Share

Gadis Polos

“Me-memuaskan bagaimana maksudnya?” tanya Santi bingung.

“Kamu lihat di sudut meja ini, ada sebuah tombol.”

“Ah … ini tombol yang bisa membuka akses untuk melihat ke dalam, ya?”

“Kamu sudah tau?”

“Tadi nggak sengaja kepencet, dan …”

“Dan apa?” selidik Aldo.

“Dan itu …”

“Itu? Itu apa??”

“Tamu Pak Bima tadi … itu …”

“Kamu ini pura-pura bego atau emang beneran polos, sih?” tanya Aldo tak sabar.

“Aku benar-benar nggak tau soal begituan, Pak!”

“Lalu yang kamu tahu sebagai tugas sekretaris itu apa?”

“Maaf, Pak! Aku memang belum begitu tau apa saja tugasnya, tapi aku akan berusaha untuk melakukan semuanya yang terbaik.”

Aldo memperhatikan Santi dengan seksama, dan tersenyum tipis. “Pantas saja Bima marah-marah tidak jelas, sepertinya gadis ini benar-benar polos.”

“Pak?? Jadi apa tugasku?” tanya Santi, melambaikan tangannya di depan Aldo yang malah melamun.

“Ohhh … untuk sementara cukup itu aja dulu. Nanti aku akan kasih tahu lagi kedepannya bagaimana. Dan alangkah baiknya kalau nanti ada tamu penting, kamu belajar dari tamu itu.”

“Belajar apa, Pak??”

“Memuaskan Bos kamu lah!!”

“Owh, pantes aja tadi si Bos kayak kesal gitu sama aku,” tutur Santi.

Aldo dibuat terperangah dengan ucapan Santi yang benar-benar polos itu. Tapi, di satu sisi ada rasa tidak tega juga jika gadis sepolos Santi menjadi korban Bima.

“Nanti akan ada tamu penting untuk Bima, namanya Wilona. Kalau dia sudah datang, langsung suruh masuk aja, ya. Aku masih ada urusan, bye!!” Aldo melambaikan tangan setelah mematikan ponselnya.

Santi hanya tersenyum dan memperhatikan kepergian Aldo dengan penuh tanda tanya. Setelah itu, dilihatnya catatan yang sudah dibuatnya tadi. Dia mencoba untuk menghafal semua itu agar tidak salah.

Saat sedang mencoba mengingat hal penting apa saja yang harus dilakukannya, samar tercium aroma lavender yang memabukkan. Semakin lama semakin kuat diiringi dengan suara langkah kaki yang bisa dipastikan milik seorang wanita.

Klotak! Klotak!

“Bima ada?” tanya seorang wanita seksi menggunakan baju berwarna merah terang dengan rambut panjang yang tergerai hingga punggung.

“Dengan siapa, ya? Sudah ada janji?” tanya Santi.

“Ya iyalah. Aku Wi-lo-na.”

“Oh, Mbak Wilona ternyata. Silahkan masuk, Mbak. Udah ditunggu sama Pak Bima di dalam,” ujar Santi ramah.

Wilona mengibaskan rambutnya sambil berjalan dengan langkah yang dibuat seanggun mungkin. Hal itu tentu saja menarik perhatian Santi yang memang secara khusus diminta belajar dari tamu penting yang dimaksud Aldo tadi.

“Apa aku juga harus berjalan seperti itu tadi? Tapi, dengan high heels setinggi itu??” Santi tak bisa membayangkan jika harus meliuk-liukkan tubuhnya dengan heels yang panjangnya mungkin saja lebih dari 10 cm itu.

Sementara dia sendiri memakai heels ukuran tiga sentimeter saja sudah berkali-kali terjatuh. Luka di lututnya saja masih belum sembuh akibat jatuh kemarin.

Santi jadi teringat ketika Bima berjongkok di depannya, dan dengan lembut mengobati lukanya itu. Tanpa sadar tangannya menyentuh kulit pahanya yang kemarin sempat disentuh oleh Bima. Ditambah ketika tadi dia memperoleh sentuhan lembut di bagian yang selama ini belum pernah disentuh siapapun.

Pikirannya mulai melayang kemana-mana, sampai akhirnya dia dikejutkan oleh suara Wilona yang seperti menahan sesuatu dari dalam ruangan Bima. Karena penasaran, Santi memencet tombol rahasia yang ada di meja dan melihat aktivitas apa yang sedang terjadi di sana.

Santi secara refleks menyentuh dadanya sendiri ketika melihat Bima tengah mengeksplor milik Wilona dengan mata yang menggelap. Diremas dua benda kenyal yang ada di genggamannya mengikuti apa yang dilakukan Bima pada Wilona.

“Perasaan apa ini? Kenapa aku sangat menyukainya? Aku seperti sedang terbang ke awang-awang … ahhh …” Santi menutup bibirnya ketika melihat Bima membenamkan wajahnya di antara gundukan padat milik Wilona.

Ditutupnya celah tersebut karena tidak kuat lagi untuk melihatnya. Tubuhnya terasa panas hanya dengan melihatnya saja. Buru-buru dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan miliknya yang terasa sangat basah itu.

“Aahhh … kenapa aku jadi membayangkan kalau Pak Bima melakukan itu padaku?” gumam Santi tak habis pikir. Segera dibersihkan miliknya dengan air dan mengeringkan dengan tisu toilet. Begitu selesai, Santi tak langsung kembali ke mejanya karena takut mendengar semuanya lagi.

“Haii .. kamu karyawan baru di sini, ya?”

Santi menoleh ke arah suara yang menyapanya dari belakang. Ada beberapa wanita cantik yang tersenyum ke arahnya. Mereka terlihat ramah dan bersahabat.

“Haiii .. iya, Mbak. Aku baru masuk hari ini.”

“Kenalin aku, Tya. Dan ini Dina, kami dari bagian marketing.”

“Oh, iya. Aku Santi, Mbak.”

“Nggak usah panggil Mbak gitu, santai aja!!”

“Oh, iya! Mbak … eh, Tya. Dina.”

“Hahahaha … logatmu lucu juga, ya!”

“Ahh … aku emang berasal dari kampung, jadinya ya cara bicaraku mungkin memang sedikit beda sama yang lain.”

“Iya, nggak apa-apa. Santai aja kali, kita juga bukan tipe orang yang beda-bedain ras suku bangsa, hahaha …,” canda Tya.

“Makasih kalau gitu.”

“By the way, kamu di bagian mana? Kok aku nggak liat di ruangan sini?”

“Ahhh … itu aku kebetulan jadi sekretarisnya Pak Bima.”

Tya dan Dina langsung saling menatap tak percaya. Kemudian mereka memperhatikan Santi dari atas sampai bawah.

“Kenapa?” tanya Santi.

“Bukannya apa-apa nih, ya! Tapi, bukannya toilet sekretaris Pak Bima itu ada di atas, ya? Kenapa kamu malah ke sini?”

“Loh? Di atas kan hanya ada satu toilet buat si Bos.”

“Iya, tapi biasanya itu dipakai barengan sama sekretarisnya juga. Kamu belum dikasih tahu??”

“Aku nggak tahu.”

“Emmm … ya udah kalau gitu. Mending kamu segera balik aja ke tempatmu, takutnya nanti dicari si Bos,” kata Tya.

“Iya, bisa gawat kalau Bos nyari tapi kamu nggak ada!” imbuh Dina.

“Ya udah kalau gitu aku balik dulu, ya. Makasih udah ingetin,” kata Santi seraya berjalan menuju tempat kerjanya.

Setibanya disana, ternyata Wilona belum juga keluar dari sana. Tapi sudah tidak terdengar suara aneh-aneh lagi dari dalam sana. Baru saja Santi ingin duduk di kursinya, terdengar suara benda pecah dari dalam ruangan dibarengi suara teriakan Wilona .

Pyarrrr!!!

“Aaahhhh!!!”

Santi segera melihat dari balik celah dan melihat vas bunga yang sudah pecah berantakan di lantai.

“Kamu kenapa sih, Bim?? Nggak biasanya begini!!” pekik Wilona.

“Keluar!!”

“Tapi, kenapa?? Aku bahkan belum bisa membuatmu pu-“

“Aku bilang keluar!!!”

Mendengar suara teriakan Bima membuat Wilona takut dan segera memakai kembali bajunya. Diambilnya tas yang ada di sofa dan segera keluar dari ruangan itu.

“Apa kamu liat-liat??” tanya Wilona ketus karena Santi menatap ke arahnya.

“Maaf, Mbak!! Aku nggak bermaksud apa-apa.”

“Huhhh!!!” Wilona menghentakkan kakinya sambil melangkah pergi ke luar dari sana.

“Salahku apa, sih??” gerutu Sinta.

“SANTII!!!!”

Santi sampai terlonjak kaget mendengar teriakan Bima dari dalam. Dengan cepat Santi segera masuk ke ruangan dan mendapati wajah bos barunya itu memerah.

“I-iya, Pak! Ada apa, ya?”

Tanpa banyak basa basi Bima berdiri dan mencium Santi dengan liar.

“Hmmhhhpp!!” Santi tak kuasa melawan Bima yang tentu saja tenaganya lebih kuat.

“Tenangkan yang di sana!!” ucap Bima di sela ciumannya.

Santi sampai terlonjak kaget saat Bima mengarahkan tangannya ke bagian inti tubuh sang bos yang terasa begitu keras dan besar itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status