"Anda tidak bisa menarik perjanjian ini, Mr. Eloise," tegas seorang pria yang memakai setelan jas dengan rapi. Glen Xander McKenzie, sedang duduk dengan santainya sambil bicara dengan papa Akiko.
Beberapa waktu lalu, Mr. Eloise datang ke kantor Glen untuk membicarakan soal Akiko. Mr. Eloise ingin mengambil hak putrinya kembali, dia sudah menyesal memberikan Akiko pada Glen sebagai tawanan. Dia juga ingin memperbaiki kesalahan yang telah dia perbuat selama ini pada Akiko. Namun, Glen tentu tidak akan mewujudkan keinginan Mr. Eloise dengan mudah. Pria itu memang licik dalam memperoleh apapun yang dia mau. Apalagi, dia sudah terlanjur tertarik pada Akiko. "Aku akan menggantinya dengan uang, sebanyak apapun yang kau inginkan," bujuk Mr. Eloise, berkeringat dingin saking gugupnya. Apalagi, selama ini dia tidak ingin tahu tentang putri keduanya itu. Sehingga dia juga tidak tau di mana alamat apartemen Akiko. Nomor telepon nya juga sudah tidak aktif, mungkin diblokir oleh Akiko sendiri. "Aku tidak butuh uang," tegas Glen dengan wajah dinginnya. Kemudian, dia membuang rokok yang sudah dia hisap habis. "Lalu, apa yang kau inginkan?" Mendengar pertanyaan itu, Glen terkekeh pelan. "Aku tidak butuh apapun. Aku hanya menginginkannya saja."Glen berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah jendela untuk mengamati pemandangan di luar gedung kantornya. "Putriku bukan main, Glen," geram Mr. Eloise. "Oh, really? Lalu, kenapa kau menukarnya demi menutupi hutang?" Mr. Eloise terdiam, merasa tertusuk oleh ucapan jujur dari Glen. Tadinya, Mr. Eloise memang benci pada Akiko. Tapi, setelah mendengarkan penjelasan dari Keinara, ia jadi menyesal. Dia ingat betul kalau selama ini Akiko tidak punya kesalahan sampai harus mendapat kebencian darinya. Namun, semuanya sudah terlambat. Mr. Eloise salah karena sudah berurusan dengan dengan Glen yang jelas-jelas tidak mau bertoleransi untuk alasan apapun. Sesuatu yang sudah Glen dapatkan, tidak akan pernah bisa lepas. "Aku sudah berbaik hati menerima putri keduamu. Padahal, tadinya aku menginginkan putri pertamamu. Mungkinkah, karena dia akan menjadi penerus perusahaan, jadi kau memberikan putri keduamu sebagai ganti?" tanya Glen. Disambut dengan anggukan jujur dari Mr. Eloise. "Sudah aku duga. Tapi, tidak masalah. Putri keduamu cukup menarik," ucapan Glen membuat Mr. Eloise mengangkat pandangannya kaget. Dia sudah tau, kalau Glen memiliki sifat yang tak kalah kejam darinya. Pasti, Glen akan memperlakukan Akiko semaunya sendiri. "Tolong, ini permintaan terakhirku. Aku akan menyerahkan perusahaan jika kau mau melepaskan putriku," mohon Mr. Eloise lagi. "Kau yakin? apa kau mau hidup sebagai gelandangan, setelah menyerahkan semua hartamu kepadaku?" desis Glen. Kemudian, Mr. Eloise teringat kalau Keinara bekerja sebagai guru privat dan punya usaha sendiri. Jika meminjam uang milik Keinara, apakah semuanya akan lunas? apakah kehidupan mereka akan baik-baik saja setelah itu? Tentu saja tidak, uang merupakan suatu kebutuhan pokok. Jika dia mengambil Akiko kembali, hal itu juga tidak menjamin mereka hidup dengan baik. "Bagus, kau berpikir dengan baik. Putri keduamu sudah menjadi milikku, lebih baik kau urusi perusahaan dengan benar. Atau … putri pertamamu juga akan menjadi korban keegoisanmu suatu hari nanti," ucap Glen, lalu melenggang pergi begitu saja. ***"Aku berubah pikiran, datang ke cafe jam 5 sore ini."Pesan baru masuk dari nomor Glen. Setelah membacanya, Akiko terdiam sesaat. Sepertinya, pria itu ingin sekali membawanya pergi. Padahal, Akiko tidak akan kabur atau melawan. Tidak ada tempat untuk lari, jadi percumah saja menghindari Glen. Apalagi, Akiko merasa tidak suka pada sifat seenaknya dari Glen. Sepertinya, dia tipe pria yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Buktinya, semalam Glen menciumnya walau baru pertama kali bertemu. Tidak peduli bagaimana perasaan Akiko, tapi Glen hanya melakukan apa yang dia mau. "Tidak heran, dia kan orang kaya," gumam Akiko sambil membuka kulkas. Lalu, Akiko mengambil sepotong kue dari Vian kemarin untuk sarapan. Lalu saat meminum minuman kaleng, Akiko terdiam sekejap. "Rasanya agak aneh," akhirnya dia memutuskan untuk melihat tanggal kadaluarsa. Ternyata, sudah kadaluarsa cukup lama. Tapi, tetap lanjut diminum oleh Akiko dengan acuhnya sampai habis. Sekitar satu jam kemudian, Akiko selesai beberes. Karena masih menunggu sore untuk bertemu Glen, akhirnya dia memutuskan untuk sambil mencari lowongan kerja terlebih dahulu. Entah nanti diperbolehkan atau tidak oleh Glen, yang penting sekarang dia berusaha. "Semoga aku beruntung, Kouma," pamit Akiko, setelah mengamankan barang-barang agar tidak melukai Kouma selama dia pergi. Seperti hiasan atau barang mudah pecah, apalagi Kouma adalah ras anjing besar. Baru berangkat, ada saja kendala datang. Akiko kehilangan kartu bus yang baru dibeli kemarin. Padahal sudah diisi lumayan banyak, tapi malah hilang begitu saja. Malangnya, semua bus di kota itu sudah tidak melayani pembayaran dengan uang tunai. "Tolong keluar, Nona. Semua orang menunggu di belakangmu," ucap supir bus kesal. Ketika ingin turun, tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampiri Akiko. "Pakai punyaku saja," ujarnya. Tak ingin membuat yang lain menunggu, Akiko segera menerima tawaran anak itu. Kemudian, mereka duduk bersama. "Thank you," ucap Akiko, sembari memberikan sejumlah uang sebagai ganti. "Ini, jangan sampai hilang ya," Akiko menyelipkan uang ke anak tersebut. "Kau sendirian?" tanya Akiko basa-basi, karena anak itu dari tadi hanya tersenyum mengamatinya. "Iya, papa dan mama tidak menyukaiku," mendengar jawaban itu, Akiko sontak terdiam. Setelah Akiko perhatikan, ternyata anak ini memiliki banyak luka di tangan dan wajahnya. "Dia … sama denganku," gumam Akiko dalam hati. Dia paham, pasti anak ini memiliki masalah dalam keluarga dan sering mendapat kekerasan. Anak sekecil ini, masih jujur pada siapa pun tentang masalah yang dia hadapi di rumah. "Siapa namamu?" "Ethan, 9 tahun," jawab anak itu dengan semangat lalu memberikan jabatan tangan, seolah ingin berkenalan dengan Akiko juga. "Akiko," dia menyambut jabatan tangan Ethan dengan lembut. Bukannya senang, Ethan justru tiba-tiba menangis. Tentu saja, Akiko panik karena orang-orang jadi menatapnya aneh. Mungkin, mereka kita Akiko menyakiti Ethan atau semacamnya. "Kenapa menangis?" tanya Akiko, berusaha menenangkan Ethan. "Kakak sangat lembut," isaknya. Ternyata, Ethan senang karena Akiko memperlakukannya dengan lembut. Selama ini dia mendapat perlakuan buruk dari keluarganya sampai memiliki trauma. Bahkan, tangan mungil itu sampai gemetaran karena menahan tangis agar tidak terdengar banyak orang. "Kemarilah," Akiko tersenyum tipis, mengangkat Ethan ke pangkuannya. Dia paham betul, bagaimana rasa sakitnya jika dibenci keluarga sendiri. Akiko tidak menyangka, ada yang bisa menyakiti anak selucu Ethan. Padahal, Akiko pikir dia adalah satu-satunya anak yang tidak hidup dengan baik sejak kecil. Tapi, ternyata ada Ethan. Pantas saja dia bisa bepergian sendiri karena rumahnya bukan tempat ternyaman. Gadis itu mengusap air matanya yang menetes tanpa sadar. Lalu, dia mengusap-usap rambut Ethan pelan, hingga anak itu mulai tenang. "Kakak sama denganku, iya, 'kan?" tanya Ethan. Sementara Akiko hanya diam saja. Bingung saja, kenapa Ethan bisa sadar kalau nasib mereka sama? mungkin, karena perasaan anak kecil itu sangat tajam jadi bisa tau perasaan Akiko walau baru saja bertemu. "Sakit sekali, aku tidak mau hidup lagi. Kakak pasti juga ingin mati," lanjut Ethan. "Tidak baik berkata seperti itu," sahut Akiko, padahal dia merasa ucapan Ethan ada benarnya juga. Tapi, tidak pantas rasanya jika anak sekecil ini sudah memikirkan soal kematian. "Banyak sekali luka yang Kakak sembunyikan. Sama seperti aku," lirih Ethan lagi sambil membuka satu kancing bajunya. Di sana nampak luka lebam cukup serius, sepertinya dari benda tumpul. Entah apa saja yang sudah dialami Ethan, yang pasti Akiko bisa merasakan sakitnya. Tanpa sadar, Akiko sudah sampai di tempat tujuannya. Akan tetapi, Ethan tidak mau melepaskan pelukannya karena merasa sangat nyaman bersama Akiko. Terpaksa, dia harus membawa Ethan turun. "Aku akan mengantarmu ke kantor polisi, okay? kau jelaskan saja semuanya ke polisi, supaya mereka tau tentang orang tuamu," ujar Akiko. "Tidak bisakah Kakak saja yang menjadi mamaku?" pertanyaan itu membuat Akiko tersenyum tipis. Pemikiran anak kecil itu sama saja, mereka pasti menginginkan orang tua baik supaya bisa tumbuh sehat sampai dewasa nanti. Namun, Akiko saja tidak hidup dengan baik. Bagaimana mau mengurusi Ethan? belum lagi urusannya dengan Glen nanti. Kemudian, dia masuk ke sebuah restoran untuk mendaftar kerja part time. Sedangkan Ethan, duduk dengan baik menunggu Akiko. "Kau bisa bekerja di perusahaan besar, loh. Kenapa justru mendaftar di restoran kecil begini?" tanya manager restoran saat membaca berkas milik Akiko. "Really?" tanya Akiko memastikan. "Iya, kau ini pintar. Cobalah cari pekerjaan yang lebih pas dengan prestasimu. Bukan bermaksud menolak mentah-mentah, tapi gadis muda sepertimu memiliki banyak peluang besar di luar sana. Aku yakin, kau pasti diterima," tegasnya semangat. "Okay, thank you," ucap Akiko sambil tersenyum tipis. Kemudian, keluar dari restoran tersebut bersama Ethan. ***"Hah…," Glen menghela nafas gusar, karena Akiko tak kunjung datang. Padahal baru lewat 5 menit, tapi pria itu sudah tidak sabaran. "Bosan," gumamnya. Baru saja berniat menelepon Akiko, dia melihat incarannya sedang berjalan masuk ke dalam cafe. Glen mengerutkan alis bingung, saat menyadari bahwa Akiko menggendong seorang anak laki-laki. "Kau telat 5 menit," ucap Glen dengan suara baritonnya.Glen menjentikkan jarinya di meja, merasa kesal karena Akiko telat 5 menit. Padahal gadis itu sudah berusaha cepat, tapi tetap saja telat karena jalanan agak ramai. "Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen, mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja. Bahkan, jelas-jelas dia memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko. Lalu, beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja. Bahkan, Akiko sempat menyuapi Ethan dengan lembut, tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akan mengantarnya pulang setelah ini," jawab Akiko seadanya. Sedangk
"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b
"Pakai ini, malam nanti kita akan pergi ke suatu tempat. Jadi, pastikan pakaian ini cocok," Glen memberikan sebuah dress hitam pendek yang nampak sangat mewah. Beberapa detik kemudian, Glen terdiam karena baru sadar bahwa Akiko hanya memakai handuk saja karena baru selesai mandi. "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanya Akiko kesal karena Glen masuk ke kamarnya sembarangan. Walau apartemen ini memang milik Glen, tapi Akiko juga butuh privacy. Untung saja handuk yang Akiko pakai adalah jenis kimono sehingga tidak begitu terbuka. "Terserah aku," sahut Glen acuh sambil melemparkan dress itu kepada Akiko. "Tidak ada yang lain?" tanya Akiko setelah mengamati dress itu. "Kenapa memang?" banyak Glen balik. Padahal, dia sudah memiliki dress terbaik untuk Akiko, tapi gadis itu malah ingin yang lain. "Aku tidak suka pakaian pendek," jelas Akiko lalu memutuskan untuk membuka lemarinya. Mengeluarkan sebuah dress panjang elegan warna abu-abu. Tapi, Glen hanya diam saja saat Akiko ingin menggan
"Kau hidup seperti iblis, Glen. Ikutlah denganku, hentikan perusahaan bodohmu itu. Apa kau sadar bahwa perusahaanmu itu mendukung tindakan kriminal?" cibir Marlin, berdiri melipat kedua tangan di dada saat bicara dengan Glen. "Aku tau, tapi aku suka. Aku sudah hidup dalam kegelapan sejak dulu, aku tidak ingin membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba sok peduli padaku. Sejak dulu kau hanya ingin menjadi yang terbaik tanpa peduli pada aku," sahut Glen, menyalakan rokok dan menghisapnya santai. "Apa kau tidak punya sisi kemanusiaan sedikit pun, Glen?" tanya Marlen, berusaha membujuk adiknya itu. Tapi, kepercayaan Glen pada Marlen sudah hancur karena masa lalu. Andai saja Marlen membela Daddy–nya, pasti Glen masih menyayangi Marlen. Sayangnya, dia justru membela sang Mommy yang jelas-jelas salah karena berselingkuh pada saat itu. "Aku tau, banyak yang mati karena karya hebatku, 'kan? aku selalu menciptakan model pistol baru yang sangat cocok untuk