Malam sudah datang, tapi Akiko masih berada di keluar untuk jalan-jalan malam bersama anjingnya, Kouma. Tapi suasana malam itu rasanya agak berbeda, tidak seramai biasanya. Hanya ada beberapa penjual yang bahkan sedang menutup toko padahal masih jam 8 malam.
Akiko berhenti sejenak, untuk memberikan Kouma camilan. Tapi, bodohnya Akiko malah berhenti di depan lorong gang gelap. Seseorang menariknya dengan kasar, sampai dia terjatuh di tanah yang lembab. "Mau ke mana, cantik?" tanya lelaki bertubuh besar itu, sambil berjalan mendekati Akiko. Kouma menggonggong hebat, dia memang agak galak dengan orang baru. Bahkan dia ingin menggigit pria asing yang semakin mendekat. "Berisik!" pria itu memukul Kouma dengan kayu besar, sehingga Akiko buru-buru menahan tali Kouma agar tidak begitu maju. Tapi, tenaganya ternyata kalah dengan anjing ras besar itu. Alhasil, tali Kouma berhasil beralih tangan. "Lepaskan anjingku," pinta Akiko. "Tukar saja dengan tubuhmu," sahutnya sambil mengeluarkan pistol dari dalam saku celana, lalu mengarahkan ke kepala Kouma. Ia memasang wajah mesum, jelas sekali ingin menikmati tubuh Akiko secara cuma-cuma. Akiko hanya diam, tidak mau salah bergerak sampai melukai Kouma. Matanya tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di seberang gang sana. Mungkin ada orang yang bisa membantunya, pikir Akiko. Jadi dia segera berlari keluar dari lorong gang untuk mencari bantuan. "Hei!" teriak pria dari dalam gang. Untungnya, dia tidak melepaskan tembakan. Sesampainya di depan gang, Akiko melihat seorang pria sedang merokok dan bersandar pada mobilnya. Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari ke arah pria itu dengan nafas tersengal-sengal. "Sir, please help me!" mohon Akiko. Sedangkan pria itu hanya menatap dingin tanpa bereaksi apa pun. "Anjingku sedang dalam bahaya, tolong bantu aku," mohon Akiko kembali. "No," jawab pria itu singkat. Membuat Akiko terdiam bingung. "What?" tanya Akiko merasa tidak percaya. "Aku tidak mau membantumu," tegasnya. Akiko memundurkan langkahnya pelan, memang tidak bagus berharap pada orang lain. Lagi-lagi, Akiko bertemu dengan orang egois di hidupnya. Ia menatap gang itu lagi saat mendengar gonggongan Kouma, jadi bisa dipastikan Kouma masih aman. Gadis itu menghela nafas panjang, lalu berlari masuk ke lorong gang itu lagi. Tidak mau tau, entah dia mati atau hidup, dia harus berusaha mengambil Kouma. "Bodoh," hardik pria itu, sambil masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, suara tembakan terdengar dua kali. Bahkan, suara gonggongan anjing juga sudah tidak terdengar. "Dia pasti sudah mati, iya, 'kan?" tanya pria itu pada asisten pribadinya. "Tidak, Tuan," jawaban itu membuatnya segera melihat keluar jendela. Akiko terjatuh, darah mengalir hebat dari pundaknya karena terkena tembakan. Bersamaan dengan itu, Kouma berjalan menyusul. Ternyata dua-duanya masih hidup, entah penjahat tadi memang tidak pandai menggunakan pistol atau hanya keberuntungan saja. "Aahh…," desis Akiko menahan darah agar tidak keluar semakin banyak. Ia menarik tali Kouma agar berjalan, takut jika pria tadi menyusul walau tadi sudah dipukul memakai batu. Lalu, Akiko memutuskan untuk segera pergi ke rumah sakit terdekat karena tangannya sampai tidak bisa digerakkan akibat luka tembak. Untung saja pelurunya meleset, jadi tidak terkena leher atau masuk ke bagian fatal tubuh Akiko. "Aku berubah pikiran, bawa dia besok saja," tegas pria di dalam mobil sambil terus mengamati Akiko. Tidak menyangka kalau Akiko berani membahayakan nyawanya demi menyelamatkan seekor anjing. ***"Papa, benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini, akhirnya Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya. Tapi, papanya justru panik dan tidak mau menjawab. Untung saja dia punya ide, yaitu bertanya pada pembantu di rumah itu dengan sogokan uang. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara, hingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa papa begitu jahat pada Akiko? kenapa?" tanya Keinara. "Papa tidak memaksanya, Kei. Dia tidak menolak atau melawan saat Papa memintanya," kata Mr. Eloise. "Dari dulu, Akiko memang seperti itu. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak manusiawi. Kenapa tidak aku saja? kenapa papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena?" tukas Keinara. "Karena Akiko mirip dengan wanita itu! Wajahnya sangat mirip, sehingga aku terus mengingat bagaimana wanita itu berjalan dengan angkuhnya bersama pria lain," jelas Mr. Eloise. "Jadi, Papa sangat benci karena Akiko mirip dengan Mama?" Keinara bertanya memastikan. "Alasan yang sangat bodoh. Padahal, Mama selingkuh karena Papa tidak pernah memperlakukannya seperti istri. Papa selalu sibuk bekerja, lalu pulang dengan emosi meluap-luap dan melampiaskannya pada Mama. Papa pikir, adakah orang yang mau bertahan terus seperti itu?" desis Keinara. "Cukup, Keinara! Mamamu juga sering memukul Akiko! Kau jangan menyalahkan semua pada Papa," ucap Mr. Eloise. "Karena akar masalahnya adalah Papa! Semua awal kekerasan ini, bermula dari Papa! Bahkan … Akiko sampai takut untuk makan sehingga tubuhnya kurus. Tatapannya selalu kosong, bibirnya sering berdarah karena digigit sendiri untuk menahan tangis. Papa … dia hanya anak yang butuh rasa kemanusiaan dari orang tuanya," air mata Keinara turun begitu saja. "Padahal, dulu aku yang sudah merobek file milik Papa," lirihnya. "File?" bingung Mr. Eloise. "Iya, file penting yang membuat Papa memukuli Akiko habis-habisan. Aku yang melakukannya, tapi aku terlalu takut untuk mengaku. Jadi, Akiko yang menjadi pelindungku tanpa perduli kemarahan Papa. Kalau aku jadi Akiko, pasti aku sudah mati," tangis Keinara semakin menjadi. "Aku ingat sekali, dulu Papa pernah membelikan aku kue. Akiko sangat suka makanan manis, tapi dia tidak berani ikut makan saking takutnya pada Papa," Keinara ingat sekali, bagaimana wajah mungil Akiko menatap dari balik tembok, sambil sesekali menunduk sedih. "Aku sudah mengajaknya, tapi … dia menolak. Dia hanya minta sisa dari kue yang kita makan. Dan bodohnya, aku justru makan dengan bahagia tanpa memikirkan adikku yang menatap kelaparan," Keinara menjambak rambutnya sendiri, merasa sakit mengingat bagaimana perasaan Akiko waktu itu. Padahal, Akiko adalah anak yang tidak pernah melawan, tapi banyak sekali tuntutan untuk sempurna baginya. Keinara bisa mengancam, karena dia adalah anak pertama. Papanya khawatir, Keinara akan pergi dan tidak bisa meneruskan perusahaan. Kalau Akiko tentu tidak bisa mengancam, dia anak kedua, jadi papanya menganggap dia tidak penting. Mau Akiko mati juga tidak peduli. "Padahal, Akiko sudah berjuang mati-matian untuk hidup. Tapi, dengan brengseknya … Papa tidak ingat hal buruk apa saja yang Papa lakukan sejak dulu," lanjut Keinara. "Ingat, Papa. Jika suatu hari Akiko benar-benar pergi, Papa adalah orang yang akan paling menyesal," desis Keinara. "Di mana dia sekarang?" tanyanya. Tapi tidak kunjung dijawab, sampai Keinara harus membanting tasnya di atas meja sebagai gertakan. "Jawab! di mana Akiko sekarang!?" "Papa tidak tau, Papa hanya memberikan foto Akiko dan orang itu langsung menyetujuinya," jawab Mr. Eloise. "Siapa orang itu?" tanya Keinara. "Mr. Mckenzie. Tapi, Papa peringatan, jangan sesekali ikut campur dalam kehidupan Mckenzie. Sifatnya benar-benar kejam," jika sudah tau sifatnya kejam, kenapa masih menyerahkan Akiko pada pria itu? bingung Keinara. "Terserah Papa saja, aku tidak peduli kalau Papa mau membenciku. Tapi, yang jelas aku tidak akan membiarkan adikku sendirian lagi." Keinara meninggalkan Mr. Eloise yang menunduk diam. Beberapa detik kemudian, dia mengingat percakapannya dengan Akiko kemarin, yaitu tentang penyakit. Selama ini dia tidak peduli tentang kesehatan Akiko, bahkan berobat pun tidak tahu. "Dia sakit apa?" tanyanya pada diri sendiri. Pria tua itu mengutuk dirinya sendiri, merasa menyesal sudah bersikap begitu buruk. Dan inilah karma yang akan dia dapatkan, yaitu kehilangan Akiko.Akiko masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap luka di bahu yang sedang dibersihkan. Semalam setelah kejadian penembakan di gang, Akiko langsung pergi ke rumah sakit terdekat. Beruntung, peluru tidak bersarang terlalu dalam sehingga tidak memerlukan operasi besar. Jadi, Dokter langsung mengizinkannya pulang saat itu juga. Gadis berambut pendek itu membersihkan sisa obat dengan kapas untuk ganti perban. Perih, tapi harus ditahan agar cepat sembuh. Apalagi, tangannya kini jadi susah digerakkan karena luka tersebut. "Kouma," panggil Akiko saat anjingnya menggonggong, seolah sedang menyapa. Kouma sudah terlatih, jadi ketika dia merasakan ada yang aneh dari Akiko, pasti langsung mengisyaratkan agar Akiko duduk. "Terima kasih," ucap Akiko sambil memberikan camilan anjing. Akiko menghela nafas kasar. Berpikir untuk berhenti kuliah saja, karena papanya pasti tidak akan lagi membiayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan saja selagi ada waktu. Tapi, Akiko bingung kenapa
"Anda tidak bisa menarik perjanjian ini, Mr. Eloise," tegas seorang pria yang memakai setelan jas dengan rapi. Glen Xander McKenzie, sedang duduk dengan santainya sambil bicara dengan papa Akiko. Beberapa waktu lalu, Mr. Eloise datang ke kantor Glen untuk membicarakan soal Akiko. Mr. Eloise ingin mengambil hak putrinya kembali, dia sudah menyesal memberikan Akiko pada Glen sebagai tawanan. Dia juga ingin memperbaiki kesalahan yang telah dia perbuat selama ini pada Akiko. Namun, Glen tentu tidak akan mewujudkan keinginan Mr. Eloise dengan mudah. Pria itu memang licik dalam memperoleh apapun yang dia mau. Apalagi, dia sudah terlanjur tertarik pada Akiko. "Aku akan menggantinya dengan uang, sebanyak apapun yang kau inginkan," bujuk Mr. Eloise, berkeringat dingin saking gugupnya. Apalagi, selama ini dia tidak ingin tahu tentang putri keduanya itu. Sehingga dia juga tidak tau di mana alamat apartemen Akiko. Nomor telepon nya juga sudah tidak aktif, mungkin diblokir oleh Akiko sendiri. "
Glen menjentikkan jarinya di meja, merasa kesal karena Akiko telat 5 menit. Padahal gadis itu sudah berusaha cepat, tapi tetap saja telat karena jalanan agak ramai. "Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen, mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja. Bahkan, jelas-jelas dia memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko. Lalu, beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja. Bahkan, Akiko sempat menyuapi Ethan dengan lembut, tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akan mengantarnya pulang setelah ini," jawab Akiko seadanya. Sedangk
"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b