Rudi memperhatikan ruangan yang minim hiasan itu dengan seksama. Lelaki itu hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Tempat tinggalnya bahkan lebih mewah dan megah dari rumah orang yang menggajinya. Dia juga tak melihat ada kendaraan yang terparkir di depan rumah. "Apa aku salah alamat ya," gumamnya merasa tak yakin.Iyan berjalan sambil menggandeng Alif. Namun, baru beberapa langkah Alif melepaskan pegangannya. "Perut Alif sakit, Om. Mau ke kamar mandi," ujar bocah bermata bulat itu, kedua tangannya memegang perut sambil meringis menahan sakit."Ya udah, sana. Nggak usah lari-lari," pesan Iyan yang tak dihiraukan oleh bocah berambut ikal tersebut karena ingin segera sampai di kamar mandi."Alif kenapa?" tanya Ambar saat putranya itu melintas di depannya yang sedang membereskan meja makan."Mau pup, Bunda," sahutnya tanpa berhenti berlari. Ambar yang belum selesai dengan kegiatannya memilih menghentikan dan menyusul Alif ke kamar tempatnya menginap."Alif kenapa, Mbak
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya petugas rumah sakit pun datang. Bik Mina diutus menemani Samina dalam mobil ambulans. Sementara Santi dan Sumi mengendarai kendaraannya sendiri.Sampai di rumah sakit Samina langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan pertolongan medis. Santi mendengkus, dia menggerutu karena harus berurusan dengan rumah sakit lagi. Seorang perawat menghampirinya untuk segera mengurus administrasi. Setelah selesai dengan urusan administrasi, Santi kembali menemui Sumi dan Mina yang masih menunggu di depan ruangan ICU. "Mi, aku pergi dulu. Kamu di sini sama Bik Mina. Ini untuk jaga-jaga." Santi menyerahkan sejumlah uang pada adiknya. "Jaga baik-baik dan gunakan seperlunya saja," imbuhnya sebelum berlalu meninggalkan Sumi dan pembantunya.Santi mengendarai mobil kesayangan menuju rumah Haris. Dia ingin membicarakan ancaman pengacara sekaligus teman dan entah apa hubungan mereka itu.Petugas yang berjaga di gerbang sebuah perumahan itu sudah hapal dengan kenda
"Assalamualaikum," sapa Alif."Wa'alaikumussalam," balas Rudi dengan suara bergetar. Akhir-akhir ini lelaki itu memang sering mengeluarkan air matanya."Ayah?" tanya Alif setelah mendengar seseorang menyebut namanya di sebrang sana."Kok sekarang fotonya beda, Yah? Ayah ndak boleh gitu, nanti bunda sedih, Yah. Siapa dia, Yah? Kenapa dia mencium Ayah?" Protes Alif penuh tanya. Di ujung telepon Rudi membeku, dia tidak bisa menjawab pertanyaan putranya yang di luar dugaan."Halo? Ayah," panggil Alif karena tidak ada jawaban dari seberang. "I-iya, Kak. Ini Ayah, Sayang. Itu foto saudara ayah, Kak. Jagoan ayah apa kabar?" tanya Rudi mencoba mengalihkan pembicaraan. Saat ini netranya tak lagi memanas. Namun, sudah siap menumpahkan air mata. Rudi merasa dihantam godam yang sangat besar dan tepat mengenai hatinya."Aku udah sehat, Yah. Kenapa kemarin pas pulang ayah ndak nunggu Alif bangun? Alif kan masih ingin bermain bersama ayah, tapi sekarang Alif ndak sedih lagi, Yah. Karena ada Om Baik
Malam semakin merangkak naik, tetapi Rudi masih belum ingin kembali pulang. Lelaki berbadan tegap itu ingin menikmati kebebasannya yang tinggal sebentar. Kali ini dia menuju kampung halamannya, tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Penyesalan semakin menggerogoti dirinya ketika mengingat jika tempat yang dulu paling dirindukan sudah tak ada lagi.Lewat tengah malam pajero sports miliknya memasuki gerbang kampung, kenangan masa lampau tergambar jelas di ingatannya. Bibirnya mengulas senyum ketika bayang tentang kedua orang tuanya melintas di ingatan. Netranya memanas ketika dia mengingat betapa telah berbuat dzalim pada ibunya, lelaki itu kembali terisak hingga dadanya terasa sesak.Rudi menyipitkan matanya ketika melihat masih ada kegiatan di salah satu rumah warga. Kedua alisnya berkerut saat menyadari jika keramaian itu berada di rumah Fitri. "Ada apa di sana?" Rudi berbicara sendiri. Lelaki itu melajukan kendaraannya dengan perlahan ketika melewati beberapa orang lelaki ya
KETAHUAN SELINGKUH KARENA LUPA MEMATIKAN VIDEO CALL (tiga puluh tiga)Rahayu menelan ludahnya dengan susah payah ketika mendengar ucapan anak menantunya tersebut. Netranya langsung memanas, lantaran hati yang terluka. Sebagai orang yang telah mengandung, melahirkan dan mengasuh Rudi, ada rasa sakit dan tak rela putarnya diperlakukan seperti itu. Setelah semua hartanya dikuasai, Rudi dibuang seperti sampah.Melihat ibunya bersedih, semakin membuat Rudi merasa tak enak hati, dia merutuki jarinya yang tak sengaja menekan tombol loud speaker, hingga wanita yang sangat dihormatinya itu harus mendengar semuanya, betapa dia tak dihargai oleh sang istri yang dulu sangat dibanggakan olehnya. Sepersekian detik ibu dan anak itu sama-sama terdiam, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ambar ingin sekali mendatangi Santi, sekedar bertanya mengapa? Mengapa dia tega menghancurkan putranya. Sementara Rudi semakin merasa malu karena telah gagal menjadi seorang suami dan laki-laki."Kirim su
"Tapi aku salut loh, Pak, sama dia. Dia berani mengakui kesalahannya. Setidaknya dia bersikap layaknya seorang lelaki," puji Iyan."Kalau mau mengakui gitu, bisa mengurangi hukumannya nggak, Pak?" tanya Farida yang memang kurang paham dengan hukum."Tergantung, jika dia bersikap baik selama menjalani masa hukuman. Mungkin bisa mengajukan kasasi."Iyan dan Farida sama-sama menggangguk mengerti. "Andai, ini seandainya ya, Pak. Rudi ini bisa mengembalikan uang perusahaan bagaimana? Apa dia bisa lepas dari hukuman?" Rupanya Farida sangat penasaran dengan nasib karyawan putranya."Sepanjang unsur pidana terpenuhi, Rudi tetap dituntut dengan pasal penggelapan. Sendangkan pengembalian dana itu tidak termasuk dalam alasan penghapusan hak penuntutan. Dia tetap harus menerima hukuman, karena perbuatan pidananya telah sempurna." Handoko menjeda kalimatnya. "Namun, karena ada itikad baik dari tersangka untuk mengakui dan mengembalikan dana tersebut, mungkin bisa menjadi pertimbangan hakim untuk
"Mbak jangan pergi dari sini ya, tinggal di sini saja," pinta Vina pada Ambar. Gadis yang biasa terlihat dewasa itu sekarang merengek bak anak kecil yang akan ditinggal ibunya. Sementara Ambar masih teguh dengan pendiriannya."Kita masih bisa bertemu, Vin. Aku hanya pindah ke gang sebelah," bujuk Ambar pada gadis itu. Ambar mencoba tersenyum untuk meyakinkan Vina kalau dia hanya akan pindah ke kosannya yang baru. Ambar tak enak hati jika harus lama-lama tinggal di kediaman Handoko. Apalagi di rumah itu ada seorang lelaki yang belum menikah, Ambar hanya tak ingin terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Ambar sadar jika pesona Iyan sangat kuat, dia takut terjerat."Om Baik ...." Alif berlari ke arah Iyan. Bocah berambut ikal itu langsung memeluk pinggang Iyan. Iyan yang masih bingung dengan keadaan yang terjadi di depannya, meraih tubuh Alif kemudian menggendongnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Iyan sambil mengelus punggung kecil Alif."Alif mau ikut Bunda, tapi Alif juga gak mau pergi diri
Santi berteriak kesal ketika sedang berasyik masyuk dengan Haris, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Sumi terdengar seperti tengah terburu-buru dan ingin segera diangkat."Apa, Sumi?!" sentak Santi langsung ketika mereka terhubung."Ibu meninggal dunia, Mbak." Tak ada nada kesedihan di suara yang mengabarkan kabar duka itu. Begitu juga dengan Santi. Bukannya bersedih wanita berambut panjang bergelombang itu malah marah-marah pada adiknya karena telah mengganggu kesenangannya."Ibu? Sekarang? Ya udah kubur aja. Susah amat, memang kalau aku datang dia bisa hidup lagi?!" Santi berbicara tanpa berpikir lagi, dia benar-benar kesal. Hanya karena sebuah kabar kematian dia harus berhenti bermain ketika hampir mencapai puncak."Beneran Mbak nggak mau lihat ibu untuk yang terakhir kalinya?" tanya Sumi lagi, gadis yang juga ingin menjadi simpanan bos itu tak ingin disalahkan jika tidak memberi tahu kakak-kakaknya."Nggak! Udah kubur di tempat yang sama dengan bapak! Biar mereka selalu be