Share

Gadis Milik Tuan Mafia [Bab 6]

"Anda tidak bisa menarik perjanjian ini, Mr. Eloise," tegas seorang pria yang memakai setelan jas dengan rapi. Glen Xander McKenzie, sedang duduk dengan santainya sambil bicara dengan papa Akiko. 

Beberapa waktu lalu, Mr. Eloise datang ke kantor Glen untuk membicarakan soal Akiko. Mr. Eloise ingin mengambil hak putrinya kembali, dia sudah menyesal memberikan Akiko pada Glen sebagai tawanan. Dia juga ingin memperbaiki kesalahan yang telah dia perbuat selama ini pada Akiko. 

Namun, Glen tentu tidak akan mewujudkan keinginan Mr. Eloise dengan mudah. Pria itu memang licik dalam memperoleh apapun yang dia mau. Apalagi, dia sudah terlanjur tertarik pada Akiko. 

"Aku akan menggantinya dengan uang, sebanyak apapun yang kau inginkan," bujuk Mr. Eloise, berkeringat dingin saking gugupnya. Apalagi, selama ini dia tidak ingin tahu tentang putri keduanya itu. Sehingga dia juga tidak tau di mana alamat apartemen Akiko. Nomor telepon nya juga sudah tidak aktif, mungkin diblokir oleh Akiko sendiri. 

"Aku tidak butuh uang," tegas Glen dengan wajah dinginnya. Kemudian, dia membuang rokok yang sudah dia hisap habis. 

"Lalu, apa yang kau inginkan?" 

Mendengar pertanyaan itu, Glen terkekeh pelan. "Aku tidak butuh apapun. Aku hanya menginginkannya saja."

Glen berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah jendela untuk mengamati pemandangan di luar gedung kantornya. 

"Putriku bukan main, Glen," geram Mr. Eloise. 

"Oh, really? Lalu, kenapa kau menukarnya demi menutupi hutang?" Mr. Eloise terdiam, merasa tertusuk oleh ucapan jujur dari Glen. 

Tadinya, Mr. Eloise memang benci pada Akiko. Tapi, setelah mendengarkan penjelasan dari Keinara, ia jadi menyesal. Dia ingat betul kalau selama ini Akiko tidak punya kesalahan sampai harus mendapat kebencian darinya. 

Namun, semuanya sudah terlambat. Mr. Eloise salah karena sudah berurusan dengan dengan Glen yang jelas-jelas tidak mau bertoleransi untuk alasan apapun. Sesuatu yang sudah Glen dapatkan, tidak akan pernah bisa lepas. 

"Aku sudah berbaik hati menerima putri keduamu. Padahal, tadinya aku menginginkan putri pertamamu. Mungkinkah, karena dia akan menjadi penerus perusahaan, jadi kau memberikan putri keduamu sebagai ganti?" tanya Glen. Disambut dengan anggukan jujur dari Mr. Eloise. 

"Sudah aku duga. Tapi, tidak masalah. Putri keduamu cukup menarik," ucapan Glen membuat Mr. Eloise mengangkat pandangannya kaget. Dia sudah tau, kalau Glen memiliki sifat yang tak kalah kejam darinya. Pasti, Glen akan memperlakukan Akiko semaunya sendiri. 

"Tolong, ini permintaan terakhirku. Aku akan menyerahkan perusahaan jika kau mau melepaskan putriku," mohon Mr. Eloise lagi. 

"Kau yakin? apa kau mau hidup sebagai gelandangan, setelah menyerahkan semua hartamu kepadaku?" desis Glen. 

Kemudian, Mr. Eloise teringat kalau Keinara bekerja sebagai guru privat dan punya usaha sendiri. Jika meminjam uang milik Keinara, apakah semuanya akan lunas? apakah kehidupan mereka akan baik-baik saja setelah itu? 

Tentu saja tidak, uang merupakan suatu kebutuhan pokok. Jika dia mengambil Akiko kembali, hal itu juga tidak menjamin mereka hidup dengan baik. 

"Bagus, kau berpikir dengan baik. Putri keduamu sudah menjadi milikku, lebih baik kau urusi perusahaan dengan benar. Atau … putri pertamamu juga akan menjadi korban keegoisanmu suatu hari nanti," ucap Glen, lalu melenggang pergi begitu saja. 

***

"Aku berubah pikiran, datang ke cafe jam 5 sore ini."

Pesan baru masuk dari nomor Glen. Setelah membacanya, Akiko terdiam sesaat. Sepertinya, pria itu ingin sekali membawanya pergi. Padahal, Akiko tidak akan kabur atau melawan. Tidak ada tempat untuk lari, jadi percumah saja menghindari Glen. 

Apalagi, Akiko merasa tidak suka pada sifat seenaknya dari Glen. Sepertinya, dia tipe pria yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Buktinya, semalam Glen menciumnya walau baru pertama kali bertemu. Tidak peduli bagaimana perasaan Akiko, tapi Glen hanya melakukan apa yang dia mau. 

"Tidak heran, dia kan orang kaya," gumam Akiko sambil membuka kulkas. Lalu, Akiko mengambil sepotong kue dari Vian kemarin untuk sarapan. Lalu saat meminum minuman kaleng, Akiko terdiam sekejap. 

"Rasanya agak aneh," akhirnya dia memutuskan untuk melihat tanggal kadaluarsa. Ternyata, sudah kadaluarsa cukup lama. Tapi, tetap lanjut diminum oleh Akiko dengan acuhnya sampai habis. 

Sekitar satu jam kemudian, Akiko selesai beberes. Karena masih menunggu sore untuk bertemu Glen, akhirnya dia memutuskan untuk sambil mencari lowongan kerja terlebih dahulu. Entah nanti diperbolehkan atau tidak oleh Glen, yang penting sekarang dia berusaha. 

"Semoga aku beruntung, Kouma," pamit Akiko, setelah mengamankan barang-barang agar tidak melukai Kouma selama dia pergi. Seperti hiasan atau barang mudah pecah, apalagi Kouma adalah ras anjing besar. 

Baru berangkat, ada saja kendala datang. Akiko kehilangan kartu bus yang baru dibeli kemarin. Padahal sudah diisi lumayan banyak, tapi malah hilang begitu saja. Malangnya, semua bus di kota itu sudah tidak melayani pembayaran dengan uang tunai. 

"Tolong keluar, Nona. Semua orang menunggu di belakangmu," ucap supir bus kesal. 

Ketika ingin turun, tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampiri Akiko. "Pakai punyaku saja," ujarnya. 

Tak ingin membuat yang lain menunggu, Akiko segera menerima tawaran anak itu. Kemudian, mereka duduk bersama. 

"Thank you," ucap Akiko, sembari memberikan sejumlah uang sebagai ganti. 

"Ini, jangan sampai hilang ya," Akiko menyelipkan uang ke anak tersebut. 

"Kau sendirian?" tanya Akiko basa-basi, karena anak itu dari tadi hanya tersenyum mengamatinya. 

"Iya, papa dan mama tidak menyukaiku," mendengar jawaban itu, Akiko sontak terdiam. Setelah Akiko perhatikan, ternyata anak ini memiliki banyak luka di tangan dan wajahnya. 

"Dia … sama denganku," gumam Akiko dalam hati. Dia paham, pasti anak ini memiliki masalah dalam keluarga dan sering mendapat kekerasan. Anak sekecil ini, masih jujur pada siapa pun tentang masalah yang dia hadapi di rumah. 

"Siapa namamu?" 

"Ethan, 9 tahun," jawab anak itu dengan semangat lalu memberikan jabatan tangan, seolah ingin berkenalan dengan Akiko juga. 

"Akiko," dia menyambut jabatan tangan Ethan dengan lembut. Bukannya senang, Ethan justru tiba-tiba menangis. Tentu saja, Akiko panik karena orang-orang jadi menatapnya aneh. Mungkin, mereka kita Akiko menyakiti Ethan atau semacamnya. 

"Kenapa menangis?" tanya Akiko, berusaha menenangkan Ethan. 

"Kakak sangat lembut," isaknya. Ternyata, Ethan senang karena Akiko memperlakukannya dengan lembut. Selama ini dia mendapat perlakuan buruk dari keluarganya sampai memiliki trauma. Bahkan, tangan mungil itu sampai gemetaran karena menahan tangis agar tidak terdengar banyak orang. 

"Kemarilah," Akiko tersenyum tipis, mengangkat Ethan ke pangkuannya. Dia paham betul, bagaimana rasa sakitnya jika dibenci keluarga sendiri. 

Akiko tidak menyangka, ada yang bisa menyakiti anak selucu Ethan. Padahal, Akiko pikir dia adalah satu-satunya anak yang tidak hidup dengan baik sejak kecil. Tapi, ternyata ada Ethan. Pantas saja dia bisa bepergian sendiri karena rumahnya bukan tempat ternyaman. 

Gadis itu mengusap air matanya yang menetes tanpa sadar. Lalu, dia mengusap-usap rambut Ethan pelan, hingga anak itu mulai tenang. 

"Kakak sama denganku, iya, 'kan?" tanya Ethan. Sementara Akiko hanya diam saja. Bingung saja, kenapa Ethan bisa sadar kalau nasib mereka sama? mungkin, karena perasaan anak kecil itu sangat tajam jadi bisa tau perasaan Akiko walau baru saja bertemu. 

"Sakit sekali, aku tidak mau hidup lagi. Kakak pasti juga ingin mati," lanjut Ethan. 

"Tidak baik berkata seperti itu," sahut Akiko, padahal dia merasa ucapan Ethan ada benarnya juga. Tapi, tidak pantas rasanya jika anak sekecil ini sudah memikirkan soal kematian. 

"Banyak sekali luka yang Kakak sembunyikan. Sama seperti aku," lirih Ethan lagi sambil membuka satu kancing bajunya. Di sana nampak luka lebam cukup serius, sepertinya dari benda tumpul. Entah apa saja yang sudah dialami Ethan, yang pasti Akiko bisa merasakan sakitnya. 

Tanpa sadar, Akiko sudah sampai di tempat tujuannya. Akan tetapi, Ethan tidak mau melepaskan pelukannya karena merasa sangat nyaman bersama Akiko. Terpaksa, dia harus membawa Ethan turun. 

"Aku akan mengantarmu ke kantor polisi, okay? kau jelaskan saja semuanya ke polisi, supaya mereka tau tentang orang tuamu," ujar Akiko. 

"Tidak bisakah Kakak saja yang menjadi mamaku?" pertanyaan itu membuat Akiko tersenyum tipis. Pemikiran anak kecil itu sama saja, mereka pasti menginginkan orang tua baik supaya bisa tumbuh sehat sampai dewasa nanti. 

Namun, Akiko saja tidak hidup dengan baik. Bagaimana mau mengurusi Ethan? belum lagi urusannya dengan Glen nanti. Kemudian, dia masuk ke sebuah restoran untuk mendaftar kerja part time. Sedangkan Ethan, duduk dengan baik menunggu Akiko. 

"Kau bisa bekerja di perusahaan besar, loh. Kenapa justru mendaftar di restoran kecil begini?" tanya manager restoran saat membaca berkas milik Akiko. 

"Really?" tanya Akiko memastikan. 

"Iya, kau ini pintar. Cobalah cari pekerjaan yang lebih pas dengan prestasimu. Bukan bermaksud menolak mentah-mentah, tapi gadis muda sepertimu memiliki banyak peluang besar di luar sana. Aku yakin, kau pasti diterima," tegasnya semangat. 

"Okay, thank you," ucap Akiko sambil tersenyum tipis. Kemudian, keluar dari restoran tersebut bersama Ethan. 

***

"Hah…," Glen menghela nafas gusar, karena Akiko tak kunjung datang. Padahal baru lewat 5 menit, tapi pria itu sudah tidak sabaran. 

"Bosan," gumamnya. Baru saja berniat menelepon Akiko, dia melihat incarannya sedang berjalan masuk ke dalam cafe. Glen mengerutkan alis bingung, saat menyadari bahwa Akiko menggendong seorang anak laki-laki. 

"Kau telat 5 menit," ucap Glen dengan suara baritonnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status