Share

Iblis Suci Pemilik Pedang Surga
Iblis Suci Pemilik Pedang Surga
Penulis: Nooraya

Anak Buangan

“Hey, anak buangan!”

BYUR!

Seseorang menendang Bai Jia hingga membuatnya tercebur ke sungai. Keranjang yang Bai Jia bawa ikut jatuh masuk ke air dan semua pakaian di dalamnya pun hanyut.

“Hahahaha ...!”

“Lihatah, baju para kakak hanyut! ... dasar bodoh!”

“Mampus dia setelah ini, pasti dia akan dihukum berat oleh Kak Rouku!”

“Hahahaha ...!”

Bai Jia,  pemuda berusia 18 tahun itu muncul dari dalam air sambil mengibaskan rambut panjangnya yang basah. Setelah kembali menghirup udara, dia langsung mengejar pakaian-pakaiannya yang terbawa arus. Bisa mati dia jika sampai kehilangan baju-baju itu.

“Sudah, ayo kita pergi, biarkan saja dia!” ucap pemuda yang tadi menendang Bai Jia.

Bai Jia tidak bisa kembali ke asrama tanpa pakaian-pakaian tersebut. Dia harus mendapatkannya kembali.

Bai Jia menyusuri sungai, mengambil satu demi satu pakaian yang berhasil tersangkut ranting dan bebatuan. Namun, sayangnya dia masih tidak bisa mendapatkan kembali semua baju milik kakak seperguruannya.

BUG!

“Bisa-bisanya kau menghilangkan baju-baju kami, sekarang rasakan ini!”

BUG!

Rouku dan beberapa senior lainnya memukul Bai Jia dengan rotan. Senioritas di perguruan bela diri memang masih menjadi budaya dan pemandangan sehari-hari, apalagi jika itu menyangkut Bai Jia, di mana sejak kecil dia memang tidak pernah diterima di Perguruan Lotus Putih.

Bai Jia dianggap sebagai pembawa sial untuk perguruan. Sebab, sejak kedatangannya di sana, kejayaan Lotus Putih menjadi redup. Hanya saja guru ketua mereka melindunginya, sehingga Bai Jia masih bisa tinggal di Lotus Putih sampai detik ini.

“Dasar kau anak pembawa sial!” ucap Rouku masih sambil menghantamkan rotan ke punggung Bai Jia, “kenapa kamu tidak mati saja? lemah, tidak memiliki tenaga dalam, hanya bisa jadi aib perguruan, kau juga yang sudah menjadi penyebab kematian ketua.”

Bai Jia mungkin sudah tahan dengan segala hukuman fisik yang diberikan orang-orang padanya. Namun, rasanya berbeda ketika ada yang mengungkit tentang kematian ketua Lotus Putih berhubungan dengannya. Itu sangat menyakiti hatinya.

Jika boleh memilih, Bai Jia juga tidak mau hidup seperti ini. Jika dirinya adalah sebab seseorang meninggal, akan lebih baik jika dirinya saja yang mati daripada harus seumur hidup disalahkan.

Bai Jia juga ingin hidup sama seperti teman-temannya, memiliki tenaga dalam dan bisa berlatih bela diri. Paling penting, bisa diterima dan diperlakukan dengan baik.

“Kakak, kakek guru meminta kita semua untuk berkumpul di aula teratai!” interupsi salah satu adik seperguruan Rouku.

Rouku pun berhenti memukul Bai Jia dan membuang tongkat rotannya. “Jangan kira kau sudah bebas, Bai Jia!”—Rouku memperingatkan—“sekarang cepat kembali ke sungai dan temukan pakaianku! jangan kembali sebelum kau menemukannya!” perintahnya kemudian.

Bai Jia dengan susah payah berusaha berdiri. Tangannya mengepal kuat menahan sakit.

“Cepat!”

“I-iya, Kak!”

Bai Jia berjalan menuju gerbang belakang perguruan. Sementara itu, murid lainnya berbondong-bondong menuju ke arah yang berbeda. Mereka saat ini sedang menuju aula teratai tempat perkumpulan dilakukan.

“Kakak Jia!”

Bai Jia berbalik dan melihat sosok cantik berlari ke arahnya. Yue-er, cucu dari kakek gurunya yang juga merupakan putri dari mendiang ketua Perguruan Lotus Putih.

 “Yue-er? kenapa kamu di sini? kenapa kamu tidak ke aula teratai?”

“Kakak juga harus ke sana!”

“Aku tidak bisa, aku ... aku masih ada tugas.”

“Apa ini perbuatan Kak Rouku lagi?”—Yue-er mengepalkan kedua tangannya—“aku sudah tidak tahan lagi, aku tidak peduli, aku akan memberi tahu kakek.”

“Yue!”—Bai Jia menahan lengan Yue-er—“kamu ingin Kak Rouku menyiksaku lebih kejam dari ini?” tanyanya pada Yue-er.

“Tapi, ....”

Bai Jia memegang kedua pundak Yue-er dan menghadapkannya ke arahnya. Kedua manik mata Bai Jia bertemu dengan manik mata Yue-er.

Setiap menatap kedua mata itu, dada Bai Jia terasa sakit. Setelah semua orang berkata bahwa dirinya penyebab kematian kedua orang tua Yue-er, gadis itu masih saja baik padanya.

Di perguruan Lotus Putih, hanya Yue-er dan kakek guru yang baik pada Bai Jia. Hal itulah yang membuat Bai Jia semakin bersalah dan tidak mau Yue-er terlalu membelanya.

Jika benar dirinya yang menjadi penyebab kedua orang tua Yue-er tewas, maka Bai Jia tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Yue-er selama ini.

“Adik Yue, di perguruan ini hanya kamu dan kakek guru yang baik padaku. Aku sangat bersyukur bisa tinggal di sini karena kalian. Aku mohon jangan membuat semuanya jadi lebih berat untukku! tolong jangan khawatirkan aku!”

Yue-er menghempas kedua tangan Bai Jia dari pundaknya—“Memangnya kenapa jika aku khawatir? Kakak, mau sampai kapan kamu seperti ini? orang-orang tidak bisa berlaku seenaknya padamu. Jika kakek guru bisa membantumu dan menghentikan orang-orang itu, lantas kenapa tidak?”

Bai Jia menahan emosinya—“Yue-er, maafkan aku! aku sungguh tidak punya banyak waktu sekarang, aku harus pergi, jadi kamu juga pergilah ke aula!”

Pemuda itu mengusap lembut pucuk kepala Yue-er sebelum akhirnya berlari pergi. Yue-er tidak memiliki kesempatan untuk menahan Bai Jia.

“Kak!”

“Kembalilah, Yue!” teriak Bai Jia dari kejauhan sambil melambai pada Yue-er.

Beberapa saat kemudian, Bai Jia tiba di sungai tempat sebelumnya ia mencuci pakaian. Walau sepertinya mustahil bisa menemukan pakaian-pakaian kakak seperguruannya, tapi dia tidak pesimis dan terus menyusuri sungai menuju hilir.

Bai Jia sungguh berharap bisa menemukan pakaian-pakaian itu. Namun, sayangnya kesialan Bai Jia hari itu rupanya masih belum berakhir. Dia kembali tercebur ke sungai, dan kali ini dirinya yang terseret arus.

“A-a-a!”

BYUR!

Kejadian itu membuat Bai Jia berpikir bahwa mungkin inilah hari terakhirnya di dunia. Keinginan orang-orang agar dirinya mati, pada akhirnya akan terkabul hari ini.

Dada Bai Jia terasa semakin sesak. Perlahan kesadarannya juga mulai sirna.

Tubuh Bai Jia semakin lemas, hingga akhirnya ... semua gelap. Namun, setelah beberapa waktu berlalu ....

“Uhuk! uhuk! uhuk!”

Air tersembur keluar dari mulut Bai Jia dan perlahan matanya kembali terbuka. Tidak, ini belum harinya Bai Jia mati.

Bai Jia mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan pikiran yang masih linglung. Hanya ada ruangan kosong berdinding batu dengan stalaktit yang menggantung di atapnya.

Sumber cahaya yang menerangi ruang gua itu hanya berasal dari cahaya yang berhasil menerobos celah kecil bebatuan dan memantul di permukaan air kolam yang ada di tengah-tengah ruangan.

“Di mana aku? bagaimana aku bisa ada di sini?” monolog Bai Jia.

Bai Jia perlahan bangkit dan pandangannya tidak sengaja menangkap adanya lorong. Dia menyeimbangkan langkah dan menyusuri lorong itu.

“Apa ini jalan keluarnya?”

Setelah beberapa saat, akhirnya Bai Jia berhasil menemukan ujung dari lorong tersebut. Namun, rupanya itu bukanlah jalan keluar, melainkan ruangan lainnya.

Ruangan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, kali ini tidak ada kolam di dalamnya.

Di dalam ruangan itu hanya ada sebuah altar dan di atas altar tersebut terdapat satu patung orang berlutut dengan pedang yang menancap di dadanya. Pedang itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang.

“A-a-pa ini kuil milik kultus tertentu?” ucapnya lirih.

Tanpa sadar kaki Bai Jia melangkah mundur karena ketakutan. Dia ingin lari pergi dari sana, tapi tiba-tiba sesuatu menyentuh punggungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status