Naya yang di tatap seperti itu oleh Dewa hanya bisa semakin melesak kedalam dekapan suaminya dan menangis, entah bagaimana perasaannya saat ini. Naya sedang bertarung dengan perasaannya sendiri karena sekuat apapun Naya menepis perasaannya dengan Dewa tapi nyatanya cinta itu masih ada.Tidak adil bukan, suaminya sudah banyak sekali menyakitinya namun tiba-tiba sekarang Naya tidak siap jika harus kehilangan Dewa. Benar kata orang cinta itu bisa membuat orang bodoh."Kenapa harus menangis, Kanaya?" Dewa menatap Naya yang menangis tersedu di dadanya dan merelakan kemejanya basah dengan air mata istrinya."Kenapa kita ketemu ya terlambat sih, Mas. Kenapa kamu harus nikah dulu sama Savira!" ujar Naya menatap Dewa dengan mata sembabnya namun wajahnya cemberut kesal."Kamu terlalu lama lahirnya." Jawabannya suaminya justru kembali membuat Naya memukul suaminya kesal."Iya, mana dapetnya om-om duda lagi. Tuhan nggak adil banget sama aku."Bukannya marah, Dewa justru tertawa kecil kemudian men
"Tau nggak sih, Mas. Katanya Citra sama mas Naufal mau nikah tapi papanya Citra belum ristuin." Melihat Dewa yang baru saja pulang kerja, bukannya membiarkan suaminya untuk bersih-bersih dulu justru Naya langsung mengajak suaminya itu ngobrol. "Menikah?" tanya Dewa. "Iya, tapi kasian belum dapat restu." ujar Naya cemberut. "Kenapa?" "Katanya sih karena Naufal terlalu tua untuk Citra." Memang sih Naufal itu mungkin seumuran suaminya pasti papanya Citra berpikir dua kali untuk membiarkan anak perempuan satu-satunya menikah dengan om-om. "Dia belum ada 30 tahun," ujar suaminya membuat Naya menatap suaminya tidak percaya. Padahal Naya kira mereka seumuran ternyata tidak. "Hah! Maksud kamu." "Saya sama Naufal beda 3 tahun dia baru mau masuk 30 bulan besok." Naya baru tau ternyata Mas Naufal masih lebih muda dari suaminya tapi kalau di lihat dari wajahnya memang seperti sudah kepala tiga. "Tapi tetap saja, Mas. Mereka beda 6 tahunan." Protes Naya. "Saya sama kamu beda 11 tahun.
"Maaf, Ya. Saya belum bisa jadi suami yang baik buat kamu," Naya menoleh menatap suaminya heran.'Apa-apan tiba-tiba ngomong gitu. Gak kesampet kan?' tanya Naya dalam hati sambil menatap Dewa heran.Sore ini mereka sudah kembali kerumah Dewa, dan memang pindahan mereka tidak sesuai rencana karena harusnya siang mereka pindah, justru Dewa haru ada cara hingga akhirnya mereka baru bisa pindah sore hari. Jadi sampai semalam ini Naya belum selesai beres-beres padahal sudah di bantu bik Rosma siang tadi, tapi tetap Saja perlengkapan Kai sangat banyak, mulai dari skincare, dan yang lainya."Kamu kenapa?" tanya Naya heran."Nggak papa," ujarnya kemudian masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur."Aneh," cibir Naya kemudian melanjutkan aktivitas beberesnya. Seperti biasanya suaminya hanya akan menjadi mandiri saja, karena Naya tidak suka jika sedang berberes ada yang membantu karena hasilnya pasti tidak sesuai keinginannya."Besok lagi, udah malam." ujarnya membuat Naya kemba
Naya sempat diam mematung sebentar, melihat Savira yang tiba-tiba ada di depan rumahnya. Karena sudah satu minggu ini Savira sudah tidak lagi menghubunginya namun tiba-tiba datang kerumahnya.Tentu saja Naya terkejut dengan kedatangan mendadak wanita di depannya ini."Gimana, Nay?" Tanyanya langsung."Duduk dulu, Mbak." ujar Naya sopan mempersilahkan Savira yang sedari tadi berdiri di teras rumahnya, apalagi wanita itu sedang hamil."Naya, aku mohon kembalikan Dewa padaku, aku butuh Dewa. Anak aku butuh ayahnya." pinta Savira. Entah, kenapa sekarang Naya sudah kehilangan respect lagi pada wanita di depannya ini. Apalagi wanita ini tidak bisa di ajak bicara baik-baik dan jika dikasari makan akan semakin berani."Mbak, anak aku juga butuh ayahnya. Mbak bisa minta tanggung jawab sama Haikal bukan sama suami aku," "Tapi anak...""Mbak, aku mohon jangan gunakan anak itu hanya untuk memenuhi obsesi kamu saja." "Nay, karir aku udah hancur! Dan orang yang benar-benar perduli denganku sekar
"Nggak usah kerja, aku nggak mau kamu repotin lagi." Naya sudah mengeluarkan tatapan ketusnha pada Dewa.yang lahi ini hendak bekerja."Kamu terlalu lebay kalau saya sakit." Katanya menyubit hidung Naya pelan."Kalau kamu sakit bisa ngurus diri sendiri aku nggak repot,Mas. Kamu kalau lagi sakit dikit-dikit, Kanaya, Kanaya dan Kanaya." "Ya karena kamu istri saya." Jawabnya kemudian duduk di pinggiran ranjang mengurungkan niatnya untuk berangkat kerja, jika dirinya tetap memaksa bisa ngamuk istrinya."Jagain anak aku, jangan di buat nangis!" ujar Naya penuh peringatan."Dia anak saya juga, Kanaya. Tidak mungkin saya buat anak saya memangis." jawab Dewa."Oke, aku kebawah dulu."***"Mbak, ada tamu di depan." ujar Bik Rosma saat Naya baru saja sampai di bawah."Pagi-pagi begini? " "Dia bilang mau ketemu bapak, Mbak. Kalau wajahnya asing kalau buat saya." Naya berpikir sebentar, kira-kira Siapa yang bertemu sepagi ini dan ingin bertemu dengan suaminya. Kalau Naufal pasti akan langsung m
“Masa Naya harus nikah sama duda sih, Yah….“ Naya membalas dengan malas sambil berdecak. “Memangnya kenapa kalau duda?“ tanya Aslan membuat Naya terdiam. Sebenarnya, Naya hanya mencari alasan agar bisa menolak, namun sepertinya ayahnya sangat menantikan perjodohan ini. Naya menghela napas panjang. Sejak seminggu lalu, ayahnya selalu membicarakan soal perjodohan dirinya dengan anak temannya. Padahal dirinya belum kepikiran untuk menikah sama sekali. Bukan hanya tidak suka dijodoh-jodohkan, masalah yang lain adalah laki-lai yang dikenalkan ayahnya itu sudah berusia 32 tahun, dan pernah menikah. Bagi perempuan berusia 23 tahun sepertinya, tentu saja itu terlalu tua. “Tapi, Yah… Ayah tega emang nikahkan anak perawannya sama duda?” Naya masih mencoba untuk merayu ayahnya. “Kalau Bunda sama Ayah sih ngga papa,“ jawab sang Bunda yang duduk di sebelah ayahnya. Senyum bundanya membuat Naya mengerucutkan bibirnya kesal. "Nak Dewa itu baik, dewasa dan sudah mapan, Nay. Ayah yakin dia b
Naya menelan air liurnya sendiri. "M-Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."Naya yang sempat terpesona dengan tatapan tajam Dewa, langsung menyadarkan diri. Di kepalanya terbayang bagaimana pernikahannya nantinya, dan Naya tidak siap. Apalagi selama ini Naya hanya mengenal Dewa sebagai atasannya di kantor yang suka menindasnya."Lalu, kamu mau menolak pernikahan ini?" tanya Dewa.Naya mengangguk, karena itulah tujuannya mengajak laki-laki itu bertemu hari ini."Iya, karena saya memiliki prinsip menikah sekali seumur hidup! Dan saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."Dewa tampak menghela nafas. Lalu mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Setelah pelayan memberikan bill, Dewa langsung memberikan kartu kreditnya.“Kalau berani, kamu bisa katakan itu di depan orangtuamu dan orangtuaku.” Dewa berdiri dari duduknya ketika pelayan kembali dengan membawa kartu kreditnya."Malam Sabtu ini, keluarga saya akan datang untuk
Hari pernikahan tiba, dan Naya sebisa mungkin mempertahankan senyum bisnisnya dari pagi. Ini sangat melelahkan untuk Kanaya yang harus berdiri di atas pelaminan dengan heels. Apalagi harus berpura-pura bahagia, ini lebih melelahkan daripada mengejar deadline yang diberi Dewa dulu.Naya menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.“Capek?” Dewa, yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba bertanya.“Eh?” Naya menoleh. “Ya, lumayan.”“Mau saya ambilkan makan?”“Ambilin pudding atau buah aja deh, Pak. Buat ganjel.”Dewa mengangguk, lalu beranjak dari pelaminan. Kini, hanya Naya yang tinggal di situ. Orang tua dan mertuanya sibuk sendiri, menyambut tamu-tamu kenalannya. Naya akhirnya kembali duduk sambil memainkan jari-jarinya.“Oh, ini ISTRI barunya Mas Dewa.” Ucapan itu sontak membuat Naya mengangkat kepala. “Ternyata emang sukanya daun muda, ya?”Naya mengerutkan dahi. Ia kenal wanita ini, itu adalah mantan istri Dewa yang sering keluar-masuk kantor seenaknya. Kenapa dia ada di sini? Seinga