Ketika Erlangga pergi, kesunyian terasa semakin menusuk hati Venina. Dia duduk di tepi sofa dengan tubuh yang lemas, menyimpan kekecewaan dan penyesalan yang begitu dalam. Air matanya sudah habis, tapi rasa sakit di hatinya masih begitu terasa.Sementara ibunya berdiri di depannya dengan tatapan yang penuh dengan campuran emosi: kekecewaan, kemarahan, dan kepedihan.“Sekarang kamu lihat sendiri kan, Nina? Kamu hanya membuang-buang waktumu untuk mencintai pria yang hanya memanfaatkan tubuhmu,” ujar Nadia dengan suara yang penuh dengan kepedihan. Kata-katanya menusuk hati Venina seperti belati yang tajam.“Nina capek, Bu. Tolong jangan sekarang,” kata Venina dengan suara lemah, mencoba menahan rasa sakit dan keputusasaan yang menghimpitnya.&l
Setelah seminggu tidak bertemu dan menjalin kontak, Venina akhirnya kembali ke kantor. Wajahnya terlihat tegang ketika dia melangkah menuju ruangannya. Selama ini dia menghabiskan waktunya untuk menenangkan diri dan mencoba meredakan kekhawatirannya yang semakin memuncak. Erlangga, yang sejak hari itu tidak pernah berhasil menghubunginya, tampak sudah menunggu di depan mejanya. Ekspresinya tegang, memperlihatkan betapa gelisahnya pria itu selama seminggu ini. "Kita perlu bicara, Nina!" seru Erlangga dengan nada yang tegas, tanpa menyisakan ruang untuk penolakan. Namun, Venina tidak langsung menanggapi ucapan Erlangga. Dia memilih untuk melewatinya dan bergerak menuju ke tempatnya. Hatinya masih terluka oleh semua yang terjadi, dan dia belum siap untuk berbicara dengan Erlangga. “Maaf, Pak. Ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan,” kata Venina dengan sopan, mencoba menghindari pertemuan dengan Erlangga. “Kamu tidak bisa menghindar terus seperti ini, Nina!” sergah Erlang
“Hari ini katanya Rio mau datang, Nina. Lebih baik sekarang kamu mandi dan berhias yang cantik,” ujar Nadia dengan semangat yang menggelora. Matanya bersinar cerah saat menyebut nama Rio, seolah-olah menyiratkan harapan besar dalam kehadiran pria itu.Venina memandang ibunya dengan keraguan yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya. Dia tak bisa menghindari kecemasan yang merayap di dadanya. Setelah putus dengan Erlangga, dia merasa belum siap untuk membuka hatinya kepada orang lain. Tetapi, melihat betapa bahagianya ibunya, Venina tak kuasa menolak permintaannya. Meski enggan, dia akhirnya menerima saja semua yang diinginkan ibunya.“Kenapa malah bengong? Sudah sana mandi!” perintah Nadia lagi sambil menepuk pundak putrinya, mengalihkan perhatian Venina dari lamunan yang merajai pikirannya.“Iya, Bu,” jawab Venina singkat sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian, Venina keluar dari kamar mandi dan melihat beberapa gaun berjejer rapi di atas ranjangnya. Matanya memand
Rio duduk di sofa, matanya melintas dari Venina ke gadis yang berdiri di dekatnya yang terlihat sedang asyik dengan dunianya sendiri. "Aku tidak tahu kamu punya adik," ujarnya, sedikit terkejut.Venina menatap adiknya dengan tatapan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tersembunyi di balik senyumnya. "Ibu sedang mengandung Gina saat kita pindah," jelasnya dengan suara pelan, namun kata-katanya menggambarkan betapa sulitnya momen itu baginya."Aku kaget sekali saat tahu kamu dan ibumu pergi. Tidak menyangka kita akan berpisah begitu saja," ujar Rio sambil memandang wajah Venina.Venina mencoba tersenyum, mencoba mengubah suasana menjadi lebih ringan. "Aku pikir kamu senang kalau aku pindah," candanya, mencoba menyembunyikan perasaan sedihnya di balik senyumnya.
“Bagaimana? Dia semakin tampan, kan?” suara Nadia terdengar sangat antusias ketika melihat putrinya masuk ke dapur.Venina mendengus, menyadari bahwa ibunya sedang mempermainkan peranannya. "Ibu kenapa nggak keluar, sih? Kenapa malah sembunyi di sini?" balasnya, seolah tidak mendengar pertanyaan ibunya.Nadia tersenyum, mencoba menyembunyikan kegembiraannya. "Ibu nggak mau mengganggu waktu kalian. Kalau Rio tanya, bilang saja ibu lagi sibuk," jawabnya dengan santai, mencoba menutupi semangatnya yang meledak-ledak.Venina memiringkan kepalanya dengan rasa tak percaya. Baru kali ini dia melihat ibunya sebegitu bersemangatnya saat memperkenalkannya pada Rio.“Padahal tadi Nina bilang sama dia kalau Ibu sudah sangat-sangat menunggu kedatangannya Rio Pandega
Sudah hampir seminggu sejak Venina dan Rio semakin dekat. Setiap hari, Rio selalu menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput Venina ke kantor, meskipun jarak ke tempat kerja mereka berlawanan arah. Namun, Rio seolah tidak peduli dengan hal itu.“Kamu nggak capek apa antar jemput aku setiap hari?” tanya Venina, ketika sore itu pria itu datang menjemputnya seperti biasa saat jam pulang kantor.“Nggak kerasa tuh capeknya. Soalnya aku senang bisa antar dan jemput wanita secantik kamu,” jawab Rio sambil tersenyum, tatapan hangatnya menyapu wajah Venina.Venina memukul lengan Rio dengan gemas, tetapi senyum kecil tak terelakkan muncul di wajahnya. “Kenapa sih kamu nggak pernah serius?”“Loh, aku serius, kok. Kamu memang cantik, Nina,” balas Rio, senyumnya semakin lebar saat melihat wajah Venina mulai memerah.Venina merasa canggung dengan pujian Rio. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menyembunyikan ekspresinya. Tiba-tiba saja dia kembali teringat pada Erlangga. Karena
“Mau makan malam bersama, Nina?” tawar Alfian ketika mereka baru saja tiba di hotel setelah merampungkan pekerjaan.“Maaf, Pak, saya sudah ada janji makan malam,” jawab Venina akhirnya dengan ragu, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian.Wajah Alfian tampak sedikit terkejut mendengar jawaban Venina. Namun, dia segera mengendalikan ekspresinya dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Jadi, Angga ada di sini?” tanyanya dengan nada yang lebih tenang.Venina menggeleng pelan, meremas jari-jemarinya dengan gelisah. Bagaimana dia harus menjelaskan situasinya pada Alfian?“Saya pergi dengan teman, Pak,” ujarnya singkat, tidak mau menoleh ke arah Alfian.
Malam itu, Venina merenung di tengah kamar hotelnya, menyusun pikirannya yang berantakan setelah percakapan dengan Alfian. Rasa lelah yang tiba-tiba menerpanya menggugahnya untuk membatalkan rencana makan malamnya bersama Rio.Sebenarnya Venina merasa tak enak pada Rio. Dia tahu betul pria itu pasti kecewa, tapi dia tak punya kekuatan untuk menghadapinya."Maaf, Rio. Aku merasa sangat lelah malam ini. Aku hanya ingin beristirahat di sini di hotel," ujarnya dengan suara serak, mencoba menutupi kegelisahan.Rio, dengan tenangnya, menanggapi, "Istirahatlah, Nina. Dan jangan lupa untuk memesan makanan." Suaranya tenang, tapi Venina bisa merasakan kekecewaan yang terselip di baliknya.Dengan langkah termangu, Venina melemparkan ponselnya ke samping setelah panggil