Share

Gadis Kecil Penuh Memar
Gadis Kecil Penuh Memar
Penulis: Ayah Gemelli

Penjara dalam Rumah

Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.

Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita saat Ia baru saja berhasil terbangun.

Dengan hati-hati, Mita berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam.

"Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil.

"Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.

Adam terdiam dengan tangisan kecilnya sambil menggelengkan kepala ke arah Mita pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Mita dengan tenang mendekati adiknya sambil memeluknya erat-erat. "Tenanglah Adam, kakak disini." ucap Mita dengan nada lugas berusaha tenang meskipun kepanikan seakan memenuhi dada dan pikirannya.

“Pertama-tama, kita harus mencari jalan keluar dari sini,” ajak Mita kepada Adam yang sudah mulai merasa tenang.

Mereka berdua memeriksa jendela, namun semua terkunci rapat. Mita mencoba mencari handphone miliknya untuk menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.

Namun, entah mengapa dia tidak dapat menemukannya. Padahal handphone itu selalu Ia bawa kemanapun Ia pergi. Kepanikan kembali mulai merayap di hati mereka.

"A...Apa kita disekap di sini?" tanya Adam dengan suara gemetar.

Mita menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya dan adiknya, "Tenang, Adam. Kita pasti bisa keluar dari sini. Ibu mungkin hanya lupa mengunci pintu dari luar."

Sementara itu, di lantai bawah, Ratih duduk di ruang tamu dengan tenang. "Sekarang mereka aman... tidak ada yang bisa menyakiti mereka," ucap Ratih sambil membaca sebuah majalah kecantikan terbaru. "Mereka harus diam di kamar... jauh dari bahaya."

Sementara di kamar atas, Mita dan Adam mencoba berteriak meminta pertolongan. “Tolong, Ibu? Apa kau diluar sana?” teriak Mita sambil sesekali menggedor pintu.

Sudah hampir sepuluh menit mereka berusaha berteriak meminta bantuan kepada seisi rumah yang dihuni oleh mereka berempat, Ayah Adi, Ibu Ratih, Mita, dan Adam. Tapi tidak ada sedikitpun bantuan atau pun jawaban dari seseorang dari luar kamar.

Mereka pun mulai mencari cara untuk keluar secara paksa. “Ayo kita cari sesuatu di dalam lemari!” ajak Ratih pada Adam yang sudah mulai bersemangat.

Mereka menemukan sebatang besi kecil di dalam lemari dan mencoba menggunakannya untuk membuka pintu.

Ratih yang mendapati rumahnya menjadi sunyi seketika, berhenti membaca sejenak majalah tepat pada halaman krim anti-aging yang sangat ia tunggu-tunggu. Sambil melirik ke arah kamar atas, Ia mendengar suara berisik seperti sesuatu yang sedang dipukul berkali-kali.

"Kenapa mereka harus berulah saat aku membaca topik kesukaanku,” gumam Ratih terlihat jengkel karena merasa terganggu. Terasa aneh memang, kenapa wanita 30 tahunan seperti Ratih menyukai produk yang biasa dipakai wanita berusia 50 tahunan.

Setelah beberapa saat, usaha kedua anak itu mulai membuahkan hasil. "Aku rasa gagang ini sudah sedikit terbuka, Kak!" seru Adam dengan semangat.

Namun, suara langkah kaki mendekat membuat mereka berhenti. Pintu kamar terbuka, dan Ratih berdiri di sana dengan tatapan tajam tapi tenang.

"Ibu?" tanya Mita dengan suara bergetar. "Kenapa ibu mengunci kami di sini?"

“Lastri! Sulastri!” tegas Ratih saat melihat kedua anaknya tersipu diatas lantai sambil berpegangan tangan. "Kalian harus tetap di sini! Ini untuk kebaikan kalian."

"Sulastri? Apa maksud ibu? Siapa Sulastri, Bu?," tanya Mita yang mulai ketakutan oleh sikap aneh ibunya. "Kami ingin keluar." Rintih Adam dengan suara pelan.

Tanpa menjawab pertanyaan Mita, Ratih pun melangkah maju, memegang bahu Adam dengan keras. "Kalian tidak boleh keluar! Kalian tidak aman di luar sana!"

Mita mencoba menarik adiknya menjauh dari genggaman Ratih. "Ibu, tolong... lepaskan Adam!"

Ratih melepaskan genggaman itu dengan kasar. Tanpa sepatah kata, Ratih bangkit dengan pelan dan mengunci pintu kembali dari luar, meninggalkan mereka dalam kegelapan.

Setelah beberapa jam berlalu, ketegangan semakin terasa di dalam kamar. Mita dan Adam berpelukan di sudut ruangan, mencoba menghibur satu sama lain.

"Kak, kenapa Ibu jadi seperti ini?" tanya Adam dengan suara serak.

Mita menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku tidak tahu, Adam. Tapi kita harus tetap kuat dan mencari cara untuk keluar dari sini."

Di lantai bawah, Ratih duduk santai di meja makan, menyantap hidangan dingin yang Ia masak semalam.

"Mereka tidak boleh keluar... mereka akan dalam bahaya," ucap Ratih sambil mengorek makanan di depannya.

"Tapi aku tidak ingin menyakiti mereka," jawab Ratih dengan lemah. "Jika kau tidak mengurung mereka, Dia akan menemukan mereka. Ingat apa yang dilakukannya padamu?" ucap Ratih juga dengan raut muka yang lebih bertenaga.

Air mata mengalir di pipi Ratih saat ingatan tentang perlakuan yang Ia terima muncul kembali. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan, sesuatu yang aneh bergejolak dalam pikirannya.

"Tidak! Aku tidak mau lagi mengalaminya!" jerit Ratih, tetapi suaranya hanya menggema dalam kesunyian rumah itu.

Sementara itu, di dalam kamar, Mita dan Adam tidak mau gegabah lagi dalam melakukan sesuatu. "Kita harus mencari cara keluar dari sini secepatnya," kata Mita dengan tekad.

Mereka memutuskan untuk mencoba membuka jendela yang ternyata juga sudah dipasang gembok baru dari dalam.

Dengan susah payah, mereka akhirnya berhasil sedikit menghancurkan pengait gembok ke bingkai jendela. "Ayo, Adam, bantu aku!" seru Mita.

Berkat kerja sama yang baik, mereka berhasil menghancurkan seutuhnya pengait itu. Udara segar mengalir masuk melalui celah sempit jendela yang baru sempat mereka buka, memberi mereka sedikit harapan.

“Cicak cicak di dinding, diam-diam merayap...” suara Ratih bernyanyi menyerupai seorang anak kecil berjalan menuju kamar atas. Mendengar hal itu Mita dan Adam saling menatap sambil menarik napas panjang. Dengan cekatan Mita kembali menutup jendela yang berhasil Ia buka dengan susah payah dan kembali ke bawah lantai bersama Adam.

“Gubrak!” suara pintu yang dibuka dengan kasar.

“Halo kakak, mau main? Aku bosen daritadi gak bisa keluar. Nenek tua itu selalu gak mau gantian.” gumam Ratih sambil jalan mengelilingi kamar Mita dan Adam.

"Wah, apa ini kak? Mainanmu banyak banget. Riri pinjem boleh?” ucap Ratih sambil membuka kotak mainan Adam yang tersimpan di sudut kamar.

“Ka...Kamu siapa?” tanya Mita dengan raut wajah tegang dan kebingungan. “Riri! Kakak siapa?” sahut Ratih sambil terus mengobok-ngobok kotak mainan Adam.

Keringat bercucuran dari pangkal rambut Mita menuju ke bawah dagu. Setelah terdiam beberapa detik, Ia mulai memberanikan diri untuk berinteraksi lebih jauh dengan Ibunya. Meskipun sebenarnya Ia pun tidak yakin kalau Ibunya mengenalinya atau tidak.

"A...Aku Mita, ini Adam adikku,” jawab Mita sambil menelan ludah. Perlahan Mita mencoba mengendalikan situasi. Dia berpikir untuk bisa keluar dari kamar itu dan segera meminta bantuan.

“Riri disini ngapain?” tanya Mita sambil merangkak mendekat ke arah Ratih. “Aku di suruh si nenek buat awasin kakak-kakak,” jawab Ratih sambil memainkan boneka usang milih Mita dulu. “Tapi aku bosen banget, pengen main aja. Kakak ku tinggalin sendirian aja boleh? Aku pengen main kak.” rayu Ratih kepada Mita dan Adam.

Mita menoleh sebentar ke arah Adam yang tampak masih kebingungan dan mencoba menanggapi Ratih. “Kalau gitu kakak boleh minta kunci kamar ini nggak? Biar kakak bisa ambil makan di dapur nanti, kami belum makan dari pagi,” tanya Mita balik ke Ratih yang masih fokus bermain.

Ratih terdiam beberapa saat, tanpa sepatah kata pun tiba-tiba tatapannya tajam tertuju pada Mita yang mengajaknya bicara.

Ia meletakkan begitu saja bonekanya di lantai dan langsung bangkit berlalu kembali menutup pintu kamar. Mita yang kaget dan kebingungan teringat sesuatu jika saja Ibunya menyadari niat meloloskan diri dari Mita dan Adam.

Mita kembali mundur untuk menemani Adam yang masih ketakutan. Dengan raut wajah lelah, Ia masih terus berusaha menelaah apa yang sebenarnya terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status