Share

Kenangan Manis

Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.

Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.

Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.

Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.

Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.

Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.

Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.

“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.

Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan peluang berkomunikasi yang lebih efektif.

“Hai, Kak! Ada apa? Aku Riri.” sahut Ratih. “Kakak laper? Bentar aku mintakan ke si nenek dulu ya.” tambah Ratih sambil ingin bergegas meninggalkan Mita.

“Eh, tidak! Bukan aku sudah kenyang. Kamu disini saja.” tegas Mita untuk mencegah Ratih memanggil kepribadian lain yang Ia yakini bernama Sulastri.

“Oh, oke.” Ratih urung pergi dari depan kamar.

Sesuai dengan dugaan Mita bahwa tugas berjaga akan selalu diserahkan pada Riri. Meskipun datanya minim, tapi itu yang diyakini Mita selama menyusun rencana.

Kesempatan untuk langsung berhadapan dengan Ibunya tidak disia-siakan Mita. Padahal Ia pikir akan cukup sulit untuk menarik perhatian Ibunya karena Mita tidak tau dengan siapa Ia berbicara.

"Kamu sedang apa, Ri?" tanya Mita ke Riri yang melanjutkan bermain ‘engklek’ sendirian.

“Aku disuruh jagain kakak, tapi katanya gak boleh buka pintu lagi. Jadi yaudah deh aku main aja di luar.” jawab Ratih saat loncat-loncat di atas lantai.

“Oh gitu, kakak boleh ikut main, Ri? Daripada kamu main sendirian.” rayu Mita.

“Kakak pasti bosen ya di dalam kamar? Oke boleh, sebentar ya kak.” jawab Ratih dengan nada riang.

Jawaban itu disambut bahagia oleh Mita karena Ia merasa akan bisa segera keluar dengan mudah.

"Ini kak!" Ratih kembali dengan menyelipkan sebuah kertas bergambar melalui celah di bawah pintu.

"Hah? Apa yang terjadi? Kenapa dia memberiku kertas ini? Apa jangan-jangan dia tau kalau aku ingin kabur?" pikir Mita dalam hatinya, mulutnya terbuka dan terheran, padahal Ia pikir Ratih akan mengajaknya bermain di luar dan segera membukakan pintu kamar untuknya.

"Kakak punya pensil warna kan? Ayo kita mewarnai, terus nanti siapa yang..." jelas Ratih sebelum Mita menyela pembicaraannya.

"Sebentar, bukan...bukan permainan ini. Tapi permainanmu barusan itu, Ri. Kakak ingin main permainan itu!" ucap Ratih dengan sedikit penekanan pada kalimatnya.

"Apa? Maksudnya?" tanya Ratih yang seolah tidak mengerti sama sekali tabiat Mita.

"Iya, Ri. Kakak ingin bermain bersama denganmu di luar! Bukan mainan seperti ini!" jelas Mita untuk meyakinkan Ratih.

Secara tidak sadar, Mita membuat beberapa penekanan dalam kalimat-kalimatnya. Padahal dalam buku disebutkan bahwa dilarang berdebat dengan pengidap DID saat sedang kambuh.

Hal ini akan membuatnya kacau dan kepribadiannya bisa kembali tidak stabil.

Beruntung Mita segera menyadari kesalahannya dan mengulangi penjelesannya.

"Eh maksud kakak, kakak ingin main bareng dengan Riri supaya lebih seru." ucap Mita dengan nada yang lebih tenang dan kalem.

"Tapi kakak di dalam, sedangkan aku di luar. Kita tidak bisa main bersama, Kak." tegas Riri.

"Nanti kalau kakak keluar malah aku yang dimarahi sama si nenek. Aku tidak mau kak." lanjut Riri menjelaskan posisinya.

"Nah, nanti kamu main aja di dalam kamar kakak. Biar kita bisa tenang mainnya." rayu Mita kembali untuk membujuk Ratih mau membukakan pintu.

"Oh gitu, boleh deh. Tapi kakak mau janji gak bakal lari kan?" tanya Riri untuk memastikan Mita dapat dipercaya.

"Kreekk..." suara pintu terbuka.

Mita yang semula bersimpu di atas lantai, mundur dan bangkit perlahan. Ia menengok ke atas dan mendapati Ibunya berdiri di balik pintu.

Seketika hati Mita tersayat, matanya tak dapat menyembunyikan kesedihan yang menyeruap dalam hatinya.

Ibunya terlihat begitu menyedihkan bagi Mita. Rambut Ratih terlihat acak-acakan. Bajunya compang-camping, bahkan Ia hanya menggunakan sehelai celana kolor pendek untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

Mita berusaha keras menyembunyikan tangisannya dalam senyum tipis di bibirnya.

"Riri?" tanya Mita untuk memastikannya sekali lagi. "Ayo sini masuk!" ajak Mita ke dalam kamar.

Ratih melangkah masuk kamar dan kembali mengunci pintu dari dalam.

"Hai kak, kita mau main apa ya enaknya?" tanya Ratih dengan antusias sambil mendekati Mita.

"Sini kamu duduk di bawah aja, kita hadap-hadap an sambil main tepuk tangan." ajak Mita untuk memberi instruksi pada Ratih.

"Main tepuk tangan? Memangnya seru?" gumam Ratih mempertanyakan pilihan permainan yang dipilih Mita.

Tapi Ratih tetap memenuhi instruksi Mita karena Ia merasa tetap bisa menikmatinya.

Mereka duduk bersila di atas dilantai sambil berhadap-hadapan. Mita menyatukan kedua tangannya dan mengangkatnya menghadap Ratih, mirip orang sedang bersalaman dengan orang yang jauh lebih tua.

Seakan tau apa yang di maksud oleh Mita, dengan raut wajah bahagia dan antusias Ratih menirukan gerakan Mita. Keduanya pun memulai permainan itu.

"Mi, mi, mi, mi atas mi bawah, mi depan mi belakang..." keduanya bernyanyi bersamaan dengan gerakan yang sama pula.

Mereka berdua terlihat seperti dua orang sahabat yang sangat akrab karena gerakan dan nyanyian mereka sangat mirip.

Jika Ratih terlihat memasang wajah gembira dan riang melalui tawanya yang lepas. Berbeda dengan Mita yang sudah tidak mampu menahan tangisnya.

Air matanya seakan keluar dengan sendirinya membasahi mulutnya yang sedang tersenyum. Aneh, mulutnya sedang tersenyum bahkan sesekali tertawa, tapi matanya mengeluarkan air mata yang deras.

Permainan ini adalah permainan kesukaan Mita dan Ratih semasa Mita kecil. Keduanya biasa bermain permainan ini saat waktu senggang.

Keduanya sangat menikmati permainan sederhana ini sampai tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya.

Mita kembali terbayang wajah cantik Ibunya dengan senyum yang penuh kebahagiaan saat bermain bersamanya.

Bayangan itu silih berganti dengan apa yang ada di depan mata Mita saat ini. Sambil melanjutkan permainan itu, tangis Mita semakin menjadi dan menjadi.

Mita berhenti sejenak karna tak mampu melanjutkan permainan. Kepalanya tertunduk layu ke arah lantai, ditopang kedua tangannya yang juga sedang menapak lantai.

Ia menangis tersedu-sedu sampai ingusnya pun juga turut mengalir tidak karuan.

"Lo kakak kenapa?" tanya Ratih yang keheranan dengan prilaku Mita. Ratih yang tampak kebingungan mencoba menengok ke arah muka Mita yang masih menghadap lantai.

"Kakak kok nangis? Kakak gak suka ya main sama aku?" tatap Ratih sambil sedikit manyun karna merasa ikut bersedih.

"Tidak, bukan begitu kok, Ri. Aku senang malah bisa main bersama kamu." ucap Mita sambil mengangkat kepalanya, mengusap air mata di mata kiri dan kanan bergantian, dan menarik keras napas dari hidungnya untuk mengangkat ingusnya kembali ke dalam hidung.

Mita pun tersenyum dibaluti sedikit air mata dan mata merahnya. "Ayok main lagi." ajak Mita yang tampak sudah lebih tenang.

"Oh syukurlah." ucap Ratih sambil mengelus dada karena merasa lega karna bukan dia yang membuat Mita menangis. Ia pun kembali tersenyum dan mengiyakan ajakan Mita untuk melanjutkan permainan.

Tak terasa sudah beberapa menit mereka bermain. Seakan lupa akan rencananya, Mita sangat menikmati saat-saat bisa kembali bermain bersama Ibunya, Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status