"Terima kasih banyak Saga, kami tidak butuh pendapatmu," jawab Tsabi menatap tajam pria di depannya. Tak ada sedikit pun rasa takut di hati Tsabi menghadapi pria di hadapannya yang sengaja ingin merendahkan suaminya. Saga tersenyum lembut, menatap tanpa jeda. "Owh ya, aku selalu menyukai cara berpikirmu. Jangan lupa hubungi aku cantik, kalau kamu berubah pikiran," ucap Saga sembari mengelus kepala Zayba dalam gendongan ibunya. Sontak saja Tsabi langsung memberi jarak, sementara Shaka menatap tajam tidak rela. Saga ini selalu kurang ajar dengan istrinya. "Ayo Mas, kita pergi dari sini," ucap Tsabi menahan tangan Shaka yang sepertinya tidak terima."Nggak usah diladeni, dia tuh nggak waras, yang ada makin buat kita kesal," kata Tsabi menenangkan Shaka. Harga dirinya dijatuhkan di depan istrinya. Beruntung Tsabi tipe wanita yang sama sekali tidak berhasrat dengan harta benda. Dia lebih menyukai Shaka yang sekarang. "Maaf ya, gegara aku hidup kamu jadi susah," kata Shaka merasa belu
"Ada apa Tsa? Kenapa teriak-teriak!" tanya Shaka mendekat. "Mas, itu, ada binatang di situ. Nggak mau," ujarnya begidik geli sendiri. Shaka langsung masuk ke kamar mandi. Ternyata sejenis katak kecil di pojokan yang bisa lompat tinggi-tinggi. Pria itu mengusirnya agar masuk ke dalam ember, lalu hendak mengeluarkan. Namun, katak itu malah lompat-lompat ke sana kemari. Tsabi yang masih di sekitar situ sampai menjerit resah, bahkan langsung lompat ke tubuh Shaka saat katak itu lompat ke arahnya. "Mas, itu di bawah kaki aku, nggak mau!" pekik Tsabi kaget. "Eh, sayang, aku susah nangkapnya kalau kamu gini," ujar Shaka tak kalah kaget. Tsabi yang kadang galak itu takut dengan katak kecil. Sekarang malah nemplok tak mau turun. "Ada apa, Bang?" tanya Mat dan rekannya sampai masuk ke dalam. Teriakan Tsabi sepertinya terdengar dari luar hingga mencuri atensi dua pegawai Shaka. Shaka menoleh, seketika dua rekan kerjanya menjadi salah tingkah melihat Ning Tsabi tengah nemplok dalam gendong
"Eh, masya Allah, kaget sayang, kamu lucu sekali." Tsabi langsung menggendongnya karena Zayba menangis. Kaget dengan kentutnya sendiri. Menimangnya dan membawanya ke ruangan lain agar mendapatkan suasana baru. "Maaf Ning, ini pesenan Bang Shaka," ujar Mat menginterupsi. Mat lebih dulu mengetuk pintu yang terbuka sambil bergumam permisi. "Owh, iya terima kasih," jawabnya sopan. "Udah Mat?" Shaka muncul dari kamar."Iya Bang, kembaliannya saya taruh lagi di tempat semula.""Buat beli rokok aja Mat, buat kalian. Itu juga yang dua porsi buat kalian. Makan siang dulu!" seru Shaka berbaik hati. "Wah ... beneran Bang? Terima kasih Bang, siap," ucap Mat berbinar. Mendapat rezeki berlimpah siang ini. Shaka mendekati bungkusan yang baru saja dibawa Mat. Langsung membukanya agar istrinya makan lebih dulu. "Sini Zayba sama aku dulu, kamu makan biar ada tenaga.""Nggak apa Mas, tunggu sebentar nungguin adek bobok aja.""Jangan, nanti telat makan. Disuapin mau?" tawar pria itu sungguh hati.
"Siapa yang telpon?" tanya Shaka usai mandi. "Angel Mas, belum aku angkat. Kamu aja," ujarnya tak mau ikut campur. Walau dalam hati kepo akut. Mendengar suaranya saja suka kesel kalau tidak pas. "Owh," jawab Shaka sembari memakai pakaian yang sudah disiapkan Tsabi. "Nggak ditelpon balik? Mana tahu penting." Berharap dalam hati Tsabi, tidak ada huru-hara lagi. Kejadian kemarin yang tiba-tiba mengangkat telpon Shaka saja masih menyisakan kesal. "Biarin, nanti saja," jawab pria itu santai. Lalu bersiap-siap ke masjid. Sementara Tsabi sholat di rumah bergantian dengan ummi karena menjaga Zayba. "Tsa, sholat dulu, biar Zayba sama ummi," kata Ummi Shali pengertian."Iya Ummi," jawab Tsabi langsung mengiyakan. Tsabi langsung bergegas setelah ada yang menjaga bayinya. Usai menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, Tsabi langsung mendekati Zayba yang masih anteng dalam gendongan neneknya. "Tsa, Zayba kok kaya anget? Apa perasaan Ummi saja kalau gini. Coba kamu periksa?" adu Ummi mera
"Udah semua?" tanya Shaka mengemas barang yang akan diboyong, lalu memasukkan ke mobil. "Iya, lainnya biar sisain di sini. Tolong tas aku Mas, itu ponselnya sekalian masukin," pinta Tsabi meminta tolong. Tsabi menggendong Zayba, sementara Shaka membawakan tas dan printilan lainnya. Mereka pamit bersama-sama menghadap kedua orang tuanya dan semua penghuni rumah. "Uti pasti kangen banget sama Zayba, sering-sering main ke sini ya. Kalau sampai masa cutimu habis belum ada yang jagain Zayba, biar sama ummi," katanya siap sedia. Lagian di pesantren banyak yang bantuin, sudah pasti anak-anak asuh Ummi Shali mau membantunya kalau tengah repot. "Siap Ummi, pasti sering mampir kok, assalamu'alaikum ...," ucap perempuan itu menyalim takzim ibunya. Memeluk hangat, tak lupa memberikan senyuman perpisahan.. Diikuti langkah hangat Shaka melakukan hal yang sama. "Pamit dulu Ummi," ucap Shaka menyalim kedua mertuanya. "Titip Tsabi, Ka," ucap ibu dari tiga anak itu sendu. Ada kekhawatiran yang d
"Baiklah, besok Shaka usahakan ke rumah paman," ucap Shaka pada akhirnya. Menepis kekhawatiran Tsabi yang begitu kentara. "Tapi, saya datang bersama Tsabi paman," sambung pria itu kali ini harus melibatkan istrinya dalam bentuk apa pun. Shaka tidak ingin Tsabi merasa khawatir di rumah lantaran menunggu dirinya. Atau kejadian seperti kemarin yang menyebabkan istrinya salah paham. "Terserah, tapi paman sarankan kamu datang sendiri, karena ini akan memakan waktu yang mungkin tidak sebentar. Bisa saja kan istrimu bosan.""Dia akan lebih bosan kalau menunggu Shaka di rumah. Benarkan sayang?" kata Shaka mengalihkan tatapannya pada Tsabi. Perempuan itu mengangguk, hatinya merasa lega setelah berkeinginan untuk mengajaknya. Walaupun ada rasa takut yang mendalam, tetapi keputusan Shaka membuat hatinya menghangat. Merasa dianggap ada dan selalu dilibatkan dalam urusannya. Sementara Angel, nampak kurang suka dengan perubahan Shaka dan sikap harmonis pria itu. Dua benar-benar telah kehilangan
"Sayang, aku ke masjid dulu ya, kalau di rumah takut sendirian, kunci saja pintunya. Jangan menerima tamu kalau tidak dikenal," pesan Shaka begitu mendengar suara adzan isya. Pria itu bersiap-siap untuk jamaah di masjid terdekat. Pertama kali meninggalkan Tsabi di rumahnya sendiri, membuat pria itu mewanti-wanti. "Iya Mas, nanti selesai langsung pulang kan?" tanya Tsabi agak takut juga. Kalau malam suasananya sepi. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan berlalu-lalang karena rumahnya pas dekat jalan raya. "Iya, langsung pulang kok, udah nggak sabar ya," ujarnya setengah meledek. Dikaitkan dengan hal lain. "Apaan sih, bukan gitu, sepi kalau kamu nggak di rumah," ujarnya malu-malu. Pipinya mendadak panas disinggung soal lainnya. Otaknya langsung terhubung saja dengan hal lain. Shaka mengulurkan tangannya, Tsabi masih diam ragu untuk menyambutnya. "Kan udah wudhu, Mas," katanya mengingatkan. Barang kali suaminya lupa. "Nanti di sana wudhu lagi. Nggak apa kan kalau sekarang pamit
"Buka mulutmu sayang, makan dulu," bujuk Shaka hendak menyuapi istrinya. "Aku bisa makan sendiri Mas," ujar perempuan itu semakin mrengut. Namun, membuka mulutnya juga saat Shaka menyodorkan sendok yang sudah terisi. Pria itu menanti dengan sabar. "Dari tangan aku lebih enak, mumpung Zayba juga sudah lelap, saatnya ummanya yang makan," katanya tersenyum manis. Tsabi menerima suapan demi suapan dari tangan suaminya. Perlahan isi piring itu berkurang hingga membuat Shaka merasa senang. Lucu sekali, katanya tidak mau, tapi lahap juga. "Kamu makan juga, dari tadi aku terus," kata Tsabi bergantian mengambil sendok di tangan Shaka. Lalu menyuapi suaminya yang kini tersenyum menatapnya. "Jangan menatapku begitu, aku makannya banyak kan.""Emang harus banyak, kan buat Zayba juga. Kalau ummanya sehat, asinya lancar, adek juga pasti senang. Keduanya bahagia.""Abinya ikut senang nggak?""Iya dong, kan ditransfer senyuman setiap hari. Apalagi dari istriku yang cantik ini. Hehehe.""Kamu sek