"Bunda jangan takut, ya? Ada Alta di sini yang menemani Bunda," bujuknya. Lagi-lagi hatiku terenyuh. Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu? Dokter Indra menyambut kedatangan kami masih dengan senyum ramahnya. Dia mempersilahkan kami duduk di sofa ruang tunggu untuk mengobrol. "Halo anak manis," dokter Indra memulai aksinya. Dia sudah tahu apa yang sedang Alta alami. Dengan terpaksa aku harus menjelaskan semua yang terjadi tentang keadaan yang sebenarnya. Dokter Indra mengerti. Dia turut merasa prihatin, sekaligus memujiku karena begitu mengkhawatirkan Alta yang bahkan bukan darah dagingku sendiri. Dia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Alta dengan bahasa yang sangat luar biasa menurutku. Entah bagaimana dia mendapatkan kata-kata yang bisa membuat Alta merasa rileks dan mudah menjawabnya. Alta juga terkadang tertawa. Dokter Indra benar-benar berhasil membuat Alta yang murung kembali ceria. "Jadi, Alta tidak keberatan kan, kalau Bunda berteman dengan Mama Lusi? Kasih
"Tapi bagaimana saat Mas Ilham nanti keluar dari penjara, dan dia tidak memiliki apa-apa lagi?""Itu urusan dia, Nay. Mas harap kamu tidak memikirkan tentang dia lagi.""Bukan Mas Rafi. Nay bukannya memikirkan Mas Ilham. Nay hanya berusaha agar usaha Nay ini lancar tanpa merasa berhutang seumur hidup sama Mas Ilham.""Sudahlah, Nay. Kalau tidak kamu jual pun, rumah itu tetap akan disita oleh perusahaan. Jadi secara tidak langsung, rumah itu bukan lagi milik Ilham."Jadi, rumah itu sebenarnya sudah menjadi milik perusahaan? Atau lebih tepatnya, milik Mas Rafi? Dan dia masih tetap ingin membayarnya tanpa berpikir? "Mas sayang sama kamu, Nay. Mas hanya ingin kamu bahagia," ucapnya sambil mengusap rambutku. .Malam ini, aku juga sudah mengabarkan kepada Mas Rafi tentang keadaan Alta. Aku tertawa bahagia saat menceritakan apa yang terjadi di ruang tunggu itu. Aku sangat bersemangat saat menirukan kata-kata dokter Indra kepada Alta. "Coba seandainya Nay sekolah seperti itu, ya Mas? Tentu
Minggu ini aku membiarkan Alta dan Mbak Lusi jalan berdua. Tentunya setelah aku kembali berpura-pura sakit gigi, sesaat menuju keberangkatan. Mau tidak mau Alta menurut karena takut Mbak Lusi kecewa. Kulihat binar mata Mbak Lusi memancarkan kebahagiaan. Sungguh dia sangat berterima kasih kepadaku karena telah memberinya kesempatan. Dan dia tidak akan mungkin sampai hati menghianatiku dengan mencoba merebut Alta. Siang ini aku main ke tempat Ratna, setelah sebelumnya mengawasi para pekerja yang sedang merenofasi ruko sebelah. Ratna terus-terusan mengataiku sangat jahat dan tidak peka setelah kuceritakan tentang percakapanku dengan Mas Rafi. "Nay, Nay. Mas Rafi lagi cemburu, kamunya makin asik muji-muji dokter Indra," ledek Ratna. "La, aku mana tahu, Rat. Mas Rafi tidak bilang. Seharusnyakan dia jujur seperti aku waktu itu.""Tidak usah dikatakan, semua orang juga tahu, Nay. Kamu saja yang kurang nalar. Heran aku melihat sifat lugumu itu tidak hilang-hilang.""Kemarin sudah hilang
"Kenapa kalian diam saja? Cepat usir wanita kampung ini. Atau kalau tidak, aku tidak jadi membeli di sini," ancamnya kepada orang tuaku.Kami saling berpandangan satu sama lain. Melihat ciri-ciri yang sering kuceritakan, pastilah Bapak dan Ibu sudah mengetahui bahwa itu istrinya Mas Ilham. "Memangnya kamu punya uang untuk membeli?" sindir Ibuku. "Bukannya sekarang kamu itu sudah jatuh miskin?"Aku terkejut mendengar ucapan Ibu. Tak pernah sebelumnya Ibuku berkata kasar bahkan merendahkan orang lain sampai seperti itu. "Heh, apa maksud kamu? Memangnya kamu kenal siapa aku? Suamiku itu orang kaya tau!" Viona makin terlihat angkuh. "Kaya? Bukannya sudah jatuh bangkrut, dan kini mendekam di dalam penjara?"Mata Viona mendelik mendengar kata-kata Ibuku. Dia pasti sama sekali tidak menyangka, kalau semua orang sudah tahu siapa dia sebenarnya. "Heh, perempuan kampung. Bicara apa kamu sama orang-orang, ha? Berani sekali kamu memfitnah aku. Dasar tidak tahu diri." Viona dengan cepat mendor
"Eh, iya, dok. Terima kasih, ya?" ucapku tulus. Dokter Indra mengangguk sambil tersenyum.Bagaimana ini? Bukannya si Viona itu pintar membolak-balikkan kata? Bagaimana jika Mas Rafi sampai termakan ucapannya dan marah kepadaku? Apakah nanti tidak akan menjadi masalah? Tapi aku sudah terlanjur berhutang budi pada dokter Indra. Tidak mungkin secara tiba-tiba aku menjauhi dan langsung menjaga jarak dengannya. Apa nanti yang akan dikatakannya tentang keluarga kami? Dia bahkan tidak meminta bayaran saat konsultasi Alta kemarin. ***********Malam ini Alta bercerita panjang lebar usai diajak bepergian dengan Mbak Lusi. Dia terlihat ceria, tak lagi tampak ketakutan dan cemas. Mereka juga tampak mulai akrab dan banyak bicara saat tadi Mbak Lusi mengantarnya ke rumah. Aku turut bahagia melihatnya, walaupun hati kecilku sedikit merasa perih melihatnya. Aku takut suatu hari mereka akan semakin akrab dan melupakan aku. Mungkinkah hal tersebut dapat terjadi? Tapi sepert
Aku terkejut kala mendengar status dokter Indra yang ternyata adalah seorang duda. Pantas saja anak dan istrinya tidak pernah terlihat dari awal dia pindah ke sini. Bahkan disaat acara pembukaan klinik tempat prakteknya tempo hari."Dokter juga bercerai?" aku semakin penasaran. Jangan-jangan dokter Indra juga laki-laki hidung belang yang doyan berselingkuh dengan wanita.Bukankah itu adalah alasan bagi sebagian wanita memilih bercerai dari suaminya. Tidak mungkin pernikahan orang ini kandas begitu saja disebabkan permasalan ekonomi, melihat jenis profesi dan kehidupannya yang mapan itu.Lagipula jika penyebab perceraiannya adalah perselingkuhan dokter Indra, maka dengan begitu aku bisa mewanti-wanti agar menjauhi dan mengurungkan niat untuk memperkenalkannya pada Ratna."Istri saya meninggal saat melahirkan anak ke tiga kami," ujarnya yang membuatku terkejut. "Ibu dan bayinya tidak dapat di selamatkan. Dan itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu," terangnya.Oh, ternyata aku salah paha
Mataku mendelik menatapnya, dengan cepat dia mengalihkan langsung kepada Alta sambil mengedipkan sebelah matanya kepada gadis kecil itu."Siap Om dokter," Alta tersenyum manis sambil membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ada-ada saja tingkah mereka. Sejak kapan mereka terlihat akrab seperti itu?.Pagi-pagi sekali Mas Rafi datang hanya sekedar untuk menyapaku. Dia bilang entah kenapa tiba-tiba saja rindu dan ingin bertemu. Wajahku bersemu merah mendengar ucapannya.Teringat juga soal ancaman Viona tempo hari. Bagaimana kalau Viona tiba-tiba muncul dan mengatakan hal yang bukan-bukan padanya. Apakah nantinya Mas Rafi akan percaya begitu saja dan lantas akan marah kepadaku?Kenapa juga aku harus berurusan dengan dokter Indra di saat-saat seperti ini. Semoga nantinya tidak akan menambah masalah lagi dan memperkeruh suasana hubunganku dengan Mas Rafi.Kulihat pagi ini dokter Indra baru saja membuka pintu kliniknya. Sepertinya suster yang kemarin belum datang. Karena biasa
"Mas selalu percaya, kok. Hanya saja... ""Hanya saja apa?" aku sedikit takut mendengar ucapannya yang sedikit ragu-ragu itu. Kenapa tidak langsung dia ucapkan saja."Hanya saja Mas tidak percaya pada si dokter duda itu!" dia setengah berbisik di telingaku. Membuat aku terkejut dan sedikit tersipu dengan bibirnya yang hampir menyentuh telingaku itu. Kemudian dia kembali mengacak-acak rambutku."Mas Rafi tahu dari mana kalau dokter Indra itu seorang duda?" aku memberanikan diri bertanya. Ah, untuk apa juga aku bertanya. Bukankah Mas Rafi seperti mafia, yang punya banyak mata-mata untuk mengetahui segala sesuatu yang membuatnya penasaran. Pastilah dia sudah menyelidiki latar belakang tetanggaku itu, sesaat setelah mendengar ceritaku waktu itu.Aku tertunduk diam, tak berani lagi bertanya. Mungkinpun dia lebih banyak tahu ketimbang aku perihal duda yang ditinggal mati istrinya tersebut."Tahu begini, Mas tidak mau menjual ruko itu padanya!" keluhnya lagi. Namun tetap saja dia berbicara d