Kafkha berdiri dari tepi kasur, ia berjalan menuju balkon kamar sambil menyalakan pemantik dan menghidupkan rokok yang baru dikeluarkan dari saku celananya. Sejak dua tahun terakhir, Kafkha menggunakan rokok sebagai alat untuk menenangkan dirinya saat berada dalam beban pikiran yang begitu berat. Ia berdiri di samping pagar balkon kamar yang menjorok ke halaman rumah sambil menghisap rokok itu dan mengingat kembali sikap kasarnya pada istrinya itu. “Bukan dia yang menghancurkan hidupku. Tapi, sejak kami bersama, aku yang sudah menghancurkan hidupnya,” kata Kafkha, merasa bersalah. Deringan ponsel terdengar dari dalam kamar. Kafkha sadar itu bersumber dari ponsel sang istri yang tadi sempat dilihat ada di atas meja. Kafkha menjatuhkan rokok yang masih belum terbakar banyak itu ke lantai dan menginjaknya, memadamkan api dan berjalan memasuki kamar. Ia menghampiri ponsel Bunga, melihat nama seorang sutradara terkenal terpampang di layar ponsel itu. “Halo?” Kafkha bersuara. “Bunganya
Bunga dan seorang pria paruh baya berjabat tangan. Pria itu seorang sutradara hebat yang sudah membuat banyak film layar lebar dan mencetak rekor sebagai sutradara terbanyak merilis film setiap tahunnya. Ini pertama kalinya mereka bekerja sama.“Rasanya dunia ini terasa sempit. Ternyata, dokter Kafkha adalah suami Bunga,” kata pria bernama Harianto itu. “Ternyata Bapak yang berbicara bersama saya semalam. Semoga bisa bekerjasama dengan baik,” ucap Kafkha, ikut menjabat tangan Harianto. Mereka duduk di sekumpulan bangku salah satu meja yang ada di sudut restoran Marellan. Selain berbicara mengenai pekerjaan, mereka juga makan siang bersama. Di tengah makan siang itu, Haidan menghampiri mereka karena Harianto mengundangnya, mengingat pria itulah yang sudah merekomendasikan Bunga sebelumnya. Kehadiran Haidan di sana membuat suasana jadi sejuk, tidak mengenakan seperti sebelumnya. Kafkha dan Bunga menyimpan luka kemarin dan memiliki banyak diam. Raisa mengarahkan tangan kepada Haidan,
Kafkha berjalan gontai keluar dari kamar mandi dengan wajah memucat, lesu. Ia duduk di tepi kasur sambil menggelengkan kepala beberapa kali setelah melihat samar apa yang dilihatnya. Jantungnya juga terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Bergegas tangannya membuka laci meja, mengambil botol obat yang sebelumnya diminum olehnya saat penyakit itu beberapa kali kambuh sejak dua tahun terakhir. “Huff …!” Kafkha menghembuskan napas. Pria itu menenangkan perasaannya dengan berdiam diri bersama mata dipejamkan. Sapuan angin kecil menyapu wajahnya. Kafkha membuka mata, melihat sang istri sudah berdiri di hadapannya dan sedang menghembuskan udara dari mulutnya ke wajahnya. “Sarapan sudah siap,” ujar Bunga. “Ini obat apa?” Bunga hendak mengambil botol obat di tangan Kafkha. Akan tetapi, pria itu bergegas menjauhkannya dari Bunga. “Obat kuat,” balas Kafkha, berbohong. “Dasar! Makin tua otaknya makin me–,” terpotong karena Kafkha menarik tangannya, membuat Bunga terduduk di pangku
Kafkha jadi tidak bisa fokus karena kondisi tubuh yang tidak baik akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan beban pikirannya. Di tengah duduk bersandar merilekskan badan di bangku kerjanya, Bunga masuk memberikan kejutan. Pria itu berusaha tersenyum, meskipun rasanya tidak mood untuk melengkungkan bibir. "Papa ...!" Bunga mengajari Raisa yang ada di gendongan tangannya dengan tangan lain menjinjing rantang makanan.Bunga menaruh rantang itu ke atas meja dan membiarkan Raisa berkeliaran. Bunga menghampiri suaminya itu, mengecup pipi Kafkha dengan tangan menyalam tangan suaminya itu. "Kamu sedikit pucat, kami baik-baik saja, kan?" tanya Bunga dengan badan masih merendah, wajahnya sejajar dengan wajah Kafkha."Aku baik-baik saja. Hanya lapar, kamu lambat sekali." Pandainya Kafkha berbohong. "Kamu makanan atau merindukanku?" Bunga menggoda suaminya itu. Bunga duduk di pangkuan Kafkha, kedua tangannya melilit leher suaminya itu dan mengecup bibir Kafkha dengan mesra. Pria itu hanya diam,
Kafkha merasakan tubuhnya begitu lemah setelah keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono dan rambut masih lepek. Ia bergantung dengan merekatkan kedua telapak tangan ke dinding dan perlahan merangkak kan telapak tangan itu di satu sisi kamar itu, beralih bergantung di meja dan duduk di tepi kasur. Jantungnya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari semalam.Beberapa kali ia menarik napas untuk setelah merasa dadanya begitu sesak. Tangannya mengambil ponsel di atas kasur, ia menghubungi nomor Danar untuk meminta bantuan pria itu agar bisa datang ke rumahnya karena Bunga sudah berangkat kerja pagi ini bersama Raisa. "Segera ke sini. Dadaku terasa sesak dan detak jantungku berdetak begitu cepat," ucap Kafkha dengan suara berat. Kafkha menurunkan ponsel ke atas kasur dan mengelus dadanya sambil menarik napas secara perlahan dan berusaha tetap tenang. Sekitar lima belas menit kemudian, Danar sampai bersama kotak medis yang lengkap, yang sudah dipersiapkan dari rumah sakit untu
Bunga membawa Raisa keluar dari sebuah ruangan, di sana bocah itu diperiksa yang merupakan ruangan seorang salah satu dokter anak di rumah sakit itu. Setelah keluar dari sana, Bunga ke administrasi untuk membayar pengobatan Raisa sambil bertanya mengenai Kafkha kepada mereka yang ada di sana. "Suster, dokter Kafkha sudah selesai bertugas di Papua?" tanya Bunga. Tiga perawat yang ada di meja administrasi itu mengerut bingung, mereka saling menatap satu sama lain. Dari raut wajah mereka, Bunga sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres. Siap-siap ia mendengar kebenaran kalau suaminya itu sudah berbohong padanya. "Dokter Kafkha tidak bertugas ke Papua. Dia baru saja keluar dari rumah sakit bersama suster Risa," jawab salah satu dari mereka. Penampakan wujud Kafkha dan Risa tadi tidak salah setelah sempat meragukannya. "Baiklah," ucap Bunga, tidak memperpanjang pertanyaan lagi. Bunga berjalan dalam beban pikiran keluar dari rumah sakit itu dan secara kebetulan berpapasan bersa
Bunga menempelkan alat penurunan panas di dahi Raisa dan membaringkan anaknya itu kembali' ke kasur, menepuk pelan punggung Raisa sampai anak itu tidur kembali. Kala mengingat Kafkha berbohong, Bunga tidak bisa tidur dan memikirkan perbuatan suaminya itu yang dirasa tidak akan sanggup dilakukan Kafkha. Ia kembali meneteskan air mata dan membaringkan badan sambil memeluk Raisa. "Sudah jam dua belas malam, tetapi dia tidak kembali. Padahal, kebohongannya itu sudah tertangkap basah," kata Bunga, dalam hati dan mata menatap jam di atas meja. Ponsel Bunga berdering. Ia duduk kembali dan menatap layar ponsel yang ada di atas meja, Willa menghubunginya. “Halo?” Bunga bangkit dari kasur, berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga dan duduk di sofa ruang tamu, mendengar perkataan Willa yang terdengar melalui sambungan telepon. “Baiklah. Besok aku akan ke sana,” ucap Bunga. Sambungan telepon mereka berakhir.Bunga melangkahkan kaki berjalan memasuki dapur, meminum segelas air putih dan
Bunga datang ke rumah sakit setelah kembali ke rumah pagi tadi. Kedatangannya bersama Raksa dan buket bunga mawar putih. Ia menaruh mawar putih itu ke dalam vas bunga yang ada di atas meja, di samping ranjang yang ditiduri oleh suaminya itu. Sejak semalam, Kafkha belum sadarkan diri hingga siang ini. Akan tetapi, Danar bilang kondisinya stabil. Oleh sebab itu, Bunga bisa meninggalkan Kafkha sejenak, memberikan tiga kepada Risa untuk bisa menjaga suaminya itu selagi dirinya tidak ada di rumah sakit. Ke mana Bunga akan pergi? Ini berhubungan dengan telepon masuk dari Willa semalam. “Bu Bunga tenang saja, aku akan menghubungi Bu Bunga jika terjadi sesuatu kepada dokter Kafkha,” ucap Risa yang tengah menyuntikkan obat di impus Kafkha.“Terima kasih,” ucap Bunga dan memperhatikan vas bunga yang sudah ditempati oleh beberapa tangkai bunga mawar putih itu. “Dah Raisa …!” Risa melambaikan tangan kepada bocah kecil yang baru digendong Bunga. Bunga meninggalkan kamar Kafkha dengan rasa perca