Share

Gadis Milik Tuan Mafia [Bab 5]

Akiko masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap luka di bahu yang sedang dibersihkan. Semalam setelah kejadian penembakan di gang, Akiko langsung pergi ke rumah sakit terdekat. Beruntung, peluru tidak bersarang terlalu dalam sehingga tidak memerlukan operasi besar. Jadi, Dokter langsung mengizinkannya pulang saat itu juga. 

Gadis berambut pendek itu membersihkan sisa obat dengan kapas untuk ganti perban. Perih, tapi harus ditahan agar cepat sembuh. Apalagi, tangannya kini jadi susah digerakkan karena luka tersebut. 

"Kouma," panggil Akiko saat anjingnya menggonggong, seolah sedang menyapa. Kouma sudah terlatih, jadi ketika dia merasakan ada yang aneh dari Akiko, pasti langsung mengisyaratkan agar Akiko duduk. 

"Terima kasih," ucap Akiko sambil memberikan camilan anjing. 

Akiko menghela nafas kasar. Berpikir untuk berhenti kuliah saja, karena papanya pasti tidak akan lagi membiayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan saja selagi ada waktu. Tapi, Akiko bingung kenapa tidak ada orang yang mencarinya sampai saat ini? bukankah dia sudah dijual pada seseorang? 

"Apa papa benar-benar sudah menjualku?" tanya Akiko pada dirinya sendiri. Mungkin, orang yang akan mengambil Akiko sedang sibuk. Baguslah kalau begitu, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika bertemu pria itu. Apakah, dia akan dijadikan budak pemuas nafsu? atau dijadikan pembantu? 

Ponsel Akiko bergetar, tanda ada telepon masuk. melihat nama yang tertera, dia segera mengangkat telepon tersebut. "Halo, Kak Vian," sapanya. 

"Akiko, aku sudah mengatur jadwalnya. Kau bisa datang malam ini? kita bicarakan secara tatap muka saja agar lebih jelas," tanya suara laki-laki dari seberang telepon yang tak asing lagi bagi Akiko. 

"Baik, Kak. Aku akan datang ke sana nanti," jawab Akiko seadanya.  

"Perbanyak istirahat, okay? jangan terlalu lelah dan jaga pola makanmu," ujar Vian. 

"Hmm, thank you. Aku akan menghubungi Kakak lagi nanti," pamit Akiko. Setelah mendapat sahutan dari lawan bicaranya, Akiko segera mengakhiri telepon. Menyisakan dirinya yang duduk menghela nafas, sambil melirik ke arah dapur. 

"Aku harus makan," gumam Akiko. Ini sudah lewat dari jam makan normal, tapi gadis itu masih bingung ingin makan atau tidak. Sebab, beberapa hari akhir-akhir ini, nafsu makannya semakin menurun. Bahkan, kulkas sampai kosong karena dia jarang masak atau makan. Hanya ada beberapa kotak mie instan, yang berjejer rapi. 

Akhirnya, Akiko memutuskan untuk makan mie instan saja, walau sebenarnya tidak ingin. Namun, pria yang akan ditemui pasti bisa tau, dia sudah makan atau belum. 

***

Kini, Akiko sedang berbincang dengan seorang pria di cafe. Pria itu terlihat dewasa dengan pakaian casualnya. Apalagi, ditambah dengan kacamata yang membuatnya tampak lebih berkharisma. Dia adalah Vian, seorang dokter muda yang terus mendampingi Akiko selama berobat beberapa bulan akhir-akhir ini. 

"Maaf, mengajakmu bertemu tiba-tiba pagi tadi. Semalam kau tidak bisa dihubungi," ucap Vian. Disambut dengan anggukan pelan dari Akiko. 

"Sudah makan?" tanyanya. 

"Sudah, kalau Kakak?" tanya Akiko balik. 

"Aku baru saja mau memesan makanan, kau mau camilan apa?" tawar Vian. 

"Tidak perlu, aku sudah kenyang. Kakak pesan saja dulu," ujar Akiko. Tidak mungkin Vian membiarkan gadis itu tanpa camilan atau minuman, jadi dia memesan coklat panas untuk Akiko agar tubuhnya hangat. 

"Ngomong-ngomong, aku sudah menyiapkan berkas untuk kelanjutan pengobatanmu. Baca ini dengan teliti," Vian memberikan berkas yang dia bawa pada Akiko. Gadis itu segera mengangguk paham, lalu mulai membacanya selagi menunggu Vian makan. 

"Besok, kuliah jam berapa?" tanya Vian basa-basi. 

"Aku tidak akan masuk kuliah lagi," jawaban Akiko membuat Vian langsung terdiam. 

"Kenapa?" bingungnya. 

"Tak apa, aku hanya ingin tenang sendirian," sahut Akiko. Kemudian, lanjut membaca berkas tersebut. 

"Apa ini akan sakit?" tanya Akiko sambil menunjukkan sebuah poin di berkas. 

"Tentunya sakit, tapi hanya akan berlangsung beberapa hari saja. Selebihnya bisa membaik," jawab Vian. Akiko mengangguk pelan, sambil minum coklat panas miliknya. 

"Akiko, di mana orang tuamu? karena kau masih di bawah 20 tahun, pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari orang tuamu juga. Tapi, sepertinya kau tinggal sendirian. Benarkah?" tanya Vian penasaran. 

"Iya, aku … sendirian," seketika Vian terdiam, mendengar suara pelan dari Akiko. Gadis itu terlihat sedih, bahkan Vian juga menyadari kalau tangan Akiko gemetaran pelan. Entah apa yang ada di benak Akiko sampai begitu. 

"It's okay, aku bisa menjadi wali untukmu," tukas Vian karena merasa bersalah, 

"Benarkah?" Akiko memastikan. 

"Ya, aku sudah berumur 25 tahun. Aku bisa menjadi wali untukmu asal kau pegang semua data dirimu," jawab Vian ramah. 

"Terima kasih, Kak." Melihat senyum tipis tercipta di bibir Akiko, Vian juga ikut tersenyum. Tak bisa di pungkiri kalau dia terpesona pada Akiko. Dengan sifat lembut dan wajah manisnya, Akiko bisa membuat siapapun jatuh cinta  

"Ayo, aku antarkan pulang," ajak Vian karena tidak mau Akiko terlalu lelah. Namun, Akiko tentu menolak dengan alasan tempat tinggalnya dekat. Sebab, Akiko termasuk orang yang tidak enakan. Dia lebih suka melakukan apa-apa sendiri, agar tidak melibatkan orang lain. 

Akiko duduk di halte bus, udara dingin membuatnya harus merapatkan jaket agar udara tidak terlalu menusuk. Biasanya, dia naik taksi untuk bepergian. Tapi, sekarang dia harus lebih menyimpan uang untuk berobat, secara papanya tidak akan lagi memberikan uang bulanan seperti dulu. 

Lalu, suara klakson mobil membuat lamunan Akiko buyar. Mobil hitam metalik itu berhenti tepat di hadapan Akiko. Tapi, karena merasa tidak mengenalnya, Akiko hanya mengabaikan mobil itu. 

"Mengabaikan aku, Nona Eloise?" Akiko mendongakkan kepalanya, melihat sosok pria yang kini berdiri tepat di depannya. 

"Who are you?" bingung Akiko. Sehingga pria itu terkekeh pelan, lalu menghela nafas gusar. 

"Kau punya ingatan yang buruk, ya?" ujarnya sambil tersenyum menyeringai. 

"Kita sudah bertemu 2 kali, tapi kau malah melupakanku begitu saja. Aku Glen Xander Mckenzie, Tuanmu yang baru," jelas pria bernama Glen itu. 

Akiko terdiam sebentar, mencoba mengingat siapakah Glen ini. Beberapa saat kemudian, barulah Akiko ingat kalau Glen pasti orang yang akan membawanya pergi. Tentu, Akiko sudah paham apa yang harus dia lakukan. Semuanya sudah tertata baik seperti permintaan papanya. Tapi, Akiko masih punya Kouma di apartemen yang belum dia jemput. 

"Masuk," titah Glen sambil membuka pintu mobilnya. 

"Aku harus mengambil anjingku terlebih dahulu. Perlengkapanku juga masih ada di apartemen," Akiko menolak perintah Glen. 

"Aku tidak suka penolakan, lebih baik kau ikuti saja apa yang aku minta. Perlengkapanmu kita beli besok, jadi ikut aku sekarang," tegas Glen. 

"Aku tau, aku akan ikut. Tapi, aku harus mengambil anjingku dulu," tolak Akiko lagi. 

"Kau keras kepala, ya," geram Glen sambil mendekati Akiko yang memundurkan diri. Meskipun, Glen masih belum berhenti sampai punggung Akiko menabrak tembok pembatas. 

"Masukkan nomor teleponmu," pinta Glen. Kemudian, memberikan ponsel hitamnya sehingga Akiko langsung mengetik nomor teleponnya di sana. 

"Jangan pernah abaikan pesan atau telepon dariku," Akiko mengangguk, menyahuti perintah Glen. 

Baru saja ingin pergi, Glen tiba-tiba menahan tangan Akiko erat. Kemudian mencium bibir Akiko singkat tanpa aba-aba. "Aku adalah pemilikmu yang baru, ingatlah itu baik-baik." 

Setelah memastikan Akiko paham, Glen segera kembali ke dalam mobil. Pria itu mengusap bibirnya sendiri, "Kenapa aku menciumnya?" 

Sedangkan Akiko yang baru naik bus arah pulang, kini menatap layar ponselnya saat mendapat pesan dari Glen. "Datang ke Cafe Fancy, besok jam 8 malam."

Akiko menghela nafas gusar setelah membaca pesan itu. Entah, bagaimana nasibnya nanti setelah menyaksikan sendiri sikap arogan dari Glen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status