Felicia panik bukan main. Ia bergegas menolak panggilan yang masuk dari Marcell.
Sebelum Marcell kembali menelepon, Felicia mengirim chat kepada Marcell untuk jangan meneleponnya dulu.
Masuk balasan dari Marcell yang menanyakan keberadaan Felicia dan meminta Felicia menunggu sebentar lagi.
“Aku selamat …” gumam Felicia ketika melihat Martin dan sekretarisnya pergi dari sana.
Felicia pikir ia akan ketahuan, lalu dimarahi, dan paling parah dipecat! Oh, tidak! Jangan sampai hal itu terjadi.
Selepas kepergian Martin dan sekretarisnya, Theo masih diam di tempat. Felicia mengamati Theo sejenak sebelum menghampiri pria itu.
“Theo!” panggil Felicia.
Theo sampai terkesiap. “Bu Feli?”
Felicia mendekat pada Theo lalu bicara dengan suara pelan, “Kamu … siapanya Pak Martin?”
Bola mata Theo membesar. “A-apa Bu Feli melihat saya tadi sama …”
“
Tak ingin membuat Marcell terlalu lama menunggu, Felicia pun bergegas pergi dari sana. Ia juga khawatir ketahuan oleh mereka.Bisa gawat kalau sampai ketahuan dua kali, apa nantinya ia tidak dipecat?!Felicia batal pergi ke toilet, ia kembali ke mejanya dan duduk berhadapan dengan Marcell.“Maaf kalau lama,” kata Felicia.“Nggak lama kok. Tenang aja.” Marcell tersenyum sekilas.Felicia turut tersenyum lalu melanjutkan makannya.Sambil makan, Felicia teringat dengan kejadian tadi saat ia melihat Theo. Lalu, pandangan Felicia tertuju ke Marcell. Apa mungkin Marcell tahu sesuatu? Tak ada salahnya jika ia bertanya ‘kan?“Marcell, saya mau tanya sesuatu.”Marcell meletakkan alat makannya, fokus menatap Felicia. “Tanya aja.”“Kamu tahu gosip kalau di divisi kita, ada anak magang yang katanya anaknya Pak Martin?”Kening Marcell berkerut. “Saya nggak
Terkejut? Tentu saja! Bahkan, pikiran Felicia terasa kosong untuk sesaat. Felicia sampai tak bisa berpikir.‘Apakah yang aku dengar itu benar?’ batin Felicia.Felicia gemetar memikirkan beberapa hal. Rasanya panik sekali! Dengan terburu-buru Felicia mencengkeram kuat berkas di tangan lalu berlari ke lift.Tiba di dalam lift, bisa Felicia rasakan dadanya berdebar begitu cepat.“Ini gila!” seru Felicia, untungnya sedang tak ada orang lain di lift.Felicia memutuskan untuk kembali ke lantai tempat divisinya berada. Sambil berjalan, Felicia berdoa semoga tadi aksinya yang sedang menguping dan mengintip tak ketahuan.Felicia buru-buru duduk ketika sampai di kursinya.“Kenapa kamu balik lagi?” tanya Diana.“Uhm … Pak Martin lagi ada tamu.”Diana tak bertanya lagi, ia kembali terlihat fokus pada pekerjaannya. Namun, tidak dengan Felicia. Bagaimana bisa Felicia fokus di saat
Suara langkah kaki seseorang yang terdengar membuat Felicia bergegas menyingkirkan tangan Theo. Felicia juga menjauh dari Theo.Muncul sosok Marcell. Ia menatap Felicia dan Theo bergantian lalu mendekat pada Felicia.“Saya pikir kamu di sini sendirian, Fel. Jadi saya kembali dengan cepat,” ucap Marcell.Felicia tersenyum canggung. “Enggak kok, Pak. Ada Theo nih.”Felicia berusaha bersikap santai, ia melirik Theo sekilas. Tapi, Theo tak tersenyum sepertinya, raut wajah Theo menunjukkan keseriusan, dan Theo pun terang-terangan memandangnya.“Iya, ternyata ada Theo.” Marcell berkata sambil melirik Theo.Bingung hendak merespon bagaimana, Felicia hanya mengangguk.Kini Felicia duduk di tempatnya. Namun, ia merasa tak nyaman. Sebab, Marcell malah duduk di sebelahnya, dan Theo masih memperhatikannya dari tempat duduk Theo.“Katanya kamu mau traktir saya atau masak sesuatu buat saya. Jadi ngga
Menyadari kalau Theo mengikutinya, Felicia pun menghentikan langkah lalu berbalik menghadap Theo.“Jangan ikuti saya atau saya marah!” ancam Felicia.Ternyata berhasil, Theo langsung berhenti melangkah. Tapi, Theo menatap Felicia dengan sorot mata yang terlihat sedih. Dan, Felicia menyadari itu.Jangan goyah!Felicia berlanjut melangkah ke toilet. Sesampainya di toilet, Felicia terdiam. Apakah yang tadi itu tidak masalah? Ia baru saja mengancam anak bosnya!Namun, Felicia yakin Theo bukanlah anak pengadu. Tak mungkin Theo mengadu kepada Papanya tentang perlakuan Felicia ‘kan?Kembali ke kursinya, Felicia bersiap mengobrol lagi dengan teman-temannya. Namun, sosok Theo lewat. Ah, sial! Felicia langsung menunduk dan pura-pura sibuk sambil mengaduk minumannya.“Eh, ada Theo!” seru Diana. “Theo! Sini!”Felicia harap Theo tak kemari. Sayangnya, ia bisa mendengar suara langkah kaki yang mendek
Felicia tak bisa berkata-kata. Pengakuan Theo yang terlalu mendadak dan tak terduga tentu saja membuatnya terkejut.“Bagaimana bisa kamu … ke saya …” Felicia tak melanjutkan ucapannya.Apa benar perkataan Theo tadi? Pria itu menyukainya?“Apa kamu nggak peka?!” seru Theo, terlihata agak kesal. “Apa nggak tahu kalau perhatian yang selama ini saya tunjukkan itu bukti kalau saya suka sama kamu?”“Saya pikir kamu cuma tertarik sama tubuh saya,” ucap Felicia dengan suara pelan.Theo terlihat kaget dengan ucapan Felicia, setelah itu ia menghela napas.Theo mendekat pada Felicia, memeluk Felicia dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Felicia.Entah apa yang Theo lakukan, cukup lama Theo tidak mengangkat kepalanya, dan tiba-tiba Felicia merasakan pundaknya basah serta mendengar suara isak tangis.Astaga, jangan bilang Theo menangis?!Duh, kenapa ini? Apa gara-gara
Sekitar delapan orang, termasuk anak magang, turut serta dalam liburan ke Bali. Selama dalam perjalanan, Felicia terus menatap Theo, tapi tak sekalipun Theo balas menatapnya.Sore ini matahari bersinar dengan indah. Sunset yang hangat menyelimuti pantai.Sekarang mereka semua sudah tiba di pantai dan bersiap untuk bermain. Felicia diam mengamati sambil menikmati angin laut yang berhembus dan menerbangkan helaian rambut panjangnya.“Kamu nggak bawa topi, Fel?”Suara berat terdengar. Tapi, bukan Theo, itu suara Marcell. Ya, manajer mereka ikut ketika mendengar kabar para karyawan dan anak magang akan liburan.“Bawa sih, tapi saya taruh di sana,” tunjuk Felicia ke sebuah meja.Posisi Felicia sedang berdiri di dekat bibir pantai. Ia ingin mencelupkan kakinya ke air pantai, tapi mungkin nanti. Sekarang masih ingin menikmati pemandangan.Felicia menatap Marcell yang berjalan menjauh darinya. Ia pikir Marcell hendak k
Felicia gugup untuk sesaat. Angin malam yang berhembus di pantai seketika menyadarkannya.Tidak langsung menjawab, Felicia berpikir sambil menunduk. Ditatapnya pasir pantai yang terhampar di bawah alas kaki.Jantung Felicia berdegup kencang, masih bingung bagaimana harus bicara. Terutama memikirkan kata-kata yang disusun untuk meminta maaf kepada Theo.Sepertinya kalau to the point alias langsung pada intinya tak apa ‘kan?Felicia mendongak, menatap dengan berani tepat ke mata Theo yang sedetikpun belum berpaling darinya.“Theo, saya minta maaf.” Felicia bicara dengan suara yang lembut, tapi ada nada penyesalan di sana.Theo memasang wajah datar, ia mengangkat alisnya tanpa berkata apa-apa, menunggu Felicia melanjutkan perkataannya.“Maaf kalau kamu sakit hati karena saya nggak bisa memberi kepastian setelah kamu mengungkapkan perasaan ke saya.”Felicia menunduk lagi, memainkan pasir pantai dengan
Permainan berlanjut, dan Felicia merasa lega karena Theo tak lagi menatapnya.Namun, hati Felicia terasa berat karena kini melihat Sophia dan Theo semakin dekat. Felicia tak tahu ada apa dengan dirinya?Sophia tertawa lalu Theo tersenyum, para anak magang asyik mengobrol. Hati Felicia terusik melihat interaksi Theo dan Sophia. Mengapa Theo mau tersenyum saat bersama Sophia, tapi tidak saat bersamanya?‘Kenapa aku merasa begini?’ pikir Felicia.Suasana malam di villa terasa lebih hangat dari biasanya, meski angin pantai sesekali berhembus masuk melalui jendela yang terbuka. Namun, Felicia tidak merasa gembira.Di saat yang lain tertawa dan mengobrol, perhatian Felicia terus terfokus pada Theo dan Sophia.Sophia semakin dekat dengan Theo. Felicia memperhatikan bagaimana Sophia tertawa renyah, meletakkan tangan di lengan Theo dengan cara yang terlalu akrab untuk sekadar teman.Felicia merasa tidak nyaman, namun tak mampu mele