"Mari ikut saya Nona!" ajak seorang pria mempersilahkan. Perempuan itu berjalan mengikuti langkah seseorang yang katanya suruhan Shaka. Dia tidak berpikir buruk tentangnya, dan mungkin memang benar. Namun, entahlah hatinya mendadak ragu saat pria di depannya itu bukan jalan ke arah luar melainkan ke sebuah lorong untuk menuju ruangan tertentu. "Shaka di mana? Bukankah tadi katanya menunggu di mobil?" tanya perempuan itu dalam hati. Ia merasa tidak tenang, atau jangan-jangan pria itu mengirimkan dirinya pada bahaya. "Ada apa Nona? Kenapa berhenti? Mari ikut saya Tuan Shaka sudah menunggu," ujar pria itu menginterupsi. "Ada yang tertinggal di meja tadi, bolehkah aku mengambilnya dulu," ujar Tsabi beralibi. Dia merasa pria di depannya bukanlah orang yang pernah terlihat sebagai bawahannya Shaka. Walaupun Tsabi tidak paham benar, dia belum pernah menjumpai pria itu ada di lingkungan tempat tinggalnya yang biasanya salah satu dari orang yang menjaga kediaman mereka, ataukah mungkin oran
"Enyah kau!" sarkas pria itu meluapkan emosinya. Tidak begitu kawan, kalau dia mengusik kehidupannya, itu artinya siap berhadapan dengannya. Perkelahian kedua pria itu pun tak terelakkan lagi. Shaka hampir lepas kontrol kalau saja tidak sadar istrinya ketakutan melihat dirinya. Shaka langsung berhenti begitu melihat Tsabi berlari menjauh. Sementara Saga sudah tergeletak tak berdaya. "Tsabi! Tunggu Tsabi!" seru Shaka menghempaskan Saga lalu berlari mengikuti langkah istrinya. Wanita itu terus berjalan tanpa mendengar panggilan suaminya. Membuat Shaka gemas lalu menarik lengannya. "Aku bilang berhenti, apa kamu tidak dengar!" sentak Shaka membuat tubuh perempuan itu membeku di tempat. Air matanya tanpa sadar berdesakan keluar. "Lepas Mas," pinta Tsabi memohon. Namun, Shaka malah mencengkeramnya makin kuat takut istrinya tiba-tiba berlari. "Kembali ke hotel. Kenapa harus meladeni Saga?" tanya pria itu sangat tidak suka wanitanya disentuh-sentuh orang. Dia pasti akan menghukumnya de
Atas dasar permintaan istrinya, jadilah malam itu tidak ada kegiatan panas seperti yang sudah digadang-gadang pria dewasa itu. Terpaksa harus menundanya lagi walau sebenarnya hatinya kesal. "Jangan menatapku seperti itu Mas," tegur Tsabi yang kini sudah menempati ranjang. Dia sengaja memakai pakaian panjang tanpa melepas hijabnya. Tidak ingin memancing syahwat suaminya barang kali memang menginginkan itu. Ada rasa berdosa pada diri Tsabi, tetapi dia harus melakukannya demi sebuah masa depan yang jelas. Bagaimana jika suaminya terbukti suka gonta-ganti pasangan menularkan sebuah penyakit dan naasnya Tsabi yang tidak tahu menahu pun terkena getahnya. Bukankah itu sangat miris dan disayangkan. Sebelum semuanya terjadi, Tsabi ingin berjaga-jaga. Walaupun pandangan Shaka jelas menyiratkan kekesalan. Itung-itung latihan sabar, bukankah melakukan ritual suami istri itu harus dasar sama-sama rasa nyaman dan tentunya tidak membahayakan untuk keduanya. Shaka tidak menjawab, setengah berbari
"Aku yang buka, atau kamu yang buka," kata pria itu penuh penekanan, menatap tajam istrinya. "Nggak apa Mas, aku hanya sedikit pegal, jadi tidak apa-apa," kilah Tsabi menyembunyikannya dari suaminya. Wanita itu menahan tangan Shaka yang mencengkram gamisnya. "Kalau kamu merasa tidak apa-apa, biar aku yang buka." Kesal dengan sikap Tsabi pria itu sampai beranjak dari kursi lalu mengambil gunting hendak memotong bagian gamisnya. Membuat Tsabi seketika melotot tak percaya. "Jangan dipotong!" pekik Tsabi merebut gunting dari tangan Shaka. Apa-apaan suaminya itu, membuat Tsabi panik saja. "Buka!" titahnya dingin. Wanita itu melepas tangannya yang sedari tadi menahan, membiarkan Shaka memeriksa kaki bagian atasnya. Pria itu menaikkan gamis Tsabi dengan hati-hati. Tatapannya jeli memperhatikan kulit Tsabi. "Sakit kenapa nggak bilang? Bagaimana bisa ini terjadi. Aku bilang tidak usah sibuk sendiri di dapur, biar orang lain yang mengerjakan," omel Shaka melihat luka kemerahan di paha Tsa
"Aa ... Mas!" Tsabi tergeragap panik menarik handuk di gantungan. Karena terburu-buru membuatnya terjatuh membentur lantai. Wanita itu mengaduh resah seraya menutupi tubuhnya yang setengah polos. "Tsabi!" Shaka terkejut melihat istrinya kepleset. Langsung mendekat hendak menolongnya. "Jangan dilihat! Dasar mesum!" omel wanita itu refleks memukul kepala Shaka dengan botol sabun berukuran jumbo yang terdampar di dekat bak rendam. "Aww ... sakit Tsabi, kenapa memukulku," keluh pria itu agak sedikit pening. Kenapa istrinya mendadak galak sekali akhir-akhir ini, dan anehnya Shaka merasa sikap Tsabi masih cukup dimaklumi. "Astagfirullah ... maaf Mas aku tidak sengaja. Kenapa matamu jelalatan," ucap perempuan itu sedikit menyesal. Banyak nggaknya sebab merasa kesal. Salah siapa menerobos masuk tanpa permisi. "Aku hanya ingin membantumu, apanya yang salah," kata pria itu mengusap kepalanya yang agak berdenyut. "Kenapa nekat masuk? Itu tidak sopan. Kalau sudah dikunci artinya tidak boleh
Karena permintaan Tsabi tidak mungkin dibuatkan oleh tangannya sendiri yang sekarang hanya tinggal berdua, akhirnya Shaka delivery order minuman yang Tsabi minta. Pria itu benar-benar mewujudkannya walau dengan wajah muram. Pria itu masuk ke kamar, lalu menaruhnya pesanan itu begitu saja di nakas. Bahkan tidak ada basa-nasi sedikit pun. Namun, berhubung Tsabi haus, ya diminum saja dengan nikmat. "Ini apa?" tanya perempuan itu menilik cup dalam kemasan yang terbungkus rapih. Pura-pura tidak tahu saja. Tsabi tersenyum begitu melihat isinya, ia bergumam terima kasih walau tanpa jawaban. "Mau ke mana?" tanya Tsabi melihat suaminya seakan tengah bersiap pergi dari rumah. Kepo sembari menyedot green tea boba di tangannya. "Rumah sakit," jawab pria itu datar. "Jadi chek kesehatan? Harusnya nungguin aku biar aku yakin hasilnya." Takut dimanipulasi, Tsabi bertekad untuk ikut agar bisa tahu hasilnya langsung. Jujur, ia agak takut kalau-kalau suaminya itu bekas dijamah banyaknya cabe-cabea
"Huhf .... " Shaka mendesah datar. Melihat respon istrinya yang hanya diam, dia langsung menunjuk luka Tsabi di kaki bagian atasnya. Memastikan kalau luka istrinya sudah sembuh benar. "Aku akan memeriksanya, apakah sudah sembuh? Sudah tidak sakit?" Pria itu menyingkap gamis yang menjulur panjang menutupi kakinya. "Udah nggak sakit kok, cuma kakiku yang masih sakit sedikit. Masih sabar kan?" sahut perempuan itu harap-harap cemas. Hanya luka terkilir kemarin yang masih terasa. "Menurut kamu?" tanya Shaka menatap lekat. Tsabi tersenyum, menurunkan gamisnya yang terbuka. "Masih sangat amat sabar Mas, pria sejati tidak akan memaksanya," kata wanita itu menatap cemas. "Kamu akan menumpuk dosa kalau menunda, dan menundanya lagi. Pakai gaun malam terbaikmu Tsabi, pastikan kamu sudah siap saat aku pulang nanti," pesan Shaka sebelum beranjak dari kamar. Terdengar sangat serius seperti biasanya. Wajahnya irit senyum, dengan ekspresi datar. Glek! Rasanya Tsabi resah mendengar perkataannya
"Tundukan tatapanmu, dan keluarlah!" titah Shaka melembutkan suaranya."Aku tidak mau sebelum kamu membiarkan aku mengobatimu lukamu," sahutnya tenang. Apa yang terjadi dengan Shaka. Kenapa tiba-tiba dia terluka. Apakah seseorang telah mencelakainya? Saat ego itu runtuh oleh kelembutan hati yang memperlakukannya dengan begitu perhatian. Ia tak lagi menyela bahkan hanya dengan perkataan yang enak didengar atau terang marah memendam kesal. Membiarkan tangan terampil itu menyelesaikan urusannya. Pria itu menghela napas kasar, berjalan cepat dari kamar mandi lalu terduduk di bibir ranjang. Tsabi langsung mengekor dengan kaki yang masih sedikit pincang. Perempuan itu sudah lepas kruk hanya saja masih sedikit ngilu. Berjalan pelan mengambil kotak obat di rumah itu. Dia tahu Shaka mengizinkannya dengan berjalannya pria itu keluar. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendekat membantu pria di depannya melepas kemejanya sepenuhnya. Menyisakan tubuh polos Shaka yang kekar. Sedikit gr