"Makasih, ya, Mas Rehan!"
Eka melambaikan tangan mengiringi kepergian mobil Rehan meninggalkan kediaman Keluarga Hartono. Pemuda itu baru saja mengantarkannya dan Surtini setelah mereka puas bermain di taman hiburan. Dia sengaja bersikap manja karena tahu Gayatri melihat dari jendela kamar.
Surtini hanya bisa menyaksikan tingkah sang "nona" dengan mulut terbuka lebar. Eka memang pernah bercerita bahwa, sebelum masuk ke kediaman Keluarga Hartono, dia mendapatkan pelatihan akting untuk menjadi perempuan. Namun, Surtini tak menyangka sandiwara yang ditampilkan akan sebagus itu.
"Jangan kaget, kenapa dengan hanya latihan akting sebulan, aku bisa memerankan seorang perempuan dengan baik. Itu karena aku memang jenius," celetuk Eka membuyarkan lamunan Surtini.
Surtini mengerutkan bibir. "Iya, iya, Non Eka paling jenius sedunia.
Eka tergelak. Dia segera mengajak Surtini masuk. Namun, gadis itu meminta izin untuk kembali ke asra
"Surti, Surti." Panggilan lembut dan tepukan pelan di pipi membuat Surtini membuka mata perlahan sambil menguap lebar. Dilihatnya Eka tengah menahan tawa. Gadis itu seketika duduk dengan tegak. Pipinya langsung merona saat melihat pantulan wajah dari kaca jendela mobil, ada bekas iler di sudut bibir kiri. "Maaf, Non, maaf, saya jorok!" seru gadis itu gugup. Eka terkekeh. Dia mengeluarkan saputangan bermotif bunga lili, lalu menyeka sudut bibir Surtini dengan lembut. Si gadis pelayan kembali merona, tetapi langsung tersentak. "Aduh, saputangan Nona jadi kotor!" keluhnya. Dia mengambil saputangan dari tangan Eka. "Nanti saya cuci dulu, Non." Eka menyeringai jail. "Sebenarnya, tidak apa-apa tidak dicuci. Mungkin nanti akan kumasukkan dalam kotak kaca sebagai kenang-kenangan," goda Eka. Surtini mengerecutkan bibir. Dia cepat memasukkan saputangan ke dalam saku jaket, khawatir sang nona akan benar-benar m
Eka menyeringai dan berbisik, "Aku mau apa? Tentu saja ingin bersenang-senang denganmu."Suaranya terdengar maskulin. Saat berduaan saja, dia memang sengaja tidak menggunakan suara perempuan. Surtini semakin panik."Jangan begini, Non. Orang-orang sering menyebut kita anak haram, tapi jangan sampai kita ikut mengulangi dosa yang dilakukan orang tua kita," gumamnya dengan suara memelas.Eka tergelak sambil memegangi perut. Air matanya sampai keluar karena tawa yang begitu lepas. Setelah puas tertawa, dia mencubit pipi Surtini dengan gemas."Aku hanya bercanda, Surti. Jika memang ingin menerkammu, aku pasti sudah lama melakukannya. Tenang saja, aku masih bisa menahan diri.""Nona ih! Suka banget, ya, ngeledekin!"Surtini mengerucutkan bibirnya. Dia memukuli lengan Eka. Pemuda itu berpura-pura meringis, membuat Surtini seketika menghentikan pukulan."Nona enggak papa? Tadi, Surti enggak keras kok mukulnya."Surtini mengangkat leng
Surtini meraparkan jaketnya saat memasuki mal. Dia memang masih tak terbiasa dengan pendingin di pusat perbelanjaan. Eka melihatnya sebagai kesempatan dalam kesempitan, lalu menggandeng tangan pelayannya itu. Tak ayal, wajah Surtini seketika memerah dan langsung melepaskan gandengan sang "nona"."Dosa, Non!"Eka terkekeh. "Aku hanya kasian karena kamu keliatan kedinginan. Padahal, dulu kamu yang selalu memeluk duluan," godanya sambil menarik-turunkan alis."Dulu itu, kan, Surti enggak tau kalo Non itu–"Eka meletakkan telunjuk di bibir. Dia memberi isyarat untuk melihat ke arah kanan. Surtini menurut dan menyadari maksud Eka. Ternyata, mereka memang sedang diikuti seseorang yang kemungkinan adalah mata-mata Jihan.Surtini seketika menjadi resah. Namun, Eka tetap terlihat tenang. Dia mengutak-atik ponsel."Sudah beres," ucapnya tiba-tiba."Apanya yang beres, Non?""Mata-mata sudah
"Jaga diri baik-baik. Jangan macam-macam sama Surti," pesan Mirna.Hari itu, Eka memang sudah akan pindah ke luar kota untuk kuliah. Mirna sengaja datang ke kamar cucunya untuk memberikan petuah sebagai nenek. Hanya kamar Eka yang aman dari pengawasan, sehingga mereka bisa melepas jabatan kepala pelayan dan majikan.Melihat sang nenek begitu mencemaskan Surtini, Eka tersenyum jail. "Ya, kalo tahan iman, ya, Nek ...," sahutnya usil, membuat Mirna mendelik tajam."Eka ....""Iya, iya, aku hanya bercanda nenekku yang kaku seperti kanebo kering."Mirna menekan keningnya dan menggerutu, "Kamu ini benar-benar, entah siapa yang ditiru." Dia menghela napas dan mengibaskan tangan. "Sudahlah, ayo kamu harus berangkat. Jika aku terlalu lama di sini, N/yonya Jihan bisa curiga.""Roger, Nek!"Mirna dan Eka pun keluar dari kamar. Tak banyak barang bawaan Eka, hanya satu koper berisi pakaian.
Para mahasiswa lain hanya menunduk dalam. Beberapa dari mereka malah menghela napas lega karena untuk sementara terbebas dari pengawasan senior. Gerombolan Sylvia jangan ditanya. Mereka tersenyum penuh kemenangan sembari berbisik-bisik mengejek.Surtini mengepalkan tangan dengan kuat, hingga terlihat buku-buku jari. Hatinya memanas. Dorongan ingin menghajar Sylvia, si senior dan antek-antek mereka itu menyeruak. Jika saja Eka tidak mengirimkan isyarat untuk diam, dia pasti sudah membuat beberapa orang masuk rumah sakit."Mengingat akan ada ulang tahun universitas, maka hukumannya ada hubungannya dengan itu. Fakultas kita paling terkenal dengan suara-suara yang merdu dan biasanya selalu menyumbang lagu. Jadi, hukuman bonusnya adalah kamu harus nyanyi," cerocos si senior."Baik, Kak," sahut Eka dengan wajah yang tampak sendu.Amarah Surtini surut. Sekarang, dia malah susah payah menahan tawa. Suruhan menyanyi tidak akan memperm
Sedu-sedan Surtini masih terdengar. Eka hanya menggeleng pelan sambil mengusap-usap rambut si pelayan. Mereka tengah menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai. Beberapa orang melirik sekilas, tetapi tak acuh kembali, seperti layaknya individualisme penghuni apartemen."Sudah, sudah, Sur. Nanti kubelikan es krim kalo mau stop nangisnya," bujuk Eka.Tangis Surtini terhenti mendadak."Beneran, Non?""Iya. Besok kita ke kafe es krim yang ada di ujung jalan depan. Kamu boleh pesan sepuasnya.""Asyik! Janji lho, ya, Non.""Iyaaa."Surtini bersorak riang, lalu menyedot ingus yang melorot. Eka terkekeh melihat tingkah pelayannya. Meskipun sudah berusia 15 tahun, gadis itu kadang bertingkah kekanak-kanakan.Langkah mereka terhenti saat tiba di depan kamar nomor 415. Eka memencet 8 angka untuk memasukkan pin keamanan. Pintu terbuka. Dia masuk ruangan sambil melemparkan asal
Eka segera memasang wajah polos. Dia mendekati sepatu. Matanya tampak memicing, seolah tengah kebingungan. Sesuai dugaan, Sylvia memang melakukan sabotase terhadap sepatunya. Aroma tak sedap menguar dari sana, membuat beberapa mahasiswa di sekitar mengeluhkan bau tersebut. Eka juga bisa melihat sesuatu seperti ekor tikus sedikit menyembul. "Surti, sepertinya ada yang aneh dengan sepatuku," komentar Eka dengan kening berkerut. "Aneh kenapa, Non?" "Seperti ada sesuatu di dalam ...," Eka berjongkok, menarik benda seperti ekor keluar. Dia berpura-pura tercengang, lalu melotot di waktu yang tepat. "Kyaaa!" jeritnya histeris. Namun, drama tentu tidak akan berakhir begitu saja. Sambil terus menjerit, Eka melemparkan tikus mati ke arah Sylvia. Tentu saja, dia melakukannya dengan berpura-pura panik, sehingga terlihat seperti tidak disengaja. Lemparan Eka tepat sasaran. Tikus mati mendarat mulus di dada Sylvia
Sementara Surtini masih ternganga, Eka malah semakin menjadi-jadi. Sorot matanya dibuat sesayu mungkin. Dia menatap Roland dengan wajah memelas."Maaf, ya, Kak. Saya sudah lama dekat sama Mas Rehan. Meskipun enggak resmi pacaran, tapi kami tau perasaan masing-masing, saling mencintai," jelasnya.Roland hanya terdiam. Tangannya terkepal kuat. Surtini menarik-narik lengan kemeja Eka. Sang "nona" seolah mengerti kegelisahan pelayannya. Dia mengedipkan sebelah mata dengan sangat cepat, lalu kembali memasang sorot mata sendu agar Roland tak menyadari.Surtini menepuk kening. Wajahnya berubah semringah. Kekhawatiran yang tadi menggayuti sirna tak bersisa."Ah, begitu! Surti ngerti. Syukurlah, Non enggak be–"Surtini menutup mulutnya. Roland menatap tajam ke arahnya dengan alis terangkat. Gadis itu berpikir cepat. Bisa-bisa dia mengacaukan rencana Eka."Syukurlah, Non Eka enggak berkhianat dari perasaan cin