Larisa menerawang ke atas langit pekat berbintang, bayangan yang seharusnya tidak hadir di saat dirinya tengah berduaan dengan Emir malah menyambangi, terukir jelas di dalam ingatan. Dia mengingat pertemuan dirinya dengan Aarav sore itu, di mana lelaki tersebut datang dengan percaya diri meminta ijin kepada kedua orang tua untuk mengajak makan malam. Tentu saja itu hanya alasan saja. Hal yang sebenarnya terjadi Aarav dan Larisa akan melakukan sebuah kesepakatan. “Aku akan menikah denganmu, tapi mari kita sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Kita berjalan sendiri-sendiri. Kau juga tenang saja, aku tidak akan melarangmu menemui Emir,” kata Aarav di sebuah cafe yang cukup ramai pengunjung. Mereka duduk di bagian beranda, ditemani lampu-lampu menggantung yang terlihat indah kelap-kelip pada pekat malam. Mereka menghentikan perbincangan ketika sajian datang, sementara perbincangan terputus, Larisa sibuk menikmati hidangan lezat sesuai selera. Olahan kerang, ah gadis
Lelaki tersebut mendekat ke arah Risa, membuat gadis itu ambruk di ranjang. Jantung Risa berdetak kencang, dia kebingungan. Wajah Aarav sudah tepat di atasnya, belum sempat bersuara bibir lelaki itu sudah mendarat di bibirnya. Astaga, ciuman itu, Risa tidak memungkiri ciuman Aarav sangat enak terasa. Bagaimana mungkin dia menikmati saja bibir itu, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan tujuan awal Larisa. Dia bertekad untuk setia pada Emir, namun dikalahkan pesona Aarav, sungguh gila. Di tengah kewarasan gadis itu memukul-mukul dada Aarav, lelaki itu tidak menghentikan aksinya. Satu tangan mencekal Larisa, tangan kanannya menyingkap blouse yang dikenakan gadis tersebut. Tangan berotot itu menyusup setelah menarik bra sedikit ke atas. Aarav sendiri nampak sangat benci pada persyaratan terakhir yang diajukan Larisa, dia merasa ditolak, dan penolakan tidak ada dalam kamus Aarav Adelard. Lelaki itu menyentuh ujung dada Risa bergantian, membuat tubuh gadi itu menggeliat.
Bayangan kejadian malam itu telah tersapu angin, Larisa menjadi canggung tidak dapat menatap Emir, dia merasa bersalah sekaligus malu. Bagaimana bisa dia berperilaku memalukan seperti itu. Gadis tersebut menepuk pipi dengan kedua tangan, berusaha serius, saat ini dirinya sedang bersama Emir, seharusnya tidak mengingat lelaki lain apalagi ingatan mesum, menjijikkan. Risa geli dengan tubuhnya sendiri yang tidak mampu mengelak sentuhan Aarav. Hal asing yang baru saja pertama kali dia rasakan, memabukkan juga membuat gundah gulana. ‘Menghilanglah bayangan mesum itu, dasar laknat!’ desis Larisa kesal sendiri, dia menepuk kepala dengan kedua tangan. “Sayang, kau kenapa?” tanya Emir. Sadar, sudah pasti, Risa menelan saliva, menoleh ke arah Emir dengan gugup. Emir mengernyitkan kening, pemuda tersebut mengira jika Larisa tengah menahan sakit yang sama. Perasaan bimbang tidak mampu menolak keinginan orang tua, gadis manis malang. ‘Kau pasti merasa tertekan Ris
Sebuah rumah mewah, dengan dekorasi interior gaya skandinavia, dinding cat yang lebih dominan warna putih. Ada hiasan dinding dengan ukiran kayu mewah menempel sempurna di ujung ruang, sedangkan di dekat tempat duduk, ada rak untuk meletakkan beberapa vas antik, terlihat elegan. Hangat dan sederhana. Biasanya orang-orang yang menggunakan desain yang satu ini karena ingin terlihat sederhana namun tidak kehilangan unsur keindahannya. Para tamu tanpa dipersilahkan masuk begitu saja untuk melihat-lihat. Aarav yang baru saja melihat adegan menjengkelkan masuk dengan paras suram mirip cucian baru digiling, kusut. Dia menghela napas, secepatnya merubah mimik wajah agar tidak kentara. Kenzo menoleh ke arah bujangan keduanya saling menatap tajam satu sama lain. Seolah bertarung saling mengintimidasi dengan tajamnya mata. "Hai, ngomong-ngomong orang tuamu tidak hadir di sini, Aarav?" tanya Akbar yang masuk ke dalam rumah. Kedua orang tersebut langsung beralih pandang. Suasa
Makan malam acara perayaan rumah baru Emir terlihat suram bagi beberapa pihak. Aarav begitu gencar untuk mendekati Larisa, mulai menyuapi, mengambilkan minim. Seolah memberi peringatan secara tidak langsung kepada Emir agar pemuda itu menyerah. Bukan Emir namanya jika harus mengalah begitu saja. Pemuda tersebut justru merasa tertantang untuk melakukan hal yang lebih, tidak mungkin dia menyerah begitu saja dengan wanita yang sangat dia cintai sejak lama. Butuh pengorbanan juga penantian panjang sampai dia kembali ke tanah air lalu menyatakan perasaan. Menurut apa yang dikatakan Delon, Larisa terbilang populer di kampus, hampir tiap hari dia mendapat pernyataan cinta dari seseorang. Namun, sayangnya nasib keimutan yang dia miliki tidak berjalan mulus dengan kehidupan serba keras. Beberapa kali Larisa berpacaran selalu putus di tengah jalan, jika Risa menganggap mereka meninggalkan itu sangat salah. Lebih tepatnya ada orang yang mendesak para pemuda itu menjauh, mulai dari peringatan seca
Aarav merangkul Larisa dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa dia calon yang paling pas untuk Larisa. Seperti masuk ke dalam perangkap, Larisa pasrah dan yah sebenarnya sangat memuakkan. Sungguh sangat memuakkan, hingga dia ingin sekali menimpuk kepala bujangan tersebut itu dengan panci. Emir menatap lelaki yang sok tersebut dengan tajam, tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dari pada melihat sang kekasih dalam genggaman lelaki lain. Larisa berada di antara titik serba salah, bergerak ke manapun dia bimbang. Tidak mungkin dia mematahkan kebahagiaan kedua orang tua yang sedari tadi menatapnya dengan binar. Risa ingin sekali berlari saja meninggalkan. Malam semakin larut, acara makan-makan berakhir dengan perasaan tidak menentu. Banyak kejadian yang baru terkuak tanpa disengaja. Takdir membingungkan, juga perilaku Emir yang terlalu obsesif. Bagi sebagian orang mungkin itu hal wajar. Namun, tidak dengan Angel, dia takut putranya akan sama seperti
Sore hari menjelang petang, di aman langit berwarna jingga, biru kemerahan, indah menyejukkan mata. Sama halnya dengan rasa yang kini mampir pada atma Aarav. Perasaan bungah bercampur gugup menggelayut dalam ingatan, dia duduk di mobil bagian belakang sedangkan pada bagian depan ada Adelard juga Evelyn, kedua orang tua itu tersenyum. “Kau gugup, Nak?” tanya Adelard. “Ti … tidak,” jawab Aarav mendadak gagap. “Jangan berbohong, kami paham saat ini kau tengah gugup,” ledek Evelyn. Kalah, Aarav mengaku kalah, dia menghela naps panjang nan lama, “Baiklah, aku sangat gugup, seperti orang yang hendak melamar kerja untuk pertama kali bahkan ini lebih terasa gugup dari yang aku perkirakan, kalian puas,” jawab Aarav mencebik. “Hei, Nak, ayolah. Kami memahami keadaanmu sekarang, situasimu memang bagi sebagian orang membuat gugup, kau akan melamar seorang wanita,” kata Adelard. “Hei, Ayah, masalahnya aku tidak mencintai gadis itu, ingat,” kata Aara
Sekuat tenaga aku menutup mulut agar tangis tidak terdengar sampai keluar, sakit sudah pasti menahan. Saat ini aku benar-benar berada di posisi yang tidak menguntungkan. Bagi sebagian gadis mungkin rencana pernikahan adalah hal membahagiakan, pertunangan adalah hal luar biasa. Namun, apa yang terjadi pada diriku berbeda dari yang lain. Ketika harus mengalah kemudian memilih perjodohan tidak disengaja dibandingkan cinta. Yah, cinta hanya semu semata, menempatkan rasa sakit lebih dominan dari bahagia yang pernah dicecap manis. Baru seujung kuku rona bahagia menyergap diri kini berganti luka bernanah saling menyakiti, nasib badan. Aku butuh penghiburan namun, kamar sunyi ini yang menjadi sahabatku saat ini. Ingin menghubungi Delon atau pun Elizabeth rasanya tidak mungkin, situasi akan semakin rumit seratus persen jika ada mereka. Pasti ada saja ulah untuk menggagalkan rencana mengingat mereka begitu peduli kepada diriku. Pintu kamar terbuka, aku tidak peduli yang ingin aku