Share

Kebebasan

Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.

Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil.

"Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.

Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu.

"Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi.

"Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita.

"Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke ruang perin terlebih dahulu untuk menandatangani beberapa dokumen." ucap suster sambil tersenyum kepada Adi dan beberapa kerabatnya.

"Syukurlah kamu sehat ya, Nak!" Adi mengintip ke dalam kotak dan memandangi anak nya yang masih sangat kecil. Derai air mata membasahi kedua pipi Adi, ungkapan rasa syukur itu terus dilafalkannya dalam hati. Sesekali Adi juga menyentuh tangan mungil anaknya yang belum mampu menggenggam. Sungguh momen pertemuan pertama yang sangat Adi nanti-nantikan.

"Lalu dimana istri saya sus?" lanjut Adi karena juga mengkhawatirkan istrinya.

"Ibu sedang menjalani proses penjahitan luka. Beberapa menit lagi akan kita antarkan ke ruangan." jawab suster dengan tenang agar Adi tidak panik.

Setelah beberapa jam melalu observasi, akhirnya Mita diserahkan ke Ibunya untuk pertama kali.

Tangis Ratih pecah setelah menyentuh kulit mulus anaknya yang masih merah. Ratih merasa tak percaya Ia bisa melahirkan bayi secantik Mita.

Bagi keluarganya, Mita adalah manifestasi dari keindahan yang murni dan sempurna, sebuah anugerah yang tak ternilai, membawa harapan dan kebahagiaan bagi setiap orang yang beruntung menyaksikan kehadirannya.

Ratih sekeluarga pun akhirnya meninggalkan rumah sakit mewah itu setelah 3 hari menjalani masa pemulihan.

Ratih merasa sangat senang karena akhirnya dapat menghirup udara segar sambil membawa pulang karunia terbesarnya saat ini.

"Syukurlah akhirnya kita bisa pulang ya, Mas." ujar Ratih dalam mobil bersama dengan suaminya di kabin depan.

"Iya Dek, aku juga sudah tidak sabar ingin mengenalkan Mita pada semua anggota keluarga." jawab Adi sambil sesekali menoleh ke arah anaknya saat sedang fokus mengemudi.

Tak berselang lama sampai lah mereka ke rumah. Sudah ada beberapa keponakan yang bermain di depan gerbang rumah Ratih untuk menyambut adik baru mereka.

"Om, tante, aku mau lihat! Aku mau lihat!" seorang keponakan yang seakan bersemangat menyambut adik baru mereka.

Di ruang tamu sudah berkumpul beberapa orang dewasa dan remaja yang sudah menunggu kedatangan mereka.

Semua orang terlihat sangat antusias dengan kondisi ini. Apalagi melihat kecantikan bayi Mita, membuat mereka yakin bahwa ini memang benar-benar anak Ratih.

Namun, dari sekian banyak orang disana tidak ada satupun yang merupakan kerabat Ratih. Semua adalah kerabat dari suaminya, Adi.

Sementara itu, kembali ke masa kini...

"Aku dulu punya teman, namanya Ratih. Dia mirip banget sama kakak." ucap pribadi Riri dalam tubuh Ratih saat di tengah permainan dengan Mita.

Mita pun terhenti dan meminta Ratih untuk bercerita lebih banyak lagi. "Oh iya? Coba ceritain soal temen kamu Ratih itu dong Ri!".

"Aku tidak setiap hari bertemu Ratih. Tapi setiap ketemu Ratih, dia selalu terlihat habis nangis." jelas pribadi Riri.

"Nangis kenapa, Ri?" tanya Mita penasaran. "Aku juga tidak tahu, yang jelas kita sering sekali main bersama." jelas pribadi Riri.

"Tapi sepertinya Ratih sudah berubah sekarang. Dia sudah tidak asyik lagi, kenapa ya dia jadi tidak seru?" pikir pribadi Riri dalam tubuh Ratih.

Padahal yang terjadi adalah Ratih sudah mampu mengendalikan diri sekarang. Terlebih usia Ratih terus bertambah, sedangkan Riri tidak.

"Eh tapi sekarang aku punya teman Kak Mita. Jadi aku senang." lanjut pribadi Riri sambil melanjutkan permainan dengan wajah riang gembira.

Mita masih tidak mengerti apa yang di maksud Ratih. Ia tidak mampu membayangkan apa yang dialami Ibunya semasa kecil hingga Ia mengidap hal yang demikian.

Namun, daripada meminta penjelasan rinci pada pribadi Riri yang jelas menurut Mita masih terlalu polos, Mita tidak memaksa Ratih untuk menjelaskan secara terorganisir karna sudah pasti pribadi Riri tidak akan mampu menjelaskan.

Akhirnya Mita pun berusaha melanjutkan siasatnya untuk bisa keluar dari kamar.

"Kakak sudah bosan, Ri. Kalau main di sini terus kurang seru. Ayo kita main ke kamarmu?" usaha Mita untuk membujuk pribadi Riri mengajaknya keluar kamar.

"Kamarku kan di bawah, Kak? Berarti kita harus turun bareng?" tanya Ratih dengan wajah gelisah. "Aku takut dimarahin si nenek, Kak." lanjut pribadi Riri.

"Tenang saja, selama aku tidak lari tidak ada masalah bukan?" rayu Mita melanjutkan bujukannya.

Mita sudah tau selama tidak ada sesuatu yang aneh, maka kepribadian lain tidak akan tiba-tiba muncul.

Sehingga Mita sudah merumuskan jika perubahan kepribadian dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Tapi Mita hanya bisa mengontrol faktor eksternal, berharap bahwa kegiatan eksternal tidak sampai memengaruhi faktor internal dalam diri Ibunya.

"Gimana ya, hmm?" Ratih terlihat kebingungan.

"Yasudah, tapi aku mau pinjam itu!" Ratih menunjuk sebuah kotak di atas meja. Kotak itu berisi seperangkat alat make up lengkap mulai dari foundation sampai lipstik terbaru.

Wajah Ratih memerah, Ia menunjuk sambil tersipu, seolah Ia telah melakukan suatu hal yang memalukan.

"Oh itu? hahaha. Boleh, kamu boleh pakai ini sepuasnya." jawab Mita yang akhrinya menunjukkan tawanya kembali.

"Yeay, janji? Kakak juga tidak akan lari kan?" Riri sangat ketakutan sehingga Ia berulang kali meminta kepastian.

Tapi Ia juga tidak bisa menahan hasratnya untuk terus menikmati permainan.

Akhirnya mereka berdua pun keluar dari kamar. Setelah sekian jam, Mita merasa sedikit lega dapat berkeliaran kembali di luar kamar, meskipun ada Ratih yang mengawasi.

Kali ini Mita akan berusaha keras mencari tau keberadaan adiknya sekaligus berusaha kabur dari pengawasan Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status