PART 35"Hu hu hu jangan laporkan anak saya ke Polisi!" lirih Ibu seraya menangis. Aku dan Mas Firman yang baru saja sampai, bingung melihat kejadian ini.Walau bingung, tapi faham apa maksunya. Apalagi kalau bukan hutang piutang Mas Andra. Hidup penuh dengan hutang. Miris sekali melihatnya.Aku lihat telpon sudah di matikan. Nggak tahu siapa yang mematikan. Bisa jadi Mas Andra. Karena dia tak bisa mengelak atau meluruskan.Aku dan Mas Firman sudah berada di ruang tamu milik Mertua. Ibu masih terus menangis dengan tangan menekan dada. Seolah sedang berada dalam zona menyedihkan.Bapak terlihat diam. Nampaknya tak ada niat untuk menenangkan istrinya yang lagi menangis. Pun Mas Firman, hanya melongo di tempat duduknya.Sedangkan Bu Tely, aku lihat raut wajahnya masih terlihat murka. Berkali-kali membenahi gelungan rambutnya."Kalau nggak mau aku laporkan ke Polisi, segera bayar hutang anakmu! Jangan hanya bisa menangis. Karena air matamu, tak bisa melunasi hutang Andra!" sungut Bu Tely.
Part 36POV AndraTit.Komunikasi lewat telpon, langsung aku matikan. Niat hati menelpon Ibu, karena ingin mendapatkan saran, ternyata aku nelpon di waktu yang tak tepat.Tak tepat? Ya, karena saat aku menelpon ada Bu Tely. Perempuan paruh baya yang terkenal dengan toko Emas berjalan.Aku memang meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu Tely. Itu pun atas saran dari Niken. Dan sekarang Niken malah tak mau tahu, dan terus menyalahkanku.Uang meminjam sepuluh juta itu, sudah habis entah kemana. Yang jelas untuk foya-foya nggak jelas. Bodoh! Ya, aku memang bodoh. Bodoh karena cinta.Niken terus menyalahkanku, karena aku tak becus mencari uang dan melunasi semua hutang-hutang itu. Padahal dia juga tahu, seberapa gajiku? Bagaimana aku bisa melunasi semua hutang-hutang itu, karena setiap uang yang aku dapat, selalu diminta penuh oleh Niken. Bahkan untuk beli bensin saja, aku seolah mengemis. Merayunya habis-habisan.Apalagi untuk beli rokok, uang makan dari kantor itulah, yang ta
PART 37"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Bapak dengan sorot mata memandang Mas Firman. Aku lihat Mas Firman menghela napas sejenak. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Kita temui Mas Andra, jika memang bisa di temui, dari nomor barunya tadi," jawab Mas Firman. Bapak terlihat mengerutkan kening. Kemudian mengangkat satu alisnya. Mengangguk pelan.Kalau aku pribadi, Mas Andra jangan di temui dulu, karena suasana masih memanas."Kenapa? Kenapa kamu ingin menemui Andra?" tanya balik Bapak. Pertanyaan yang sama denganku. Lagi, aku masih terus memilih diam. Menjadi pendengar setia. Dan menilai sendiri setiap ucapan mereka."Kasihan Mas Andra, Pak. Bagaimanapun, dia kakakku, dan Firman ingin tahu, bagaimana keadaannya, terutama keadaan Zaki," jawab Mas Firman.Aku hanya bisa meneguk ludah mendengarnya. Pun Bapak aku lihat."Bapak sebenarnya juga ingin sekali bertemu dengan Andra. Tapi, biarkan saja dulu. Kalau dia butuh kita, dia akan menemui kita, tanpa harus kita cari tahu di mana di
Part 38"Siapa?" tanyaku, tanpa keluar suara. Hanya gerakan bibir saja. Yang penting Mas Firman faham."Uti," jawab Mas Firman. Aku mengulas senyum bahagia tentunya.Uti adalah sebutan Nenek untuk Ibuku. Membahasakan Dika. Kalau sebutan Nenek, itu untuk Ibu kandung Mas Firman. Biar ada bedanya.Jadi kalau Dika manggil Nenek, berarti ibu dari ayahnya, kalau Dika manggil Uti, berarti ibu dari mamanya.Aku segera menerima gawai yang diulurkan Mas Firman. Yang mana Mas Firman sudah mengangkat telpon itu terlebih dahulu."Haloo, Uti? Apa kabar?" tanyaku memulai percakapan. Sudah terbiasa memanggil Uti. "Alhamdulillah, Uti sehat. Dika gimana kabarnya? Uti kangen," jawab dan tanya Uti."Dika juga alhamdulillah sehat, Uti," jawabku. "Dika, Uti telpon ini," ucapku seraya menoleh ke arah Dika. Dika yang matanya sudah liyer-liyer mau tidur, akhirnya mata itu bening lagi."Uti, Dika kangen," balas Dika. Nada suaranya terdengar sangat semangat.Akhirnya, seperti biasa, gawai di kuasai oleh Dika.
Part 39"Heh, Eka! Gimana mau tahu nggak? Malah melongo ...." ucap Mak Giyem lagi, seraya menepuk lenganku lagi."Eh, iya, anu ...." aku malah gelagapan di buatnya.Bukannya apa, aku belum menjawab pertanyaan Mak Giyem, karena masih mikir, Mak Giyem dapat Info tentang Mas Andra dan Mbak Niken dari mana? Takutnya salah info lagi.Ok. Kali ini akan aku tanggap saja ini Mak Giyem. Siapa tahu memang beneran, mendapatkan info tentang mereka. Dan bisa tahu di mana keberadaan mereka. Setidaknya sedikit mengurangi rasa penasaran."Kamu itu kenapa?" tanya Mak Giyem, seraya gantian melongo melihatku. Kali ini aku garuk-garuk kepala."Nggak, Mak. Masih mencerna saja," balasku. Mak Giyem nampak mencebik. Seolah menahan tawa. Aku yang bingung dengan ekspresinya."Halaaah .... apa yang kamu cerna? Tenang saja, info yang aku dapat ini paten dan sesuai," balas Mak Giyem balik. Aku semakin nyengir. Yah, semoga saja memang info yang dia dapatkan real."Mencerna, dari mana Mak Giyem dapat info tentang M
Part 40"Mak, serius nggak sih, kasih kabarnya?" tanyaku memastikan. Hati ini sedikit jengkel melihat tingkah Mak Giyem, yang tertawa lepas diatas kebingunganku."Hua ha ha ha," Mak Giyem semakin melepas tawa. Seolah dia puaskan sepuas-puasnya. Aku makin puas merasakan bingungnya.Aku semakin bingung dan melongo di buatnya. Nampaknya Mak Giyem menikmati suasana ini. Tertawa puas melihat kebingunganku.Kalau umurkan kami seumuran, ingin aku sentak rasanya. Tapi, aku masih sadar, kalau umur kami jauh berbeda."Mak, serius nggak sih?" tanyaku. Mak Giyem akhirnya meredakan tawanya."Maaf, maaf," ucap Mak Giyem, hampir saja tersedak, karena saking renyahnya tertawa.Maaf? Hah, jadi cuma bercandaan? Awas saja kalau cuma bualan."Jadi hanya omong kosong, ya, Mak, yang Mak katakan itu? Nggak bener?" tanyaku. Mak Giyem kemudian menggeleng. Setelah tawanya benar-benar reda."Nggak, Eka! Aku serius. Apa yang aku sampaikan tadi benar adanya. Dan memang seperti itulah kondisi iparmu. Kasihan! Aku
PART 41POV NIKEN"Hueekkkk ...."Pagi ini aku muntah lagi. Semenjak tinggal di rumah kontrakan yang mengenaskan ini, aku sering mual dan muntah. Aku pikir aku hamil. Tapi, sempat aku testpack, hasilnya aku negatif.Banyak sekali yang bilang aku kurus sekarang. Itu membuat hati ini sesak. Walau aku sendiri sadar, memang badanku makin kurus. Tapi, tak terima saja jika ada orang yang bilang aku kurus.Setelah muntah aku berkumur. Mengusap bibirku. Menarik handuk untuk membersihkan mulut. Sesak sangat sesak sekali. Badan seketika merasa lemas. Ingin segera bebaring. Karena tak kuat menyangga tubuh.Mas Andra sudah pergi kerja. Ya, jadi tukang muat pasir sekarang. Pekerjaan yang sama sekali tidak membuatku bangga. Gimana aku akan bangga? Kalau Eka tahu, pasti dia akan mengejekku. Hidup yang sangat memprihatinkan. Jangan sampai teman-teman sosialitaku tahu tentang keadaanku sebenarnya. Mau di taruh mana muka ini?Beruntung sekali nasib Eka. Kali ini, aku benar-benar iri melihat hidupnya.
PART 42Dengan langkah lemas dan dibantu Mas Andra aku melangkah ke ruang tamu. Kemudian duduk di atas tikar. Kepala masih terasa berat. Mata pun enggan sebenarnya melihat wajah hitam Wito. Aku lihat Wito sedang meneguk air meneral. Tak ada kopi yang tersuguhkan. Ya Allah ... menyuguhkan kopi saja, diri ini tak mampu. Ada apa denganku? Semoga tak ada penyakit lain yang bersarang di badan ini. Selain liver yang sudah aku ketehui."To, sampaikan saja, apa yang ini kamu sampaikan?!" ucap Mas Andra. Wito menatapku, seolah sedang menilai. Tapi, lama-lama aku risih."Kenapa?" tanyaku. Karena tak enak sekali, di pandang seperti itu.Wito terlihat mengusap wajah pelan. Kemudian menghela napas sejenakAku semakin bingung dan penasaram juga tentunya. Ada apa sebenarnya? Apa yang dia lihat atau apa yang dia nilai tentang aku? Entahlah."Mbak Niken, penyakitmu itu bukan hanya sekedar sakit fisik," ucap Wito memulai berbicara. Seketika aku mengerutkan kening. Kemudian memandang ke arah Mas Andra