Setelah dirawat di rumah sakit beberapa hari, akhirnya baby Zayba sudah boleh pulang siang ini. Tentu saja itu kabar yang begitu menggembirakan bagi Shaka dan keluarga Ustadz Aka. Menyambut cucu pertama dengan penuh suka cita. "Dia sangat lucu," kata khalif mengamati keponakannya. Sedari tadi tak beranjak dari dekatnya. Bayi mungil itu tengah dalam pangkuan Ummi Shali, baru saja sampai rumah langsung menjadi idola semua anggota keluarga. "Sepertinya dia haus," ujar Ummi Shali mengamati Zayba yang seperti mencari sesuatu. "ASInya baru aku pompa, biar Tsabi panasi dulu," ujar Tsabi langsung beranjak. "Biar aku saja, Tsa, bisa kok," sahut Shaka menyela. Pria itu langsung berdiri dari tempat duduknya. Menuju lemari pendingin di mana banyak stok ASI yang tersimpan. Melihat itu, Tsabi akhirnya kembali duduk. Bertukar posisi dengan ibunya. Giliran yang menimang Zayba. Masih agak kaku, tapi rasanya begitu bahagia. Rasanya seperti mimpi sudah menjadi ibu. "Segini bener nggak hangatnya,"
Pukul setengah dua dini hari, Tsabi terjaga dan merasa tubuh bagian atasnya penuh. Dia harus segera membangunkan Zayba memberikan ASInya. Bayi mungil yang masih nampak lelap itu langsung bereaksi begitu mendapatkan sumber air kehidupannya. Shaka sendiri masih terlelap di ranjangnya setelah semalam membantu menimang Zayba sebelum tidur. Usai memberikan ASI, baby Zayba kembali lelap, Tsabi juga memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. Ngantuk sekali rasanya. Tubuhnya terasa begitu penat dan lelah. Ternyata menjadi ibu baru harus stanby siang dan malam. Sesuatu sekali. Menjelang subuh, giliran Shaka yang terbangun menemukan Zayba juga terjaga. Pria itu tak serta merta membangunkan istrinya, melihat Tsabi lelap, Shaka tak tega. Akhirnya berinisiatif memberikan ASI dengan botol yang tersedia. Memanasi lebih dulu lalu memberikan pada bayi mungilnya. "Minum sayang, sama papa dulu ya, umma bobok," ucap Shaka sembari menimang bayinya. Walaupun agak kaku, Shaka terus belajar dan akhirnya bisa
"Bang, yang punya bengkel mana ya? Saya mau ketemu," tanya seorang gadis rela menunggunya dengan wajah gelisah. "Lagi isoma, Neng. Tunggu saja, nanti biasanya juga beberapa menit lagi keluar.""Isoma apa, Bang?" tanya gadis itu lagi gagal paham. "Istirahat, sholat, makan. Tunggu saja Neng," ujarnya sembari melakukan pekerjaannya. "Sudah Bas, gantian!" seru Radit menginterupsi. "Yoi, tolong ini handle satu," ujar Abas bertukar posisi. Saatnya pria itu sholat dhuhur sejenak, lalu makan siang. Biasanya karyawan di bengkel itu akan bergantian. "Dia siapa?" tanya Radit pada gadis cantik yang tengah duduk di kursi tunggu. "Nyari Bang Shaka, aku suruh nunggu aja. Si Bos kan kalau jam segini juga lagi istirahat.""Kenapa nggak bilang aja, susul ke dalam mana tahu penting.""Nggak berani. Kamu aja sana.""Nggak berani juga. Nggak enak, udahlah nunggu si Boss keluar aja.""Saudaranya kali ya, aku kasih minum deh kasihan," ujar Radit berbaik hati. Mengambil teh botol dalam kemasan yang di
"Angel, sudah pinjam handphonenya?" tanya Shaka baru saja keluar dari kamar paman. "Eh, Bang Shaka, paman sudah tidur? Eh, iya Bang. Kamu nginap di sini kan? Aku takut tinggal di rumah ini berdua saja dengan paman." Angel mengembalikan ponsel Shaka. "Kan ada banyak art di rumah ini, Angel. Maaf, aku tidak bisa. Ini saja sudah terlalu malam, kasihan Tsabi pasti sudah menunggu.""Ayolah Bang, nginep di sini sekali ini aja. Mau ya, Bang, paman kan baru pulang dari rumah sakit. Jadi, butuh pendampingan," mohon Angel cukup ngeyel. "Maaf, Angel, istriku baru saja melahirkan, aku tidak bisa meninggalkannya, tolong ngerti ya. Pahami posisiku," tolak Shaka tetap harus pulang. Hatinya bahkan sudah tidak tenang sedari tadi. Takut Tsabi marah karena sudah menunggu terlalu lama di rumah. Sekilas Shaka jadi teringat perlakuan buruknya dulu. Dia hampir setiap malam meninggalkan Tsabi tanpa ada perasaan bersalah seperti ini. Dia bahkan terus mengulanginya lagi kesalahannya di hari-hari berikutnya.
Shaka terjaga menjelang subuh, ia baru menyadari kalau semalam tidurnya terasa hangat dan nyaman. Melihat selimut dan bantal menjadi propertinya, membuat pria itu tersenyum lega. "Pasti Tsabi, terima kasih sayang, aku tahu kamu peduli sama aku," ucap Shaka tersenyum. Walaupun istrinya tengah ngambek, tetapi perhatian juga. Dipandanginya wajah cantik istrinya dan juga baby Zayba yang masih lelap secara bergantian. Bersyukur sekali mempunyai mereka. Orang-orang yang memberikan semangat dalam hidupnya. "Maaf sayang, sudah bikin kamu kesal. Aku ke masjid dulu ya," ucap Shaka turun dari ranjang berpamitan. Sebelumnya sempat meninggalkan jejak sayang di keningnya. Tak lupa merapatkan selimut di tubuhnya. Pria itu bergegas bersih-bersih, menukar pakaiannya lalu beranjak ke masjid. Usai menunaikan jamaah, Shaka langsung turun dari masjid. Namun, seorang Ustadz menghampirinya. "Assalamu'alaikum ... Gus Shaka," ucap seorang pria bersahaja mendekatinya. "Waalaikumsalam ... iya, ada apa ust
"Mas, itu dari siapa?" tanya Tsabi menunjuk paper bag di meja. "Dari tamunya abi, katanya dari umminya," sahut Shaka lalu beranjak mengambilnya. "Isinya kayaknya pakaian sayang, kamu nggak mau coba?""Nanti Mas, udah nyaman pakai ginian kalau di rumah. Mau nggak, aku suapin," tawar perempuan itu menyodorkan sendoknya. Shaka membuka mulutnya, jadilah tanpa terasa mereka sarapan berdua. "Lagi ya, belum kenyang," ujar Tsabi menunjuk bungkus satunya. "Sini gantian aku yang suapin kamu," kata Naka bertukar peran. Giliran Shaka yang menyuapi istrinya. Pagi-pagi pasutri ini sudah manis saja. "Nanti siang mau makan apa, biar dianterin ke bengkel. Biar nggak usah jajan di luar.""Nggak usah, nanti ngerepotin. Lagian kan nggak ada yang nganterin. Kamu juga masih butuh istirahat.""Pingin main ke sana, boleh ya, nanti siang sekalian bawain kamu makan siang.""Duh ... istriku kenapa perhatian sekali sih. Ya udah terserah kamu saja. Kalau nggak jadi juga nggak pa-pa," kata Shaka santai. Meni
"Terima kasih banyak Saga, kami tidak butuh pendapatmu," jawab Tsabi menatap tajam pria di depannya. Tak ada sedikit pun rasa takut di hati Tsabi menghadapi pria di hadapannya yang sengaja ingin merendahkan suaminya. Saga tersenyum lembut, menatap tanpa jeda. "Owh ya, aku selalu menyukai cara berpikirmu. Jangan lupa hubungi aku cantik, kalau kamu berubah pikiran," ucap Saga sembari mengelus kepala Zayba dalam gendongan ibunya. Sontak saja Tsabi langsung memberi jarak, sementara Shaka menatap tajam tidak rela. Saga ini selalu kurang ajar dengan istrinya. "Ayo Mas, kita pergi dari sini," ucap Tsabi menahan tangan Shaka yang sepertinya tidak terima."Nggak usah diladeni, dia tuh nggak waras, yang ada makin buat kita kesal," kata Tsabi menenangkan Shaka. Harga dirinya dijatuhkan di depan istrinya. Beruntung Tsabi tipe wanita yang sama sekali tidak berhasrat dengan harta benda. Dia lebih menyukai Shaka yang sekarang. "Maaf ya, gegara aku hidup kamu jadi susah," kata Shaka merasa belu
"Ada apa Tsa? Kenapa teriak-teriak!" tanya Shaka mendekat. "Mas, itu, ada binatang di situ. Nggak mau," ujarnya begidik geli sendiri. Shaka langsung masuk ke kamar mandi. Ternyata sejenis katak kecil di pojokan yang bisa lompat tinggi-tinggi. Pria itu mengusirnya agar masuk ke dalam ember, lalu hendak mengeluarkan. Namun, katak itu malah lompat-lompat ke sana kemari. Tsabi yang masih di sekitar situ sampai menjerit resah, bahkan langsung lompat ke tubuh Shaka saat katak itu lompat ke arahnya. "Mas, itu di bawah kaki aku, nggak mau!" pekik Tsabi kaget. "Eh, sayang, aku susah nangkapnya kalau kamu gini," ujar Shaka tak kalah kaget. Tsabi yang kadang galak itu takut dengan katak kecil. Sekarang malah nemplok tak mau turun. "Ada apa, Bang?" tanya Mat dan rekannya sampai masuk ke dalam. Teriakan Tsabi sepertinya terdengar dari luar hingga mencuri atensi dua pegawai Shaka. Shaka menoleh, seketika dua rekan kerjanya menjadi salah tingkah melihat Ning Tsabi tengah nemplok dalam gendong