Share

Keraguan

Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.

Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.

Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.

Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi  jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau.

"Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah Ratih seketika sirna dan berubah menjadi riang dan hangat.

Namun, entah mengapa Mita merasa bahwa kehangatan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk adiknya, Adam.

"Hai, sayang. Apa kabar hari ini?" tanya Ratih, mengangkat Adam dan membawanya ke dapur.

Mita mengikuti mereka dari belakang, berharap Ratih menyadari keberadaan Mita disitu. "Ibu, Mita dapat nilai sempurna di ujian bahasa Inggris hari ini," kata Mita dengan harap.

"Oh, bagus sekali, Kak. Nanti kita rayakan, ya. Ibu harus memasak makan malam dulu," jawab Ratih sambil meletakkan Adam di kursi tinggi dan mulai mengeluarkan bahan makanan dari tas.

Perasaan kecewa kembali menyeruak. "Tapi Bu, Mita ingin menunjukkan kertas ujiannya sekarang," desak Mita ke Ratih yang terlihat kebingungan memisahkan jenis belanjaan kering dan basah.

Ratih menghela napas, menoleh sebentar ke arah Mita. "Maaf, Kak. Ibu benar-benar harus memasak sekarang. Nanti ya, setelah makan malam."

Adam tertawa dan mulai bermain dengan sendok dan garpu, menarik perhatian Ratih kembali. Mita berdiri di sudut dapur, merasa tidak dianggap.

Setelah makan malam, saat mereka berkumpul di ruang keluarga, Adam duduk di pangkuan Ratih, menikmati cerita sebelum tidur.

Mita duduk di seberang mereka, merasa tersisih. Mita memutuskan untuk mencoba lagi.

"Ibu, bisa lihat ujianku sekarang?" tanya Mita dengan suara lirih.

Ratih tersenyum lelah. "Nanti, Kak. Ibu harus menidurkan Adam dulu."

Adam memeluk Ratih erat-erat, membuat hati Mita semakin pedih. "Mita juga ingin mendengar cerita sebelum tidur, Ibu," kata Mita.

Ratih menghela napas panjang. "Kak, Adam masih kecil. Dia butuh Ibu lebih banyak. Kamu kan sudah besar, bisa tidur sendiri." jelas Ratih kepada Mita berharap anaknya mengerti dan segera pergi ke tempat tidurnya.

“Lagi-lagi seperti ini,” dalam hati Mita yang sudah sering kali merasa dinomer duakan, bahkan tidak ditanggapi sama sekali.

Dengan berat hati, Mita pun beranjak tidur dengan membelakangi tempat tidur Adam sambil menggertakan gigi.

Mita ingin menangis tapi ego nya menahan itu. “Aku tidak boleh mudah menangis dengan hal semacam ini.”

...

Ingatan buruk Mita kembali muncul sebagai penguji keputusan Mita saat ini.

“Bukan! tidak, bukan ini yang harusnya selalu ku ingat,” tegas Mita pada dirinya sendiri.

“Situasi hari ini tidak membutuhkan persepsi ku di masa lalu tentang hubungan kami.” lanjut Mita.

Mita masih teringat dengan peristiwa-peristiwa yang membuatnya marah dan cemburu pada Adam karena ulah Ibunya sendiri.

Namun, dengan semua hal yang telah terjadi hari ini, Mita memutuskan untuk tidak lagi membiarkan perasaannya membuat adik dan Ibunya berlarut dalam bahaya.

“Baru hari ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Ibu terlihat sangat kesakitan. Adam juga terlihat sangat ketakutan hingga Ia tak mampu melepaskan tangannya dariku.” ucap Mita sambil menyeka kedua matanya yang kembali mengeluarkan air mata.

Setelah satu tarikan nafas panjang, akhirnya Ia pun bersiap untuk menemukan sebuah rencana melarikan diri.

Seluruh alat makan yang sudah bersih Mita susun dan singkirkan di pojok kamar. Lalu Ia mengambil secarik kertas dari dalam laci belajarnya.

Pikiran cerdas dan kreatif Mita mulai lancar berjalan demi menyusun satu demi satu serpihan informasi.

Mita mengawasi setiap sudut kamar untuk mencari celah kesempatan melarikan diri. Mata nya berhenti saat menengok ke arah jendela.

“Apa yang Ibu pikirkan? Ia tak membawa kembali alat-alat ini dan perbaikannya pun tidak selesai.” ucap Mita dengan senyum lega.

“Dewi fortuna tidak meninggalkanku kali ini,” Mita bangkit dengan semangat dari kursi, memilah perkakas di atas lantai untuk dijadikan nya alat kabur.

Sekelebat terbesit di benak Mita beberapa pilihan.

Melihat jendela yang tidak dibenahi dengan benar sekaligus alat yang ditinggalkan ini, sebetulnya Mita bisa melarikan diri lebih dulu dan meminta bantuan ke orang di luar rumah.

Tapi yang tidak dapat Ia pastikan adalah keselamatan adiknya. Bisa saja Mita berhasil kabur tapi adiknya yang masih terjebak akan terluka akibat kecerobohannya.

Akhirnya Mita memilih untuk mencari tau posisi dan kondisi adiknya dulu sambil menyusun rencana melarikan diri.

Jika memang ada kesempatan, Mita akan sekaligus membawa adiknya kabur dari Ratih.

Kali ini Mita harus berpikir tenang dan jernih agar bisa menerjemahkan dan merumuskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga Ia dapat menemukan pola yang tepat atas petaka ini.

“Alat-alat yang tergeletak ini pasti bukan karena Ibu lupa membawanya,” pikir Mita sambil terus menerka-nerka.

“Apa jangan-jangan karena Ibu tidak tau kalau alat-alat itu ada disitu?” ekspresi Mita seakan menemukan sebuah petunjuk.

“Sejauh ini Ibu memasuki kamar ini sebanyak tiga kali,” ucap Mita dengan wajah serius duduk tenang menghadap meja belajar.

“Pertama, Ia masuk saat kami berusaha kabur melalui pintu. Suara dobrakan kami pasti terlalu berisik sehingga Ibu menyadari upaya ku dan Adam tadi pagi.” imbuh Mita sambil menuliskannya di secarik kertas.

“Gelagatnya juga tidak seperti Ibu biasanya. Terlihat lebih tenang, tegas, dan yang paling aneh dia mengaku sebagai Sulastri.”

Mita coba mengurutkan peristiwa yang terjadi sejak pagi tadi.

“Kedua, Ia masuk dan berlagak seperti anak-anak bernama Riri. Ibu terlihat lebih polos, tak begitu agresif, tapi susah diajak bicara.” tulis Mita di dalam buku catatanya.

Dalam persepsinya Mita meyakini bahwa Riri adalah sosok anak kecil yang kemungkinan masih seusia Adam.

Tapi yang Mita masih bingung kenapa Ibunya langsung menghindar ketika Mita meminta kunci kamar kepadanya tadi pagi.

Seolah-olah Riri sudah mendapat instruksi untuk tidak sekali pun membahas tentang kunci kamar, terutama dengan Mita dan Adam.

“Ketiga, Ibu masuk dengan membawa makanan, Ia juga sekaligus membereskan kamar kami secara keseluruhan. Dia juga mengaku bernama Dimas,”

“Kondisi ini adalah kondisi Ibu yang paling tenang dan bisa diajak bicara dengan jelas. Namun, sayang sekali obrolan kami terhenti karena dia menemukan bekas congkelan di jendela.” ujar Mita sambil memegangi kepalanya yang bekerja begitu keras.

“Apa jangan-jangan Ibu mengidap penyakit itu?” mata Mita melebar ke arah salah satu buku di meja belajarnya. Mita seolah menemukan sesuatu petunjuk besar di kepalanya.

Pikiran Mita tertuju pada satu jenis penyakit mental yang memiliki ciri-ciri identik dengan perilaku aneh Ibunya hari ini. Jawaban itu akan segera Mita temukan dalam buku pelajaran sekolah yang sudah lama dipelajarinya sebagai siswa SMA.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status