"Kalau begitu undang saja dia ke rumah, Yan. Ibu juga pingin lihat, seperti apa orangnya. Heran aku sama lelaki seperti itu, nggak ingat apa bagaimana dulu berjuang dengan istrinya," gerutu Farida."Kenapa ibu yang sewot? Katanya nggak baik ngomongin orang," sahut Vina."Dari cerita Iyan, ibu menyimpulkannya gini, Vin. Dia manejer baru kan, Yan?" tanyanya yang dijawab anggukan anak lelakinya. "Itu berarti dia merintis karir dengan istri pertamanya. Jauh dari istri lalu terpikat wanita lain. Lelaki macam apa itu? Bagaimana dengan istrinya? Bagaimana dengan anaknya, jika mereka sudah mempunyai anak?" imbuhnya berujar.Untuk sesaat tak ada yang manyahut. Semua diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing, bahkan ketiga orang itu seolah bisa merasakan sakitnya menjadi mantan istri sang manejer."Kita kan nggak tahu bagaimana permasalahan, Bu. Jadi nggak usah menilai sepihak, seperti yang ibu katakan tadi. Tak baik kalau kita membicarakan orang lain." Handoko mencoba mendinginkan suasana."
Rahayu datang dengan membawa mangkuk berisi minyak kelapa dan irisan bawang merah. "Sudah dikasih obat?" tanyanya pada Ambar yang duduk di pinggir ranjang sambil memijat kaki Alif."Sudah, Bu," sahutnya, kemudian menggeser duduknya, memberi ruang pada Rahayu agar bisa duduk di pinggir ranjang yang sama.Setelah menambahkan beberapa tetes minyak kayu putih pada minyak yang dibawanya, Rahayu mulai membalurkan campuran minyak itu ke perut dan kaki Alif."Tengkurap dulu, Lif," titah Rahayu pada cucunya. Alif pun menurut, bocah itu menikmati setiap olesan dan pijitan dari tangan neneknya."Ini kamu kecapekan, Lif. Mangkanya badannya jadi panas. Sudah Nenek bilang, ndak usah ikut-ikutan ngejar layangan.""Alif ndak ikut ngejar, Nek. Hanya ikut lari teman-teman." Alif membela diri."Ya sama saja, Alif," sahut Rahayu sambil mengurut kaki kecil cucunya. "Ikut lari juga kan?" imbuhnya. Alif mengangguk mengiyakan."Alif kenapa, Mbak?" tanya Fitri yang baru masuk."Badannya panas," sahut Ambar. "
"Pak, ikuti mobil Avanza putih itu," titah Rudi pada Antok–sopirnya. "Siap, Pak," jawab Antok. Lelaki sepantaran dengan Rudi itu langsung tancap gas tanpa banyak bertanya. Mobil Pajero hitam milik Rudi terlihat gagah membelah jalanan, melaju seperti sebuah singa yang tengah mengejar mangsanya. Sementara semua yang ada di dalam kendaraan itu diam seolah mengerti apa yang terjadi.Mobil yang dikendarai Santi dan Haris memasuki pelataran sebuah hotel bintang lima. Begitu juga dengan Pajero milik Rudi."Pak, maaf. Ini ada kabar dari kantor kalau Pak Iyan sekarang berada di sana." Bella mengatakannya ketika Rudi bersiap untuk turun. Rudi terlihat begitu emosi, apalagi ketika ekor matanya melihat Santi begitu mesra menggandeng tangan Haris."Hah!" Hanya itu yang keluar dari bibir Rudi. "Kalian tunggu di sini, jika dalam waktu lima menit aku gak keluar, kamu hubungi aku, Bell," pesannya pada sang asisten. Setelah itu Rudi bergegas pergi."Pak!" seru Bella membuat Rudi menghentikan langkahny
Vina menyimpan ponselnya dalam tas, kemudian dia ikut menyimak perbincangan antara kakaknya dan si manejer. Untuk sesaat Vina terpaku setelah tanpa sengaja menatap Rudi yang sedang tersenyum. Vina seolah kenal dengan senyuman itu. Namun dia lupa siapa pemilik senyum yang mirip dengan manejer itu, tanpa sadar Vina menatap Rudi cukup lama, hingga membuat Bella kesal."Baiklah, Pak Rudi. Kami permisi dulu, aku pribadi benar-benar berterima kasih pada Pak Rudi yang sudah bekerja keras mengembangkan kantor ini," ucap Iyan sambil mengulurkan tangannya pada Rudi. Setelah mereka puas berbincang-bincang."Terima kasih kembali, Pak. Saya akan melakukan semampu saya untuk memajukan kantor ini," sahut Rudi sambil menjabat tangan bosnya."Sabtu depan datanglah ke Bogor, Ibu dan Ayah ingin berkenalan dengan Pak Rudi. Ajak serta keluarga bapak." Setelah berucap Iyan pun melangkah hendak keluar, begitu juga dengan Vina."Jangan macam-macam sama Pak Rudi, dia sudah berkeluarga," bisik Bella pada Vina.
Haris tersentak ketika merasakan pukulan di tubuhnya, lelaki itu tak bisa menghalau serangan yang datang secara tiba-tiba dan bertubi-tubi dari Rudi. Tatapannya nanar ketika menyadari siapa pelakunya. Dalam hati Haris mengumpat, mengapa Rudi bisa mengetahuinya. Lelaki yang masih belum memakai baju itu hanya bisa mengadu kesakitan. Hal itu semakin membuat Rudi semakin bersemangat untuk menghajarnya.Santi berlari sambil menjerit menyaksikan selingkuhannya dihajar oleh sang suami, wanita pemilik bibir seksi itu berusaha untuk menghentikan aksi Rudi. Namun, bukannya berhenti, Rudi semakin kalap."Brengsek!" sentak Rudi sambil terus melayangkan bogem mentahnya."Hentikan, Mas!" seru Santi sambil berusaha menarik tangan suaminya. Namun, dengan sekali sentak dari Rudi, tubuh Santi terpelanting, wanita itu terjatuh dengan jeritan kesakitan.Setelah melihat Haris tak berdaya dengan luka memar di sekujur wajahnya, barulah Rudi berhenti. Dengan napas yang masih tersengal, Rudi langsung menyeret
"Ambar, apa yang terjadi?" tanya Rahayu setelah mendapati mantan menantunya itu bersimpuh di lantai sambil menangis dengan tangan yang memegang erat jemari mungil putranya.Sebelum Ambar menjawab pertanyaan, Alif kembali mengigau memanggil ayahnya. Rahayu langsung mengerti duduk permasalahannya, Alif merindukan ayahnya. Bisa juga, demamnya ini juga karena rindu. Wanita baya itu duduk di sisi ranjang, lalu perlahan mengelus rambut ikal sang cucu."Ayah, Alif kangen," ucap bocah itu dengan mata terpejam. Mendengar hal tersebut, Ambar menutup mulutnya agar tangisnya tak sampai terdengar. Wanita bertubuh langsing itu tak menangisi mantan suaminya. Namun, dia seolah merasakan kesedihan putranya. Tak jauh berbeda dengan Rahayu, wanita baya itu menutup matanya sambil menghela napas, dia juga bisa merasakan pedihnya hati sang cucu karena merindu.Kedua wanita itu menitihkan air mata dalam keheningan yang tiba-tiba tercipta. Rudi, sebuah nama yang beberapa bulan ini sengaja dihindari mereka. N
"Sekarang ponselnya ndak aktif, Bu," ucap Fitri yang masih berusaha menghubungi Rudi. Mendengar penuturan perempuan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu, Rahayu menghela napasnya. Wanita senja itu terlihat kecewa sekaligus sedih. Harapannya pupus, kini Rahayu semakin yakin kalau putra yang dulu sangat dicintainya sudah melupakannya.Ambar yang secara tidak sengaja mendengar ucapan Fitri dan melihat kesedihan di wajah Rahayu, mencoba untuk tetap menghibur wanita yang disayanginya tersebut. Ambar sepenuhnya sadar jika Rudi sudah menjadi orang asing untuk dirinya, bahkan mungkin untuk Alif juga. Namun, Rahayu adalah wanita yang telah melahirkannya, pasti wanita senja itu juga merindukan lelaki itu."Mungkin dia sibuk, Fit. Jangan diganggu lagi. Nanti, kalau ada waktu pasti Mas Rudi akan menghubungimu," ucap Ambar. "Taksinya sudah menunggu di depan, Bu. Sebaiknya kita segera membawa Alif ke rumah sakit," imbuh Ambar sambil menatap lekat mata Rahayu."Semua sudah kamu siapkan, M
"Bang, Jum'at besok Mbak Ambar ngak bisa bikin nasi kotak," ucap Vina setelah menghampiri Iyan di kamarnya. Lelaki itu terlihat sibuk di depan laptop."Kenapa emang?" tanyanya dengan tatapan yang tetap fokus ke layar laptop."Alif masuk ke rumah sakit," sahut Vina. Saat ini gadis yang tengah menggunakan celana caka pans itu merebahkan tubuh mungilnya di ranjang sang kakak."Kita ke rumah sakit jenguk Alif yuk," ajak Vina setelah memiringkan tubuhnya, kali ini dia menatap intens pada sang kakak."Nggak bisa sekarang, Vin. Aku lagi sibuk," sahut Iyan."Ayo lah, Bang. Aku udah kangen sama Alif. Sejak di wa Mbak Ambar tadi, aku jadi kepikiran Alif terus." "Ntar kalau ini sudah selesai. Kamu udah tahu Alif dirawat di rumah sakit mana?" tanya Iyan akhirnya. Karena sebenarnya dia juga merasa cemas dengan bocah berambut ikal tersebut, padahal mereka tak pernah bertegur sapa. Namun, Iyan sering memperhatikan tingkah pola Alif, ketika mereka sedang makan di warung Ambar. Ketika melihat Alif, d