Emosi membuat seseorang kerap menutup logikanya. Dendam membuat buta mata batin sehingga kerap melakukan sesuatu yang di luar akal sehat.
Lynea berusaha mencegah suaminya untuk tidak berangkat saat itu juga menyerbu musuh. Bahkan ia yang bukan berasa dari latar belakang bisnis hitam saja mengerti bahwa mendatangi musuh tanpa persiapan yang baik hanya akan mendatangkan malapetaka saja.
“Tuan, hentikan rencana ini. Kita tidak ada persiapan. Ini sama saja bunuh diri!” Alonzo terus mencoba menghentikan penyerangan.
“Kamu pengkhianat, Alonzo! Pergi dari sini!” usir Enrico mendorong orang kepercayaannya itu sampai ia terjatuh ke atas lantai.
“Enrico! Hentikan! Alonzo benar. Semua ini bunuh diri! Tolong, jangan pergi,” pinta Lynea menarik tangan suaminya.
“Tuan, bisa jadi pasukan Ozzolla sudah siap menunggu. Maddy pasti sudah bisa memperkirakan kedatangan kita.” Alonzo kembali bangun dan terus meringsek.
Udara dingin menusuk tulang malam ini. Semenjak kedatangan Enrico dalam kondisi penuh dengan luka tembak di sekujur tubuhnya, rasanya hawa di sekitar semakin terasa membeku.Jenna berkali-kali memeluk Lynea dan berusaha menenangkan sahabatnya. Bryant duduk berdampingan dengan Alonzo. Sesekali ia melihat betapa lelaki yang selalu tampak tenang itu menarik napas dalam saat menatap layar ponselnya.Ada foto David di sana. Wajah Alonzo semakin murung ketika ia melihat tiga wajah berdampingan. Dirinya, David, dan Martin. Kini hanya tinggal ia seorang diri yang masih bernyawa. David dan Martin telah menemui ajal dengan cara yang begitu mengenaskan.“Jangan merasa bersalah,” bisik Bryant berusaha menghibur.Alonzo mendehem dan berdecak kecil. Matanya terlihat berkaca-kaca.“Saat ayahnya David meninggal demi menyelamatkan Tuan Fransiscuss, aku yang mengusulkan agar ia dijadikan bagian dari keluarga De Luca. Aku yang membuatnya bagian dari
Lynea terkejut dan menjadi pucat pasi ketika ternyata Gabriel sudah berasa di belakangnya. Dokter itu telah melihat semua yang ia lakukan. Bagaimana ia memasangkan kalung, dan bagaimana ia berbisik dengan harapan Enrico mendengar suara lembutnya. Apa yang harus dijelaskan? Wajah Gabriel terlihat begitu emosi dan kecewa. Sorot matanya menatap dengan kegalauan. “Aku hanya mencoba untuk berkomunikasi. Bukankah kata orang, meski dalam keadaan koma tapi pasien masih bisa mendengar?” jelas Lyena berusaha tampil normal. “Oh begitu? Termasuk memberikan kalung itu padanya?” sindir Gabriel datar. Lynea terdiam. Ia tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya menjerit. Memaki kebodohan dirinya sendiri yang membiarkan terhanyut dalam dua rasa seperti ini. “Sudahlah, Lyn. Keluarlah. Tidak boleh berlama-lama dalam ruang ICU.” Gabriel menarik lengan kekasihnya. “Apakah kamu akan pulang malam ini?” Ia bertanya pelan. “Bukankah malam ini masa kritis u
Malam semakin larut. Lynea ditemani oleh Jenna mendatangi kapel di sudut rumah sakit. Di sana, ia menyalakan lilin kemudian bersimpuh di depan altar. Matanya menatap ke atas, memohon kepada kekuatan Sang Maha Pengasih agar mengabulkan doanya.Ia melanutkan harapan untuk suaminya. Andai ia bisa memutar waktu agar semua ini tidak terjadi. Rasa cinta tak pada tempatnya membuat bibir itu menginginkan sosok brutal dan angkuh yang seharusnya ia benci, kembali ada di sisinya.“Tuhan, kembalikan ia padaku bila memang kami berjodoh. Hanya kekuatan-Mu yang bisa memandu Enrico untuk kembali menjalani hidup ini … bersamaku,” bisiknya terisak.“Apa yang harus hamba lakukan, ya, Tuhan? Perasaan ini semakin tidak tentu arah. Hamba tak tahu lagi apakah itu cinta? Lelaki mana yang harus hamba cintai? Bantulah hamba menentukan arah hidup agar tidak terombang-ambing dan menyakiti hati orang lain.”Jenna mendengarkan semua itu dengan terharu. T
Seseorang yang angkuh, merasa dirinya di atas dunia, dan bahwa orang lain adalah rendah, kini harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak bisa lagi berjalan tanpa melalui rangkaian proses pengobatan yang panjang dan berbelit.Berhubung pemilik rumah sakit ini adalah Bapak Baptis Enrico, ia merasa bebas untuk melakukan apa pun yang dimau kepada para dokter. Selain botol obat, ia juga melempar bantal, selimut, alat suntik, dan apa pun yang bisa ia gapai di sekitar tangannya.Harga dirinya telah runtuh tak bersisa. Dunia baginya adalah tempat yang tak layak lagi untuk ditempati. Ia sudah membayangkan bagaimana musuh-musuh akan mentertawakan dirinya yang berada di atas kursi roda.Lynea masih berdiri di sisi ranjang meski Enrico telah mengusirnya. Namun, ia hanya mematung melihat semua barang beterbangan dilempar kepada para dokter. Enrico baru berhenti melempar setelah tidak ada lagi yang bisa ia lempar.“Brengsek kalian semua! Matikan saja aku! Aku tida
Lynea hampir merasa mati kehabisan napas ketika seseorang membekap mulut sampai ke hidung lalu menyeret tubuhnya sampai ke belakang tangga. Untuk sesaat ia mengira ini adalah akhir hidupnya.Ketika sang pembekap kemudian melonggarkan tangannya, segera ia menoleh ke belakang dan kaget sangat melihat siapa yang ada di situ.“Maddy!” jeritnya tertahan.“Jangan berisik, Nyonya! Aku di sini untuk David. Biarkan aku berjalan denganmu. Supaya orang mengira aku adalah temanmu.” Maddy memohon dengan wajah memelas.“Alonzo menceritakan apa yang terjadi. Bagaimana kamu bisa segila ini? Kamu jahat sekali!” Lynea mencecar mantan pengawalnya.Maddy menunduk lesu. Nasi sudah menjadi bubur. Semua rasa benci dan dendam pada Enrico telah membuatnya buta dan kalap. Pada akhirnya justru peluru dari pistolnya yang telah membunuh sang kekasih.“Aku sudah dihukum oleh Tuhan dengan menjadi pembunuh orang yang aku cintai. It
Penghangat udara di kamar rumah sakit ini tidak dapat menghilangkan tatapan dingin dari Enrico untuk Lynea. Wajahnya datar tanpa senyum sama sekali. Sesekali terlihat napasnya menjadi lebih cepat kemudian ia membuang pandang tak lagi menatap istrinya.Lynea masih berdiri di ujung ranjang. Merasa kesal namun rindu. Marah tetapi … sayang. Ia berjalan pelan mendekati Enrico. Lekat tatapnya sama sekali tidak pernah lepas dari dua netra suaminya. Sedikit rasa dilema membersamai langkahnya.Sampai detik ini Lynea masih tak mengerti mengapa Enrico membuangnya seperti itu. Seolah apa yang terjadi sebelum ini hanyalah mimpi tak nyata. Bukankah dalam saat-saat terkelam seseorang justru ingin didampingi oleh orang tercintanya?Namun, bila kemudian lelaki itu tidak lagi menginginkan keberadaannya dan lebih memilih bersama Elena, apakah masih bisa dikatakan bahwa dirinya adalah orang tercinta?“Tidak usah dekati aku!” hardik Enrico kasar.&ld
Lynea masih terbenam dalam pelukan Gabriel. Hati yang hancur akibat penolakan Enrico membuatnya terisak dan berderai air mata. Dalam kesedihan itu lagi-lagi sosok Gabriel datang menyediakan tempat yang sangat nyaman baginya.“Aku mencintaimu, Gabriel!” Pelan suara Lynea terucap di antara getar suara tangis.“Aku juga mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Kita dilahirkan untuk bersama, aku yakin itu!” balas Gabriel membelai lembut gerai rambut hitam legam Lynea.Lorong rumah sakit menjadi tempat dua hati kembali menyatu. Keduanya yang sempat terpisah karena dualisme cinta Lynea pada Enrico dan Gabriel kini telah menemukan jalan untuk dapat memadu kasih kembali.Belaian jemari Gabriel di rambutnya terasa begitu menenangkan. Memang pemuda satu ini selalu bisa membuainya dengan berbagai cara agar perasaannya menjadi tenang kembali.“Ehm, Gabriel, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku memutuskan untuk meneruskan program bayi
Kepulangan Enrico kembali ke Istana De Luca membuat suasana tidak tenang bagi kehidupan Lynea. Pikirannya sedang berputar bagaimana bisa berada di kamar yang berbeda dengan Enrico. Saat ini ia sedang memilih untuk bersantai di kamar pakaian suaminya yang super besar. Dengan sebuah kasur lipat dan dua buah bantal, ia merebahkan diri. Ponsel di genggaman sudah akan menekam tombol menelepon Gabriel ketika tiba-tiba suara erangan merintih kesakitan datang dari luar kamar pakaian. Sebagai seorang perawat, ia sudah reflek untuk segera menghampiri pasien apabila mendengar suara tersebut. Langkah kakinya segera menghampiri Enrico. Ketika melihat sang lelaki sedang menahan sakit yang luar biasa, ia seketika merasa ada sesuatu yang menghunjam dada. “Kamu kenapa, Enrico?” seru Lynea mulai terdengar panik. Enrico tidak menjawab. Ia terus merintih dan memegang pinggangnya sampai kini ia sudah dalam posisi meringkuk di atas kasur. Lynea segera berteriak memanggil d