"Alhamdulillah Neng, Aa ikut seneng," balasku sambil jingkrak-jingkrak juga."Alhamdulillah tapi Neng teh kenapa? Kok kayak seneng banget gitu?" tanya Paman lagi."Hehe iya Paman, Neng seneng banget ini karena Neng kebetulan lagi butuh uang.""Oh pantesan, uang apa geulis emangnya?""Buat bangun lagi kontrakan mertua yang terbengkalai Paman, walau gak langsung dibangun semua ya satu-satu aja dulu gak apa-apa.""Oh atuh kalau Neng lagi butuh mah nanti pake uang Paman aja dulu, Paman juga punya walau sedikit tapi lumayanlah.""Hah serius Paman?" Asmi makin jingkrak kegirangan."Ya serius atuh Neng geulis, nanti Paman sekalian transferin aja ya.""Ya Allah terimakasih Paman terimakasih hatur nuhun pisan."Setelah bertelepon Asmi kembali melanjutkan pekerjaannya.Hari ini karena saking senengnya, Asmi akhirnya masak sambil nyetel lagu naik delman di hape."Pada hari minggu kuikut Paman ke kota naik delman istimewa kududuk dimuka jreng jreng jreng."Begitu kira-kira lirik lagu naik delman
Selesai diberi wejangan kami pulang. Di jalan Asmi ngomong."A, kok Neng ngerasa ada yang aneh ya sama Ibu.""Aneh gimana?""Gak tahu aneh aja gitu, tumben-tumbenan ibu teh pesen segala macem.""Oh mungkin karena ibu kagum sama Neng, Neng 'kan istri paket kumplit," jawabku ringan sambil mengejutkan alis sedikit.Asmi mendesah kesal, "issshh Aa nih kebiasaan bercanda mulu," katanya seraya jalan buru-buru di depanku. Aku terkekeh dan cepat menyeimbangkan langkahnya.***Esok hari.Aku setengah melonjak dari kasur saat di luar kudengar suara Kak Alfa ketok-ketok pintu kamar dengan kencang."Hasaan Asmii udah siang mau pada buka warung gak?!"Aku mengucek mata, kutengok jam dinding ternyata udah pukul 6 pagi. Sontak saja aku bangkit membuka pintu."Udah siang ya, Kak? Aduh bisa-bisanya kesiangan gini, tumben," ucapku sambil mengumpulkan nyawa."Iya udah siang ini, pantesan Kakak tunggu-tunggu kok kalian gak muncul-muncul tahunya pada kesiangan, Asmi mana?""Masih tidur tuh sama Hasjun."
Aku menggeleng, tubuhku mendadak tak enak, dan refleks saja akhirnya kaki ini berlari masuk ke dalam. Di salam Bapak tampak sedang ditenangkan oleh para tetangga, cepat kulihat ke kamar, di sana Poppy sama Mia sedang terisak sambil memeluk ibu yang sedang tidur di atas kasur."Neneeek, bangun Nek, banguun kenapa Nenek pergi ninggalin kami, Nek," isak si Mia.Tegg. Mendadak jantung ini seperti ditebas samurai panjang. Hancur, melayang dan amblas dalam waktu bersamaan.Ibu? Kenapa sama ibu? Air mata menerobos begitu saja, rasa sesak dan lemas di persedian mendadak menyerangku. Aku pun ambruk di dekat Poppy dan Mia.Sementara para tetangga cepat mengelus pundakku."Yang sabar Mas Hasan yang sabar," bisiknya pelan."Ibuuu!!" Aku refleks berteriak mengeluarkan semua rasa sesak dalam dada."Ibuu, Ibu kenapa? Maafin Hasan Bu, maafin Hasan," cecarku lirih. Kupeluk ibuku yang sudah dingin dan terbujur kaku itu."Om Hasaan, Nenek Om Nenek." Mia berhambur memelukku. Anak itu tampak sesak dan li
Setelah kepergian ibu, semua emang masih kelihatan normal tapi aku tahu, gak ada yang baik-baik aja. Semuanya kehilangan dan semuanya kebingungan."Sedih banget Kakak San, setelah ibu pergi rasanya dunia Kakak berubah 180 derajat," kata Kak Alfa sore itu. Warung sudah agak sepi dari pembeli jadi kami kadang nongkrong di bangku panjang depan warung."Kenapa sih ibu harus pergi secepat ini? Di saat Kakak belum siap," kata Kak Alfa lagi. Asmi cepat elus pundaknya."Sabar, Kak."Jangankan Kak Alfa, aku saja rasanya sulit menggambarkan perasaanku sekarang."Dulu waktu masih ada ibu walau udah usia setua ini rasanya Kakak gak pernah yang namanya pusing ngurusin urusan Mia dan Poppy sampai ke akar-akarnya, sekarang baru sadar setelah ibu gak ada, Mia udah gede, bentar lagi dia lulus sekolah mana gak mau lanjut kuliah, gak mau kerja, mau nya dia langsung nikah muda sama pacarnya," ujar Kak Alfa lagi."Hah? Si Mia itu mau udah punya pacar rupanya?" tanyaku cepat.Kak Alfa mengangguk, "Kakak s
Esok hari Pukul 4 sore Mia neleponin Kak Alfa berkali-kali."Kak angkat tuh.""Gak ah males, biarin aja biar tahu rasa itu anak, dia pikir dia bisa apa kalau ngeyel sama, Kakak?" jawab Kak Alfa sambil meriject ponselnya kesal.Kak Alfa ini emang persis banget kayak ibu, kalau udah kesel ya kesel dia.Tring tring pada hari minggu kuturut ayah ke kota.Gak aneh kalau udah denger dering begitu ya pasti itu ponsel Asmi yang bunyi.Cepat kuambil di laci."Tuh 'kan si Mia nelepon ke sini sekarang." "Eh masa? Ada apa sih itu anak? Kok neleponin terus."Kak Alfa merebut ponselnya Asmi dari tanganku, buru-buru ia menerima panggilan telepon dari Mia dan meloudspeaknya."Halo Tante, Tante, Mama sama Om kapan balik sih?" tanya Mia tanpa basa-basi."Hmm ada apa emang?" tanya Kak Alfa ketus."Mama? Tadi Mia neleponin Mama kok gak diangkat-angkat kenapa sih?""Males.""Haeh Mama ini gimana sih? Katanya kalian mau pada ketemu sama calon Mia, ini orangnya udah di depan rumah Tante Asmi, tapi mereka g
"Gak tahu Aa juga bingung, kalau Kak Alfa marah karena kita maen asal terima, gimana?""Itu dia yang Neng bingung.""Kami paham mungkin Om dan Tantenya Mia ada sedikit kekhawatiran di hati karena Mia masih kecil, tapi untuk masalah ekonomi insya Allah Salman sudah cukup mampu untuk menafkahi keponakan Mas Hasan dan Mbak Asmi, selain itu kami juga bingung entah kenapa anak saya Salman sudah benar-benar mentok katanya, gak mau pindah atau ganti yang lain meski banyak wanita di luaran sana, jadi kami benar-benar berharap lamaran ini akan diterima." Pak Musa bicara lagi dengan wajah penuh harap.Aku dan Asmi makin bingung."Om ngomong, ngapain pada mikir sih? Udah buruan terima aja," bisik Mia di telingaku."Diem kamu Mia, gak segampang itu urusannya."Mia pun diam dengan bibir mencucu."Oh ya sampai lupa, ini ada hadiah sedikit untuk Mia, mohon kiranya diterima sebagai kenang-kenangan kami pernah berkunjung." Bu Fatimah menaruh jinjingan plastik yang kupikir itu adalah lapis.Tapi iseng
Nah 'kan kalau udah tahu itu emas aja warna matanya udah beda lagi aja. Hadeeh dasar Kak Alfa ... Kak Alfa ampun deh."Sini, ini emas Mia, Mia mau pake buat kawin lari aja kalau Mama gak mau nerima Salman jadi suami Mka." Cepat Mia merebut emas itu dari tangan Mamanya."Eh jangan, jangan dong Mia, masa iya kawin lari, duh pokoknya kalau itu laki-laki beneran baik dan kaya raya, Mama setuju, Mama setuju sama kalian berdua."Mia bergidik, "hih apaan sih, tadi katanya ogah.""Sekarang mau Mama terima itu laki-laki Mi, tapi dengan syarat dia harus baik sama kamu dan sama Mama," kata Kak Alfa lagi dengan semangat.Mia menjebik, "ya emang calon suami Mia baik, tar nikah aja maharnya mau dikasih duit 1 milyar," tandas Mia seraya melengos pergi menaiki anak tangga.Aku, Asmi dan Kak Alfa melongo."Duit 1 milyar? Yang bener itu anak San?" tanya Kak Alfa masih terbengong-bengong.Aku menggeleng bingung, gak tahu juga itu anak bener apa kagak. Tapi sejauh ini semua yang dia omongin emang gak ada
"Waktu itu sekolah Mia pernah berkunjung ke pabrik kami, saya lihat sekilas dia wajahnya kok manis banget ya, imut dan ... ngangenin," jawab Salman malu-malu.Mia mesam-mesem, cepat kusikut lengannya."Aheum ada yang muji jangan sampe idungmu terbang Mia, inget tuh idung gak bisa diganti sama belalai gajah.""Stress," balas si Mia.Aku terkekeh, sekarang Asmi yang injak kakiku di bawah."Awww.""Bisa diem gak?" bisiknya melotot. Aku nyengir saja.Obrolan kami akhirnya selesai. "Mari nanti diantar lagi oleh sopir Salman," kata Salman setelah berpamitan.Kami semua pun bangkit dari tempat masing-masing, tapi sebelum kami semua beranjak pergi, Kak Alfa malah memanggil pramusaji."Mas, Mbak bisa tolong sini gak?" katanya.Sontak saja kami pun berbalik badan. Ada apa lagi tuh Kak Alfa?"Mas, bisa gak ini sisa makanannya dibungkus?" tanya Kak Alfa pelan.Mia melongo dan cepat menghampiri Mamanya."Mama apaan sih malu-maluin deh.""Sayang Mia ini harganya mahal-mahal, masa makanan jutaan gi