Share

Mencari Celah

Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.

Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.

Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.

Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.

Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian.

"Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.

Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."

Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu. Itu tidak pantas untuk anak perempuan."

Mita menarik nafas panjang, mencoba menahan emosinya. "Bu, ini cuma baju. Aku suka, dan ini nyaman. Lagipula, aku tidak melihat ada yang salah dengan ini."

"Tapi Ibu lihat ini salah, Nak! Ini tidak sopan dan tidak cocok untuk usiamu. Kamu harus berpakaian yang lebih baik, seperti ini!" kata Ratih sambil mengeluarkan blus krem dan kulot hitam dari dalam lemari.

Mita menggelengkan kepala. "Bu, kenapa aku harus pakai baju yang Ibu pilih? Ini tubuhku, ini gaya aku. Aku ingin jadi diriku sendiri, bukan orang lain."

Ratih juga menarik napas panjang, mencoba meredam amarahnya. "Mita, Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Ibu tidak ingin kamu dinilai buruk oleh orang lain. Ibu tahu lebih banyak tentang dunia ini daripada kamu!"

"Bu, aku juga tahu banyak hal! Aku tahu apa yang aku suka dan apa yang membuat aku nyaman. Aku nggak mau hidup dengan selalu mengikuti apa kata orang lain," balas Mita dengan tegas sambil mendesak Ratih ke arah pintu dan menutup pintu dengan cukup keras.

...

Rentetan peristiwa Minggu lalu tiba-tiba terbesit di benak Mita saat Ia memangku kepala adiknya yang mulai tertidur kelelahan.

Itu adalah perselisihan terakhir Mita dengan Ibunya sebelum tragedi hari ini terjadi.

Mereka berdua memang seringkali berselisih paham. Gaya mengasuh Ratih yang cenderung konvensional tidak cocok dengan prinsip hidup anaknya yang milenial.

Adam menyela lamunan Mita, “Kak, aku lapar.” rintih Adam yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. “Kak...Kak Mita?” tambah Adam karena kakak nya terus melamun dengan tatapan kosong.

“Eh iya, kenapa Dam?” Mita terkejut dan akhirnya tersadar dari lamunan bayangan peristiwa masa lalunya oleh sedikit guncangan dari Adam. “Adam laper, kita belum makan sejak pagi tadi.” keluh Adam pada Mita berharap kakaknya punya solusi.

Tapi apalah daya memang mereka tidak dibekali apapun dalam kejadian kali ini. Sehingga bahkan makanan pun tak mereka miliki.

“Maaf, Dam. Tapi kakak juga tidak tau harus makan apa?” jawab Mita dengan sesal karena tidak bisa membantu adiknya.

“Oh ya, ini kakak ada minuman yang kemarin lupa kakak kembalikan ke dapur.” Mita teringat ada sisa minuman di tumbler yang lupa Ia kembalikan ke dapur kemarin sore.

“Sebentar ya kakak ambil tas dulu.” pamit Mita sambil menyingkirkan perlahan kepala adam dari paha nya.

“Ini Dam, habiskan! Sementara bisa untuk mengganjal perutmu.” seru Mita pada adiknya yang kelaparan.

“Tapi ini tinggal sedikit kak, memang tidak apa-apa?” Adam khawatir kakaknya juga sedang membutuhkan air minum.

“Tidak masalah Dam, kakak masih kuat.” ucap Mita bohong demi adiknya. “Baiklah, terima kasih Kak Mita.” balas Adam dengan girang dan semangat.

“Glek...glek...glek... Aaahhh.” suara tegukan Adam yang sangat keras menandakan dahaganya sudah terpuaskan. Mita menelan ludah sambil tersenyum setengah kepada adiknya.

“Tok...tok...tok...” tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketok oleh seseorang.

Keduanya terkejut dan menatap ke arah pintu bersamaan. Adam yang masih menggenggam tumbler tak sengaja menjatuhkannya di lantai.

Tangan kecilnya tidak mampu menahan tumbler saking kagetnya. Mita juga dengan reflek langsung menarik dan memeluk Adam kembali.

Dari balik pintu muncul sosok Ratih membawa sebuah nampan berisi dua porsi makanan, minuman, dan satu mangkuk irisan mangga.

“Maaf terlambat, si nenek baru selesai membuatnya.” kata Ratih sambil menaruhnya pelan di meja belajar Mita.

“Sebenarnya aku tak tahu kenapa harus melakukan ini,” ucap Ratih kepada kedua anak itu. “Si nenek bilang ini demi kebaikan kalian berdua, tapi kenapa harus dikunci di kamar juga ya?”

Mita dan Adam hanya bisa terdiam ketakutan di bawah lantai. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar karena kali ini mereka dibuat bingung kembali dengan perilaku Ibunya.

“Terkadang memang bentuk kasih sayang itu tidak selalu harus dengan kelembutan. Sedikit paksaan dan gertakan akan membuat orang lain mengerti.” nasehat Ratih saat Ia mulai mengambil gagang sapu di balik tembok kamar Mita dan Adam.

“Orang tua memang punya gayanya sendiri dalam mendidik anak. Anak muda jaman sekarang mana paham.” tegas Ratih.

Ratih melanjutkan nasehatnya sambil terus menyapu seisi kamar sekaligus mengganti sprei kasur kedua anak itu.

Keberanian Mita perlahan kembali muncul saat melihat perilaku Ibunya yang lebih lembut sekarang. Dia berpikir Ibunya yang sekarang sudah bisa diajak bicara dengan baik.

“Ibu? Ini Mita, Bu. Ini Adam.” ucap Mita lembut dengan sedikit getaran saat memanggil Ibunya. “Kenapa Ibu seperti ini? Ada apa, Bu?” tambah Mita untuk memastikan bahwa dia benar-benar bicara dengan Ibunya.

“Iya aku tau kamu Mita, anak pertama Ratih, dan kamu Adam kan? Anak kedua Ratih.” sahut Ratih saat Ia selesai mengganti sprei kasur Adam.

“Kami tau kalian sejak kalian bayi, si nenek yang paling suka sama kalian berdua.” lanjut Ratih.

“Tapi aku Dimas, bukan Ratih. Ratih sedang tidur. Jadi aku yang bantu dia bereskan kamar kalian.” jawab Ratih sambil lanjut mengepel lantai.

Mendengar jawaban Ratih, Mita sudah menduga jika Ratih bukanlah Ratih.

Ratih biasanya memanggil seorang asisten rumah tangga harian yang membantu membereskan pekerjaan rumah termasuk membersihkan kamar anak-anaknya.

Setelah tiga kali melihat perubahan kepribadian Ratih, Mita pun mulai terbiasa dengan keanehan ini. Mita mulai bisa mengelola ketakutannya demi mendapatkan sebuah informasi.

“Mas, atau Pak?” tanya Mita kepada Ratih untuk memastikan kali ini dia benar dalam menyebutkan nama. “Mas lah, hahaha, aku tidak setua nenek itu. Apa kau tak lihat seberapa gagahnya aku?” jawab Ratih dengan memamerkan otot di lengan kanannya yang sedang memegang gagang pel.

“Pekerjaan berat seperti ini hanya aku yang mampu kerjakan.” tambah Ratih dengan semangat.

“Baiklah, Mas. Saya mau tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan Ibu kami?” tanya Ratih langsung ke inti masalah karena tidak mau kehilangan kesempatan.

“Ratih sedang tidur sekarang. Entah kenapa kali ini dia terlihat begitu lemah.” jawab Ratih yang sedang jongkok mengepel bawah meja.

“Biasanya kami keluar atas izin dia, tapi entah kenapa kali ini si nenek...” tiba-tiba jawabannya terhenti.

“Hey! siapa yang melakukan ini?” bisik Ratih sambil mendekati kedua anak itu.

Ia memegang pundak Mita dengan cukup keras sambil memasang wajah panik. Seolah Ia menghindari seseorang untuk mengetahui apa yang Ia temukan.

“Kalian jangan lakukan ini lagi ya, sekarang akan kuperbaiki dulu gembok jendela ini.” rupanya Ratih menemukan kondisi pengait gembok yang rusak akibat upaya kedua anak itu melarikan diri tadi.

“Kalau sampai si nenek tau, entah apa yang akan terjadi pada kalian.” sambil terus berbisik.

Tanpa menyelesaikan pekerjaannya mengepel laintai, Ratih bergegas menutup pintu kamar dan pergi mengambil perkakas tukang di gudang bawah.

Tidak ada waktu melanjutkan rencana Mita melarikan diri karena selang beberapa menit Ratih sudah kembali membawa perkakas tukang lengkap dengan beberapa bilah balok kayu untuk menutup jendela lebih rapat lagi.

Mita yang semula memiliki cukup keberanian untuk mengulik informasi dari Ratih, kembali menunjukkan tanda-tanda keputusasaan. Ia ingin sekuat tenaga menahan tangis agar adiknya tidak ikut panik.

Kini entah dengan cara apa lagi Ia dan adiknya bisa mendapat kesempatan untuk kabur dari sana.

Ditengah kebisingan suara palu saat perbaikan jendela, suara si kecil Adam memecah suasana.

“Ibu, Adam minta tolong boleh?” ucap Adam yang tiba-tiba berani mengeluarkan suara.

Bocah berusia 7 tahun itu hanya ingin Ibunya hadir saat Ia membutuhkannya. Tidak terbesit hipotesis kompleks mengenai apa yang menimpa mereka.

Yang Adam tau adalah Ibunya ada di depannya saat ini.

Waktu Adam berusia 3 tahun, saat dia mulai lancar melafalkan kalimat-kalimat kompleks, Ibunya pernah berpesan. “Adam sekarang sudah besar, kalau mau apa-apa harus bisa minta dengan jelas ya,” ucap Ratih pada Adam sambil memandikannya.

Adam selalu menatap mata Ibunya saat Ibunya mulai berbicara. Bahkan kedekatan ini sudah terjalin sejak Adam baru berusia beberapa bulan.

Ketika Ibunya berbicara demikian saat mandi, Adam pun langsung mengerti bahwa ini adalah nasehat yang penting.

Meskipun saat mandi Adam sangat suka memainkan mainan mobil hot wheels model lamborghini warna merah miliknya.

“He’em, Bu.” jawab Adam dengan wajah berseri seakan mengisyaratkan kepatuhan pada apa pun yang Ibunya katakan.

“Nanti kalau Adam butuh bantuan Ibu, Adam bilang gini ya ‘Ibu, Adam minta tolong boleh?’ Pasti Ibu akan selalu siaga bantuin Adam.” pesan Ratih pada Adam.

“Ayo coba ulangi yang Ibu pesan barusan, kalau Adam butuh Ibu, Adam bilang gimana?” seru Ratih demi memastikan anaknya mencerna pesan dengan baik dan tepat.

“Ibu, Adam minta tolong boleh? Hihihi. Gitu ya, Bu?” jawab Adam dengan wajah imut layaknya balita sehat seusianya.

“Nah, pintar anak Ibu, sini peluk sini peluk.” Begitulah kehangatan keduanya di setiap momen dalam kehidupan sehari-hari.

Sekarang kapanpun dan dimanapun mereka berdua berada, kalimat itu lah yang selalu dilontarkan Adam saat membutuhkan bantuan Ibunya. Seolah-olah kalimat tersebut sudah setara mantra untuk mengeluarkan sihir terkuat.

Sementara itu ketika seisi kamar mendengar suara Adam, Ratih pun terhenti, palu yang Ia pegang tidak lagi menumbuk paku-paku itu. Dengan pupil yang melebar, Ratih menoleh ke kanan dan ke kiri seolah seperti seorang yang baru siuman setelah pingsan. Ratih pun menoleh ke bawah.

“Adam, Mita!?” teriak Ratih. “Ibu?” tanya Adam sambil menangis kencang tapi lega. “Kalian tidak apa-apa, Nak?” tanya Ratih sambil mengelap keringat di wajah anak-anaknya. “Ibu...” hanya itu kata yang bisa diucapkan oleh kedua anak itu sambil menangis memeluk ibu mereka.

“Aaarrghh...”

Ratih berteriak kesakitan sambil bersimpuh memegangi kepalanya. Teriakan itu menggambarkan betapa sakitnya penderitaan yang dialami Ratih.

Mita tidak rela melihat Ibunya yang nampak sangat kesakitan. Air liur yang menetes dari mulut Ratih, serta jambakan Ratih pada rambutnya sendiri, membuat Mita ikut menangis sejadi-jadinya.

“Ibu kenapa, Bu? Bu! Ibu!” usaha Mita untuk menenangkan Ibunya.

Secara tiba-tiba Ratih berhenti berteriak. Mita pun senang, tapi seketika senyuman leganya berubah menjadi ekspresi terkejut dan takut.

Perlahan Ratih melepaskan kepalanya dan bangkit dengan tenang. Tatapannya tajam dan tenang seperti sebelumnya. Disinilah Mita menyadari bahwa lagi-lagi Ratih bukanlah seorang Ratih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status