangan di lehernya hingga separuh wajahku menempel di dadanya, terdengar detak jantungnya berdegup kencang dan napasnya yang hangat menerpa wajahku. "Dit..." "Jangan sekarang!"***Dito membaringkan tubuhku diatas ranjang pasien, napasnya terengah dan keringat membasahi tubuhnya. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan. Rupanya keadaan tidak mengubah inti dari hatinya padaku. Marah, gemas, sedih, kalut bercampur jadi satu dalam senyuman itu."Ann, kuat ya." ucapnya sembari menegakkan tubuhnya.Aku tersenyum getir sambil menatapnya dengan nanar. "Makasih." Dito menyingkirkan rambut yang lengket di wajahku, tersenyum seolah meyakinkan bahwa aku tidak perlu khawatir. "Aku menemuk
Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Aku tak ingin berdebat disini, di saat aku butuh waktu untuk memulihkan kondisiku sendiri dari segala ketakutan yang mengelilingiku."Anna sayang." bisiknya penuh di telingaku. "Anna, berbaliklah. Biar saya bisa melihatmu." Aku mengepalkan tangan erat-erat di bawah selimut. Aku yakin, dia dan Ibu sudah bertemu di apartemen. Dan pembicaraan mereka pasti serius. Ibu memaki kami berdua dengan sebutan dua manusia yang tidak punya perasaan? Hah, Ibu sudah tahu sepertinya dan sekarang Ibu marah! Marahnya pasti lama, bujuknya pasti susah, belum lagi memulihkan kepercayaannya. Tanpa sadar aku memukul ranjang dengan kesal seraya berteriak frustasi."Hentikan, Anna. Teriakanmu menyakitiku." dekapannya menguat di tubuhku. "Berbaliklah dan pukul saya, itu lebih baik daripada kamu menyayat hatiku dengan teriakanmu, Anna." ucapnya gusar.Aku mencubit bantal dengan gemas. Ku remas-remas sampai kucel hingg