Farhan langsung menunduk, menciut ditatap sedemikian lekat. Begitupun Hana, dia bersembunyi di balik punggung Kemal dan memegangi lengan kemeja suaminya."Apa-apaan ini?" tanya Dewiq sambil bersedekap. "Sudah tahu mau ada acara. Malah bikin ulah!" tegasnya menatap tajam kedua anak kembarnya."Kalau kamu, ibu nggak kaget. Tapi, jangan bawa-bawa Aa," sambung Dewiq. Kali ini dia sampai menowel kepala Farhan.Dewiq lalu beralih pandang pada Kemal. Dengan nada lembut dia berkata, "Aa nggak apa?" Kemal hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol. Dia masih segan berpendapat bila dengan ibu mertuanya.Farhan seketika menengadah, siapa anak siapa menantu. Sungguh perlakuan yang sangat kontras."Lah, Nyak. Anaknya yang ini, bukan onoh. Ane malah kagak ditanya," sungut Farhan menunjuk diri sendiri. "Lagian, Bang Kem juga--" Dia menjeda ucapannya saat Ahmad menatap tanpa berkedip."Terooooooosssss!" sambar Dewiq. "Jawab mulu!" omel Bu dokter, seketika membuat Farhan diam."Kamu juga, Na! ... ny
Suasana malam di pelataran Tazkiya jelang acara besok, didominasi oleh hilir mudik kendaraan. Aula masjid sudah tersekat-sekat menjadi beberapa bagian untuk space istirahat tamu transit. Paviliun pun dipenuhi oleh para undangan Ahmad yang datang dari luar kota.Di dalam hunian, keriuhan didominasi para wanita dari keluarganya. Farhan akhirnya memilih menepi ke balkon atas, meniti anak tangga yang melingkar dengan perasaan hampa. Dia merasa kesepian di keramaian.Sang dokter merebahkan diri selonjoran di kursi malas, kedua lengannya menyanggah kepala sembari memandangi bulan yang menyembul malu-malu dibalik gumpalan awan tipis.Ujung helai rambutnya tergoyang samar dibelai angin malam, tapi tak jua membuat hatinya ikut tersapu kesejukan.Entah dirinya ingin memaknai apa, dalam pandangan yang terlempar ke jumantara. Satu tangannya lalu meraih gadget dari saku celana. Dia mulai membuka galery yang terkunci.Sembari rebahan, jarinya menggeser-geser dua slide yang saling berdekatan. Seny
"Memaksa itu salah satu ciri lelaki patriarki, Han. Jangan sampai kaum hawa menilai kamu begitu," kata Reezi. Dia ikut bangun dan berdiri di hadapan Farhan dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Farhan tersenyum miring. "Tadi itu ajakan, Zii." Dia memajukan posisi tubuhnya sembari berbisik, "Tapi bukan sekadar ajakan," imbuhnya sembari menarik badannya kembali menegak.Farhan melihat ke arah Mehru yang masih menunduk. Dia lalu berbalik badan berdiri di hadapan Mehru dan menyodorkan tangan kanannya, menyilakan Mehru jalan lebih dulu.Gadis cantik yang mengenakan setelan kebaya warna Navy, senada seragam keluarga Kemal itu mendongak.Iris matanya langsung terkunci saat tatapannya bertemu dengan Farhan. Deg!"Silakan, El." Mehru mengangguk. Dia sempat menoleh ke arah Habrizi dan mengulas senyum tipis seraya menundukkan kepalanya, sebagai isyarat pamit lebih dulu.Meski tanpa obrolan, keduanya berusaha berjalan sejajar. Kain batik berwarna abu-abu yang melilit beskap Farhan t
Gadis cantik ini meletakkan garpunya di sisi pinggan dan langsung bangun ketika Aiswa menghampiri. Aiswa masih mengulas senyum saat menarik Habrizi ke sisinya. "Kak, yang sopan dong," omelnya sembari menepuk pundak Reezi agar menunduk.Jika bukan karena rasa sayang, mungkin Habrizi enggan menuruti wanita ini. Ibunya saja kadang menyerah bila memintanya berkenalan dengan seorang gadis.Tapi, Aiswa memiliki tempat khusus di hatinya. Reezi tak bisa membantah jika wanita salihah ini sudah menurunkan titah. Dokter muda itu sedikit membungkuk sembari menyapa sang gadis yang sudah berdiri di samping Farhan. "Hai ... aku Reezi," ujarnya dengan nada malas.Sang gadis pun menunduk, menangkupkan tangannya di depan dada. "Virlyana," balasnya dengan suara lembut. 'Ehm, bener. Ini gadis yang manggil Farhan tadi.'Hanya beberapa detik saling sapa, Aiswa pun menyilakan Virlyana untuk melanjutkan makan lalu dia menggiring Reezi pada Mehru. Gadis itu sedang haha hihi dengan Mifyaz.Si bocah es te em
"Lah apanya?" tanya Ahmad sembari menoleh ke arah putranya yang mendekat.Farhan menarik kursi di sebelah sang ayah lalu duduk dengan wajah kesal. Dia menyandarkan punggungnya sambil menggembungkan pipi."Padahal enyak dulu nikah pas co-as. Mana langsung hamidun pula. Kenapa ane nggak boleh, Beh?" ketus Farhan mendelik ke arah Ahmad yang juga sedang menatapnya."Tanya sama enyakmu langsung sana," imbuhnya datar sembari mengendikkan bahu."Kalau ada jodoh yang baik, bagusnya segera," sambung Mahendra, dia ikut duduk menegakkan tubuhnya. "Lagipula Farhan sudah siap," katanya lagi diangguki sepuh lainnya."Ada, Mas. Tapi menurut pandanganku," ucap Ahmad sambil melirik Farhan yang cemberut di sisinya.Dokter muda itu lalu bangun dari duduknya dan keluar ruangan. Entah kemana tujuannya tapi dia ingin mendinginkan suasana hati.Beberapa keluarga Tazkiya dan Kusuma terlihat mulai meninggalkan gedung. Pun dengan Geisha yang barusan mengambil Gauri dari Mahendra. Hanya tersisa personil inti sa
Farhan memaksakan diri bangkit meski meringis menahan rasa tersengat di sebujur kakinya.Langkah dia tertatih saat membuka pintu ruang cuci. Farhan masih menyeret kakinya ketika dia mencari keberadaan mereka.Merasa lambat bergerak, dia mulai panik takut terlambat dan memilih berteriak. "NONOOOOOOO!"Pandangan semua orang yang masih berkumpul di teras juga ruang tengah tertuju padanya. Mereka keheranan, sekaligus mengira Farhan sedang drama.Farhan berdiri di ambang pintu dapur, celingukan mencari kembarannya."NONOOOOO!" serunya lagi, mulai dilanda cemas berlebihan."Hana di bawah, Par, ada apa?" kata Mahendra yang muncul dari bawah tangga belakang, satu-satunya yang menyahuti teriakannya. Dia menunjuk ke arah bale bambu di bawah pohon mangga.Farhan berjalan cepat meski sedikit terpincang-pincang. "Om, bahaya Om. Nono bakal diracuni!" Mahendra yang melihat kepanikan di wajah Farhan, buru-buru balik badan. Dia ikut berseru di undakan ketika Farhan menyenggolnya saat menuruni tangga
Ini adalah malam pertama bagi Hana tinggal di kediaman Kemal. Arsha masih lelap sehingga dia bisa berlama-lama di kamar mandi memanjakan tubuhnya yang penat setelah acara seharian ini.Ketika keluar dari kamar mandi, dia tidak sadar jika salah kostum. Hana memakai setelan daster di atas lutut tanpa lengan, berjalan sembari mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Hana berdiri menghadap buffet custom, yang merangkap sebagai meja kerja dan meja rias. Dia terus menggosok rambut panjangnya sambil mencari hairdryer, masih membelakangi suaminya.Putra Khadijah baru saja selesai mengganti seprei, tapi urung membawa linen kotor itu keluar kamar setelah melihat Hana. Matanya tertuju menyusuri setiap jengkal tubuh istrinya dari bawah sampai ke atas.Senyumnya pun muncul. Selama beberapa hari tinggal di kediaman Tazkiya, meski ada dalam satu ruangan, Hana tidak pernah seperti ini.Ibun selalu memakai daster panjang juga kerudung instan sebatas dada, bahkan ketika tidur. Kemal tidak melarang
"Bukan siapa?" tanya Aiswa. Dia mendorong pintu ruang baca hingga terbuka lebar. Aiswa sedang mencari Ahmad, berniat pamit pulang ke Cirebon. Tapi, dia malah mendengar suara tinggi Dewiq yang berasal dari ruang baca. Kebetulan, pintu bilik itu tidak tertutup rapat sehingga Aiswa tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ahmad mengajaknya masuk tapi Aiswa enggan. Inginnya tidak ikut campur terlalu dalam. Tapi, apabila kakaknya ini mengulang kesalahan yang sama, dia takkan tinggal diam. "Bukan siapa-siapa," kata Ahmad sambil menarik lengan adiknya masuk. Aiswa menghela napas. Dia merasa harus menyampaikan pendapatnya sebelum pergi. Mungkin bisa menjadi pertimbangan mereka. Pandangan Aiswa masih menatap lekat Ahmad. Dia ingat bagaimana sikap sang kakak dulu yang memilih diam hingga dirinya nelangsa menjalani pernikahan. "Kakak masih ingat 'kan, apa yang menimpaku dulu karena sikap kakak?" Deg! Dewiq langsung terlihat gelisah, begitupun dengan Ahmad. Sang yai memilih duduk dan me