Theo cepat-cepat memberikan tissue kepada Felicia sambil tertawa kecil.
“Nih,” kata Theo dengan senyum hangatnya.
Felicia membersihkan mulutnya sendiri lalu berujar, “Maaf, The. Kamu sih bikin saya kaget!"
Theo malah kembali tertawa. Seolah terhibur dengan reaksi Felicia.
Felicia yang merasa bersalah pun menyodorkan tissue kepada Theo. “Nih, bersihkan muka kamu.”
Theo menerim tissue itu. Namun, sebelum menggunakannya, Theo tersenyum lalu mengambil sebutir nasi goreng di wajahnya dan memakannya.
Sontak, Felicia melotot melihatnya. “Theo, jorok! Itu ‘kan bekasnya saya!”
“Enak kok,” kata Theo.
Felicia hanya bisa melongo. Sebelum Theo memakan lagi bekas nasi di wajah, Felicia beranjak dari duduk lalu membersihkan wajah Theo dengan tissue.
“Nggak usah aneh-aneh,” ucap Felicia.
Theo hanya tersenyum. Dan, tiba-tiba menahan tangan Felicia agar tak men
Felicia terus mengusap punggung Theo dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan. Dia merangkul Theo lebih erat, membiarkan pria itu menangis sepuasnya.Beberapa menit kemudian, tangis Theo akhirnya mereda. Theo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Feli. Baju kamu jadi basah, saya nggak seharusnya nangis begini,” ucap Theo dengan suara serak khas seseorang habis menangis. Dia lantas menunduk, terlihat malu.Felicia menggeleng, menatap Theo dengan penuh pengertian. “Nggak apa-apa kok.”Theo tersenyum tipis, merasa lebih lega. Dia terdiam cukup lama, tatapannya lurus ke depan, seperti sedang mengenang kejadian di masa lalu.“Mama saya orangnya baik banget. Saking baiknya, Mama masih mau bertahan walaupun ada cewek ular merusak rumah tangganya,” ucap Theo, bercerita tiba-tiba dengan raut wajah yang berubah marah.“Apa maksudnya Mama tirimu?” tebak Felicia.“Ya,” angguk Theo. “Padahal Mama saya jauh lebih cantik.”Theo mengeluarkan dompet dari sakunya dan membuka
Felicia tertegun, pertanyaan Theo membuatnya bingung. Ia bisa merasakan intensitas emosi Theo yang berusaha menahan kecewa. Dalam situasi seperti ini, ia merasa tak berdaya, tak tahu harus menjawab apa."Theo, saya..." Felicia menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya butuh waktu."Theo menatap Felicia dengan mata penuh harapan yang mulai memudar."Berapa lama lagi, Bu Feli? Saya butuh kepastian. Saya udah berusaha sebisa saya, tapi rasanya seperti berjalan di tempat."Felicia mengalihkan pandangannya, mendadak ada perasaan bersalah yang menghinggapinya. Ada banyak alasan yang membuatnya tak bisa menerima perasaan Theo.“Kamu pasti tahu sendiri kalau kita nggak pantas bersama,” ucap Felicia, dengan terpaksa.“Karena apa? Jangan bilang alasannya masih karena umur saya dan karena saya cuma anak magang di sini?” tanya Theo dengan nada bicara yang mulai meninggi.Felicia tak menjawab. Ia
Tiba-tiba Felicia merasa lemas setelah mendengar obrolan Theo dan temannya. Masih dengan diam-diam, Felicia pergi dari sana dan kembali ke mejanya.Diana dan Fani, teman Felicia yang ada di sana, menyadari perubahan ekspresi Felicia.“Kenapa, Fel?” tanya Diana.Felicia tak langsung menjawab. Ia merasa dadanya sesak mengingat kata-kata Theo. Namun, ada juga perasaan bersalah yang kuat menyeruak di dalam dirinya.Felicia memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, cuma agak capek.”“Kalau capek, bisa pulang aja, Fel. Mungkin kamu perlu istirahat,” kata Fani.Felicia menggeleng. “Nggak kok. Masih ingin nongkrong sama kalian.”Felicia mendengarkan obrolan Fani dan Diana. Namun, pikirannya berkecamuk. Gara-gara apa lagi kalau bukan Theo?Felicia masih memikirkan kata-kata Theo tadi, dan perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar ingin kehilangan Theo? Apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap ber
Felicia mempercepat langkah kakinya, berusaha untuk tidak kehilangan jejak Theo yang berbelok ke lorong sepi. Hatinya berdebar kencang, memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Theo tiba-tiba berhenti melangkah dan mengeluarkan ponselnya. Felicia bersembunyi di balik pilar, mendengarkan percakapan Theo yang sepertinya baru saja ditelepon oleh kenalannya.“Halo, Evan,” sapa Theo, menempelkan ponsel ke telinga.Felicia tidak tahu mereka membicarakan apa? Tapi, tiba-tiba Theo berseru dengan nada kaget.“Apa? Cari cewek cantik di club malam?!” pekik Theo.Felicia melotot mendengarnya. Ia masih bersembunyi sambil menguping pembicaraan Theo.“Nanti malam atau kapan?” Theo masih asyik berbincang di telepon tanpa menyadari kehadiran Felicia.Sedangkan Felicia mendadak gelisah di tempat. Apa Theo benar-benar sudah move on darinya dan hendak mencari cewek lain, bahkan ke club malam?!Felicia ha
Ciuman tadi cukup ganas, membuat pipi Felicia memanas.“Kamu pakai baju apa ini, hm?” bisik Theo dengan sensual, lantas menggigit telinga Felicia.Pakaian yang Felicia kenakan terlihat seksi di mata Theo.Felicia terkesiap. Tiba-tiba Theo menghimpit tubuhnya ke tembok. Ibu jari Theo mengelus bibir Felicia, kemudian turun ke bawah, mengelus tubuh Felicia dan menatap tajam apa yang Felicia kenakan.Dan, Felicia pun menyadari kalau tatapan Theo berubah, tampak seperti ada bara api di mata Theo yang membuat tubuh Felicia memanas karena ditatap seperti itu.Theo masih mengelus tubuh Felicia. “Kamu nggak boleh pakai baju begini lagi kalau keluar, apalagi dilihat cowok lain.”Felicia menggigit bibir, tak menjawab. Sebab, elusan tangan Theo terasa begitu sensual, dan lelaki itu juga masih berbisik di telinganya seperti sengaja menggodanya.Tak mendapati respon dari Felicia, tangan Theo yang hinggap di pinggul Felicia m
Theo masih memeluk Felicia dari belakang, kini kedua kakinya mengapit tubuh Felicia, menguncinya agar tak bergerak menjauh.Namun, itu justru membuat Felicia tak nyaman. Ia semakin bisa merasakan ereksi dari burung tempur Theo.“The, uhm … agak geser menjauh bisa nggak?” tanya Felicia, terdengar gugup. Ini karena burung tempur Theo terus menusuk pantatnya!“Nggak bisa,” tolak Theo, beralasan, “Sofanya sempit.”“A-aku nggak nyaman …” ungkap Felicia, jujur.Theo yang sedang asyik menciumi leher belakang Felicia langsung menghentikan aksinya.“Kenapa?” tanya Theo.“Kamu terlalu dekat,” jawab Felicia.“Kalau mau aku nggak terlalu dekat, kita pindah ke kasur yang lebih luas. Tapi, kamu menginap di sini, ya?” pinta Theo.“Oke,” angguk Felicia agar cepat.Setelah ini Felicia perlu memikirkan alasan tidak tidur di
Di saat Felicia masih salah tingkah, Theo malah semakin menjadi. Ia kembali menggoda Felicia, kali ini dengan mengecup bibir Felicia.Cup!Wajah Felicia semakin memerah akibat kecupan itu, wajahnya terasa panas. Ia pun memukul dada Theo.“Iseng banget kamu!” seru Felicia, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.Theo terkekeh. “Kita pernah melakukan yang lebih dari itu loh.”“Nggak usah diingatkan!”Felicia masih malu. Tapi, Theo sepertinya tak punya malu, malah sejak tadi lebih banyak tertawa senang seolah terhibur dengan tingkah Felicia.“Nggak usah malu-malu begitu, aku jadi gemas tahu!” kata Theo.Felicia terbelalak. “Ka-kamu gemas sama aku? Aku nggak menggemaskan sama sekali! Kamu yang menggemaskan!”“Aku?” tunjuk Theo ke dirinya sendiri. “Nggak tuh. Aku nggak menggemaskan, tapi kamu.”Mereka nyaris berdebat hanya gara-gara itu,
“Sophia sepertinya tertarik sama kamu, The,” ucap Felicia.Mereka sedang pulang bersama sore ini. Theo yang awalnya fokus menyetir mobil sampai menoleh singkat ke arah Felicia akibat perkataan sang kekasih.“Nggak ah,” sangkal Theo.“Insting sesama perempuan nggak pernah salah. Aku yakin Sophia tertarik sama kamu, atau malah suka,” kata Felicia.Theo tak langsung menyahut. Ia terdiam selama beberapa menit, memang ia menyadarinya kalau Sophia seperti tertarik dengannya, sejak awal masuk kuliah, tapi ia berusaha mengabaikannya.“Nggak penting mau dia tertarik sama aku atau enggak. Yang terpenting, aku sukanya sama kamu.” Theo tersenyum, menoleh sesaat ke Felicia.Mendengar ucapan Theo membuat senyum Felicia turut merekah. Ia sempat agak risau, tapi sekarang merasa lebih baik setelah mendengar ucapan Theo.“Eh, The. Mampir ke mall sebentar yuk,” ajak Felicia.Theo tampak