Para pengawal semakin sibuk menghalau wartawan. Mereka sedikit lengah dan menyisakan celah. Si penyusup tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia merangsek maju dengan cepat. Gerakannya begitu gesit hampir tak terlihat. Sebilah belati terarah lurus.
Srat! Krak!
"Surti!" teriak Eka dan Rukmini berbarengan.
Sementara itu, darah merembes dari telapak tangan Surtini, lalu menetes di paving blok. Tangannya cedera karena menangkap langsung belati yang terarah kepada Eka. Dia juga memelintir lengan si penjahat hingga patah.
Tak hanya sampai di situ, Surtini membanting penjahat. Tak lama kemudian, tendangan-tendangan mautnya menghantam orang suruhan Jihan itu bertubi-tubi. Tak ayal, si lelaki menjadi babak belur dan terengah-engah.
Cahaya blitz menghujani Surtini. Wartawan tak akan menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Berita tentang putra sulung Gilang Hartono yang baru keluar dari rumah sakit diserang lelaki misterius akan menjadi gorengan lar
Mobil yang dikemudikan Jihan memasuki halaman sebuah kafe. Dia memang sengaja tak menggunakan supir. Seseorang yang akan ditemuinya kini bukanlah sebatas relasi bisnis. Ada rahasia besar di antara mereka.Setelah memarkirkan mobil, Jihan keluar dengan elegan. Beberapa pasang mata mengalihkan pandangan. Meskipun sudah kepala empat, perawatan intensif membuat wajah cantiknya tetap awet muda."Dasar orang-orang menjijikkan!" umpat Jihan dalam hati.Selanjutnya, dia melenggang memasuki kafe. Namun, Jihan tidak duduk di salah satu meja ataupun memesan minuman. Dia terus berjalan melewati pintu khusus, lalu menaiki tangga untuk menuju lantai dua.Seorang pria sebaya dengannya menyambut dengan senyuman menggoda. Meskipun tidak setampan dan seatletis Gilang Hartono, lelaki itu cukup menawan. Saat dia menyunggingkan senyuman, ada daya tarik tersendiri, bisa juga disebut berkharisma.Namanya Saga. Hubungan rahasia mereka sudah terjalin lebih d
"Sampai kapan aku harus menunggu! Kenapa mencari satu anak saja kalian tidak becus, hah?"Bruk! Bruk! Bruk!Tiga tubuh tegap menghantam meja. Tinju keras bertubi-tubi baru saja dilancarkan oleh Gilang. Orang-orang suruhannya telah gagal menjalankan tugas. Dia berpikir mereka memang patut diberi hukuman.Sudah 10 tahun terakhir, Gilang mencoba mencari putra di luar nikahnya dengan Murni secara diam-diam. Jika sudah ditemukan, dia akan menyembunyikannya di tempat aman. Namun, pencarian tak pernah membuahkan hasil, padahal Gilang harus berpacu dengan mata-mata ayahnya. Jika Bambang menemukan lebih dulu, anak itu bisa dipastikan hanya tinggal nama."Arggh! Di mana kamu, Nak? Aku bahkan tak tahu siapa namamu!" keluh Gilang seraya menjambak rambut sendiri.Setelah itu, dia kembali menendang tiga lelaki yang meringkuk di lantai. Rivan berdiri kaku di sisi Gilang. Wajahnya tampak datar dan dingin seperti biasa. Begitu sang atasan puas menghajar or
“Jadi, kamu akan sulit punya anak?” Cantika memotong cerita Gilang.Raut wajahnya berubah drastis. Bibirnya sedikit melengkung ke bawah. Sorot mata yang tadinya berbinar, juga menjadi agak sinis. Namun, Gilang tampak tak peduli. Kondisi kesehatan reproduksi yang biasa memalukan bagi seorang laki-laki seolah bukan hal penting. Dia malah menuang anggur putih ke gelas dan menenggak isinya sampai habis.“Kamu akan susah punya anak, Sayang?” cecar Cantika tak sabar.Gilang mengangguk dan menyahut ringan, “Iya, tapi tak apa karena sudah ada Eka.”Dia tersenyum bangga.“Eka bahkan lebih cerdas dan potensial sebagai penerus jika dibandingkan dengan diriku sendiri. Papi yang awalnya selalu ingin membunuhnya, bahkan harus menjilat lidah sendiri demi memungut Eka lagi.”Gilang terkekeh.“Ya, mau bagaimana lagi. Anak Jihan dan selingkuhannya terlalu manja, jadinya malas dan bodoh. Aku yakin di
Gilang menatap sang ayah dengan sorot mata tak percaya. Dia sudah sangat yakin jika Eka cukup kompeten. Putranya itu memiliki kapasitas berpikir di atas rata-rata, sehingga akan sangat membantu. Gilang juga berharap mereka bisa menjadi lebih dekat karena sering bersama.Sementara itu, para direktur lain saling berbisik. Mereka menyayangkan pola pikir Gilang, terlalu pendek. Seharusnya, seorang direktur utama bisa mempertimbangkan pendapat para karyawan jika wakilnya masih berusia 22 tahun tanpa pembuktian. Secerdas dan sehebat apa pun Eka, guncangan pasti terjadi dan dapat menyebabkan ketidakstabilan. Mereka saja belum berani mengusulkan nama.“Apakah ada alasannya kenapa usulan saya ditolak, Pak?” tanya Gilang mencoba tetap santun.“Tentu saja karena usulan itu terkesan terburu-buru dan tidak memikirkan dampaknya ke depan. Eka masih terlalu muda untuk menjabat sebagai wakil direktur utama,” sahut Bambang.Dia mendesah berat, menga
Mau berapa kali fotokopi, sih? Kalo ngasih tugas itu harusnya yang jelas! Lah tadi disuruh fotokopi 20 eksemplar, kenapa tiba-tiba nambah jadi 50 eksemplar!"Surtini terus menggerutu di ruang fotokopi. Untunglah, suara mesin yang berdesing menyamarkan suara ketusnya. Kalau tidak, dia bisa saja terkena Omelan lagi dari karyawan senior Julid, terutama Joe dan Nina.Seperti dugaan Eka, tatapan sinis beberapa karyawan senior sok saat mereka pertama kali tiba ternyata berlanjut dengan perundungan. Pekerjaan yang seharusnya menyenangkan karena sesuai dengan passion menjadi menyebalkan. Rencana-rencana pengembangan metode pemasaran seolah-olah tinggal kenangan.Mereka bahkan tak dibiarkan duduk barang sebentar. Ada-ada saja perintah tak masuk akal yang ditugaskan oleh para senior julid itu. Seperti sekarang, Eka dan Surtini diminta Nina untuk menyalin dokumen dengan mesin fotokopi, tetapi harus bolak-balik ke ruang fotokopi karena selalu salah jumlah yang dimi
Sebulan telah berlalu. Eka masih di-bully. Namun, dia tetap tenang dan menurut saja seperti benar-benar karyawan baru yang polos. Surtinilah yang hampir habis kesabaran dan tak tahan hendak bertindak anarkis. Kadang, Okan bisa membantu. Namun, entah kenapa lelaki bersahaja itu selalu diserahi tugas keluar oleh kepala bagian."Firasat Surti kok enggak enak, ya, Non? Kayak bakal ada hal buruk gitu," celetuk Surtini saat mereka tengah makan siang di kantin perusahaan.Eka berhenti menyuap nasi liwetnya, lalu menyahut, "Tidak usah cemas, mungkin hanya perasaanmu saja."Dia menyengir lebar. Surtini mengerucutkan bibirnya. Gadis itu terus mencerocos mencemaskan Eka dan meminta si tuan muda agar lebih berhati-hati."Iya, iya, aku pasti hati-hati," tutur Eka mencoba menenangkan.Eka memang seperti tidak percaya ucapan Surtini. Namun, sebenarnya, dia tahu firasat gadis itu benar. Seharian ini Eka melihat Joe tersenyum licik saat diam-di
“Joe itu benar-benar keterlaluan! Kepala Bagian juga sama saja jahatnya! Apa dihajar aja besok pas pulang kantor, Non!” cerocos Surtini sambil menyingsingkan lengan baju.Hidung mungil tampak kembang-kempis meningkahi gerakan bibirnya yang mencong kiri-kanan. Eka dan Okan tak kuasa menahan tawa. Sebenarnya, mereka juga kesal dengan perundungan ala Joe dan si Kepala Bagian, tetapi ekspresi Surtini terlalu lawak untuk dilewatkan.“Ish! Malah diketawain! Non sama Mas Okan jahat!” gerutu Surtini. Bibirnya sudah maju beberapa senti.“Habisnya kamu lucu, sih,” goda Eka sembari mengedipkan sebelah mata.Surtini mencubit gemas lengan Eka. Dia terus mengomel. Namun, Eka malah semakin semangat meledek. Okan mengelus dada. Lelaki paruh baya itu masih belum terbiasa dengan dua sisi Eka yang berlawanan, saat di kantor dikenal sebagai pemuda cupu, polos, dan teraniaya, sementara di luar berubah menjadi sosok cerdas, iseng, sekaligus
"Kok, aku ada firasat buruk, nih," celetuk Surtini sembari merapikan mejanya.Jam pulang kantor tinggal 5 menit lagi. Laporan yang harus digarapnya juga sudah selesai. Dia memanfaatkan waktu tersisa untuk beres-beres.Beda lagi dengan Eka. Pemuda itu asyik menyusun dokumen sembari menggumam pelan, seperti bersenandung. Wajahnya tampak semringah. Sesekali senyum licik tersungging di bibir. Dia tentu bukan sedang merapikan tugas, tetapi menata bukti-bukti kecurangan atasan maupun staf-staf bermasalah.Baru saja, Surtini memasukkan dompet ke tas sebagai langkah terakhir, Okan datang dengan tergopoh-gopoh. Firasat buruknya semakin menguat saat melihat pria yang sudah dianggap kakak sendiri itu memucat. Okan mengatur napas sejenak sambil mengelap keringat yang terus meluncur di dahi."Nono, Wati, kita dipanggil kepala bagian lagi," ungkap dengan sorot mata putus asa."Oh, oke, Mas. Ayo kita ke sana," sahut Eka ringan.Surtini menatap protes. Namu