Bab 143: Sepotong Kisah di Angkasa – part 1
**
Pesawat yang membawa seratusan lebih penumpang itu terbang memintas langit, mengembara di angkasa dan menyibak gerumbulan awan.
Sistem navigasi canggih yang terkomputerisasi memandunya menyusuri rute sepanjang selat Malaka dengan ketinggian jelajah di 30 ribu kaki dari permukaan laut.
Sistem auto-pilot diaktifkan, artificial intelligent di komputer pesawat menjaganya terbang stabil sesuai program.
Sementara di dalamnya, pilot Rudi Gunawan sebagai kapten, keluar dari kokpit, meninggalkan Dedi Chaniago, co-pilotnya di depan flight instrument.
Ia melangkah sedikit tergesa-gesa ke arah belakang, menuju bagian ekor pesawat. Di bagian belakang itu ia berbicara sembari berbisik-bisik dengan salah satu pramugari.
Tak lama kemudian ia kembali lagi ke depan bersama si pramugari dengan wajah yang sedikit tegang.
Ketika melintas di deretan kursi bagian tengah ia melirikkan matanya dengan
Bab 144: Sepotong Kisah di Angkasa – part 2**Sebagian penumpang tertidur di kursinya. Sebagian yang lain asyik menonton film lewat layar yang ada di head rest.Ada beberapa yang memainkan game, namun lebih banyak lagi yang sedang berbincang-bincang. Semuanya tenang, dan semuanya merasa nyaman dengan penerbangan mereka sekarang ini.Pada saat-saat yang tenang dan nyaman itulah, tiba-tiba terdengar suara dari seluruh speaker yang ada di kabin pesawat.“Selamat siang, Bapak Ibu penumpang Gxaruda Airline. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan, dan semoga Bapak Ibu semua bisa menikmati penerbangan bersama maskapai kami..,”“Di sini, adalah Kapten Rudi Gunawan, pilot Anda yang sedang berbicara di angkasa, dengan ketinggian 30 ribu kaki bersama udara cerah, awan berarak tanpa mendung, badai atau pun hujan..,”“Izinkan saya untuk menyampaikan sebuah maklumat, yang penting atau tidak pentingnya sesuatu
Bab 145: Jangan Menangis!**Aku tak kuasa menahan haru, melihat ketiga ayah ibu beranak itu berpelak-peluk dalam tangisan melepas rindu. Apalagi kemudian Razak, Alim dan Ifah, adik-adik Idah melebur pula di dalam lingkaran itu.Semuanya bagaikan mimpi bagi Pak Latif dan Bu Latif. Darah daging mereka yang hilang telah kembali ke pangkuan. Berganti-ganti mereka menanyai Idah sesuatu, tentang apa saja yang ingin mereka tahu.“Kamu diikat, Idah? Mulut kamu ditutup?”Idah menggeleng, bersamaan dengan menyeka air mata dengan pundaknya.“Kamu di sana tidurnya bagaimana, Idah? Di gudang? Di kamar?”“Di kamar, Mak”“Di tikar atau di kasur?”“Di kasur.”“Kamu makan apa di sana?”“Makan nasi.”“Ada yang memukul kamu?”Idah menggeleng. “Tidak ada, Mak.”“Ada yang menyakiti kamu? Mencubit? Atau, atau..,”Idah menggeleng lagi.“Siapa yang menjaga kamu, Nak? Siapa teman kamu di sana?”
Bab 146: Kembali ke Dalam Kasih-Nya**Sampai serak suara Johan. Sampai habis nafasnya. Tersengal-sengal dia dibuat tangis dan pilunya sendiri. Bahu dan pundaknya bergerak turun naik dengan cepat seirama dengan isakannya.Ia terus saja menyurukkan wajahnya di dadaku dan membasahi bajuku dengan airmatanya.Ia mengeluh, merintih, mengiba dan menumpahkan semua kepedihan di hatinya.“Aku bahkan tidak sempat melihat Joni untuk yang terakhir kalinya, Faaat..,”“Aku bahkan tidak sempat melihat jenazahnya dimasukkan peti..,”“Aku.., aku bahkan tidak sempat melihat dia dimasukkan ke dalam liang kuburnyaaa..,”“Aku, aku.., Oh Tuhanku.. sudah Kau ambil ayah dan ibuku, sudah Kau ambil juga ayah baptisku.. yang terakhir Kau ambil pula saudaraku..,”Johan terjatuh di depanku. Saking lemasnya dia kehabisan tenaga hingga tak sanggup lagi berdiri.Aku mengambil bahunya dan membimbing
Bab 147: Sumbu Kompor**Pagi, pukul delapan, Johan bangun lebih dulu. Dia masuk ke kamar mandi. Tidak langsung mandi, tetapi menggosok dan menyikat lantai kamar mandi yang sudah lumayan lama tidak kami pakai.Aku masih tertidur-tidur ayam di kasur lipatku, meringkuk kedinginan seperti orang demam. Atau, aku memang sedang demam?Entahlah, pastinya semua tubuhku terasa sakit dan sekujur persendianku terasa ngilu.Selang beberapa saat kemudian Johan berdiri di ambang pintu kamarku. Menggunakan handuk dia mengelap-elap rambutnya yang masih basah sehabis mandi.“Hei, The Pooh..!” Panggilnya membangunkan aku.“Bangun, sudah siang. Cepat mandi, biar aku yang bikin sarapan.”Aku bangkit malas-malasan dari kasurku dan berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Sementara Johan yang selesai berbaju dan bercelana pendek kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Dia sadar kami tidak punya apa-apa. Kami memang b
Bab 148: Tanpa Kata Cinta**Suasana pagi yang ramai di kawasan pusat kota Bandar Baru. Jalan raya dipenuhi aneka macam kendaraan.Sementara itu, di kantor cabang sebuah bank syariah, suasana juga mulai menggeliat dengan kedatangan beberapa nasabah yang bermaksud menyelesaikan kebutuhannya terkait perbankan.Di salah satu meja pada lantai dasar, Leony sedang sibuk berkutak-katik dengan komputernya. Dengan ramah ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada seorang nasabah yang keluhannya sedang ia layani, lalu meng-input data-data yang diperlukan itu lewat keyboard yang disambar-sambar oleh kesepuluh jarinya yang lincah.Terhitung sejak resign-nya Leony dari hotel Mustika Bumi, maka sudah empat bulan ia bekerja sebagai customer service di bank syariah itu. Wajahnya yang cerah menyiratkan kegembiraannya dalam menjalani pekerjaan.Kecantikannya yang memang memiliki sedikit kemiripan dengan salah satu aktor di sinetron televisi, sekarang kian tampak
Bab 149: Jangan Lompat-lompat**“Siapa??” Tanyaku terkejut, seraya menegakkan tubuh dan menatap Johan dengan mimikku yang paling serius.“Anggun.” Jawab Johan.“Anggun??”“Iya, Anggun. Nama lengkapnya Anggun Aulia Rasyid. Dia ini adalah pramugari yang dulu pernah merequest lagu padaku dan Joni waktu ngamen di warung Ayam Penyet Solo.”Aku terperangah, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang.“Kamu ingat, Fat? Dulu, waktu pulang ngamen aku pernah membawa satu porsi ayam bakar komplit. Nah, orang bernama Anggun inilah yang membelikan itu.”“Terus, terus?” Kataku meminta Johan lanjutkan cerita.“Jadi, ternyata, acara kecil-kecilan di pesawat itu, dialah yang punya inisiatif.”Tiba-tiba saja aku merasa terharu, pada bagaimana Anggun memperlakukan Johan saudaraku ini.Anehnya, rasa kesalku padanya dulu, ketika dia menuduhku s
Bab 150: Kunjungan Fathan**Sebuah mobil berjenis MPV warna hitam menelusuri daerah Simpang Tiga di bagian selatan kota Pekanbaru. Membaur di rona malam yang masih muda, bersama aneka kendaraan yang berhenti di lampu merah.Rodanya menggelinding lagi di sepanjang jalan Kaharuddin Nasution. Gerimis tipis menyaput dari langit dan mencipta bias di kaca-kaca spion.Selang beberapa menit mobil itu memasuki jalan Tengku Bey. Hingga tak lama kemudian memasuki kompleks perumahan dan berhenti di depan sebuah rumah dengan catnya yang berwarna hijau muda.Gerimis yang tipis dari langit tadi, berhenti nyaris bersamaan dengan mesin mobil yang dimatikan dan lampunya yang dipadamkan.Seorang lelaki tampan berpostur tinggi dan gagah keluar dari mobil itu, lalu berjalan melewati pagar halaman yang tampaknya memang sengaja dibiarkan terbuka.Tangannya menjinjing kantong belanja kecil terbuat dari karton. Langkah kakinya mantap menjejak untuk kemudian
Bab 151: Bertemu Dalam Mimpi**Anggun mengangkat jari telunjuknya, lalu dengan itu ia membuat gerakan seperti menepuk nyamuk di ujung hidung Leony.“That’s right!” Sahutnya. “Itu juga yang ingin aku crosscheck ke kamu.”“Iya, iya, aku ingat sekarang. Beberapa bulan yang lalu, waktu kita bertemu Ifat di sini, ketika itu aku memperkenalkan kalian berdua, Ifat sendiri yang bilang kalau Johan ini adalah teman satu kontrakan, sehingga saking akrabnya sudah menjadi seperti saudara.” Terang Leony.“Nah, cocok.” Sahut Anggun kian bersemangat.“Waktu itu, Ifat juga yang memberi tahu kita kalau Johan sedang mengikuti audisi di Medan, kan?”“Iya, betul. Tidak terasa ya? Seakan-akan baru kemarin saja.”“Hmm-hmm. Eh, ngomong-ngomong, kamu pernah ketemu dengan Ifat, Leony?”Maka, inilah sesungguhnya muara yang ingin dituju Anggun memancing