Cesa seketika mematung kala melihat raut wajah sepupu Cesa yang begitu menyeramkan.
Wanita itu bahkan hendak menampar wajah Cesa jika saja Dokter paruh baya yang menangani Danu tidak keluar!
"Mohon maaf, keluarga pasien. Saya ingin memberitahukan bahwa Bapak Danu baru saja melewati masa kritisnya," ucap pria itu memecah keheningan.
“Dokter! Apakah Papa saya bisa dijenguk, Dok?” tanya Eve cepat.
Dokter itu mengangguk. “Hanya saja, saya harap keluarga Bapak Danu bisa tenang dan tidak membuatnya banyak pikiran.”
Setelah dokter itu menyelesaikan penjelasannya, dokter itu pamit dan ketiga wanita itu bergegas masuk.
Mereka menemukan Danu sudah membuka mata meski masih terlihat sedikit lemah.
"Pa!" ucap mereka bersamaan.
"Papah gak apa-apa! Duduklah!" jawab pria itu mencoba menenangkan.
"Ini semua karena kamu, Sa! Suami saya sangat mempertahankan kamu!" ketus Mama Berli tiba-tiba.
Melihat itu, Danu menghela napas. “Sudahlah, Ma.”
“Tapi, Mama benar! Padahal, perusahaan kolaps, tapi kenapa Kak Cesa masih egois?” timpal Eve.
Cesa sendiri hanya diam–menahan air mata.
"Maaf," ucap gadis itu pada akhirnya.
Suasana ruangan itu seketika hening.
Menahan lemas, dia memberikan kode pada istri dan putrinya untuk keluar–meninggalkannya dan Cesa di sana.
"Tender besar tahun lalu ternyata fiktif, Nak. Sehingga, perusahaan menanggung kerugian yang sangat besar ... Maaf Papa tak bisa menjaga amanah Ayahmu!" lirih Danu memecah keheningan.
Cesa menggeleng. "Papa sudah mengembangkan sampai seperti ini, Papa gak salah!" jawabnya.
Danu memaksakan senyum mendengar pembelaan keponakan yang sudah dianggapnya anak itu. "Mungkin kamu bisa menebaknya, Nyonya Atmaja datang menawarkan solusi dengan syarat menikahkan kamu dengan Zevin!
"Tapi, Papa tidak rela," lanjutnya, “kamu seharusnya mengejar mimpimu sebelum menikah.”
Cesa mengangguk.
Kekecewaannya pada Danu berakhir sudah. Ternyata pria itu itu tak ingin menjual dirinya.
Hanya saja, Cesa justru menjadi kecewa pada dirinya. Gadis itu bimbang dengan keputusan apa yang akan dia ambil.
Jujur, dia tak ingin semakin membuat Papanya menderita dan banyak tekanan. Tapi, di sisi lain, Cesa juga tidak mau menjadi mesin pencetak anak.
Di sisi lain, ucapan Eve menghantuinya.
Apakah akan ada laki-laki baik yang akan menerima dirinya yang tak bisa menjaga keperawanannya?
"Cesa, papa minta izinmu agar kita relakan saja perusahaan Ayahmu. Meski kita tidak hidup senyaman sebelumnya, Papa akan mencari kerja pada teman-teman Papa nanti!" ucap Danu–menyadarkan Cesa dari lamunan.
“Meski miskin, kita berempat akan bahagia. Kamu juga bisa–”
"Tidak!" pekik ibu angkat Cesa yang tiba-tiba masuk, "Mama dan Eve gak mau miskin, Kamu harusnya tau balas budi sama Papamu yang merawatmu, Cesa!"
Wanita paruh baya itu seketika menatap tajam Cesa. "Apa sih susahnya hamil? Toh, kamu sudah tak suci, kan?"
"Berlina, aku bilang stop! Ini urusanku dan anakku!"
Suara Papa Danu tak kalah tinggi pada istrinya.
Cesa tampak menutup matanya di antara perdebatan itu. Hatinya tersayat. Tapi, dia tak mau melihat Danu memusingkan semuanya seorang diri.
Sepertinya, keputusan yang sangat berat perlu Cesa ambil.
Ditariknya napas panjang sebelum berkata, "Baiklah ... Aku mau menikah dengan Om Zevin!"
Ketiga orang di dekatnya bahkan tampak terkejut.
"Nak! Papa tak akan menumbalkanmu! Kamu–”
Cesa tersenyum. "Aku tahu, Pa. Tapi, Cesa juga ingin mengabdikan diri Cesa. Jadi, jangan khawatir, ya" lirihnya. Papa Danu menggeleng penuh kesedihan. Namun, Cesa tak mau menatapnya. Dia langsung berkata cepat pada sang ibu angkat, "Hubungi tante Vivi, sebelum Cesa berubah pikiran, Ma!" Mama Berli sendiri hanya tersenyum senang dan berbalik untuk menghubungi Nyonya Atmaja. Perusahaan sudah ada di ujung tanduk. Dan Cesa berhasil ditumbalkan–sesuai rencananya dan Eve. Di sisi lain, Vivian sangat bahagia. Nyonya besar Atmaja itu bahkan ingin menikahkan Zevin dengan Cesa sore itu juga. Dibawanya penghulu ke rumah sakit dan dua wali pernikahan agar anaknya dan Cesa segera menikah. Dengan baju seadanya, Cesa duduk di samping sang Papa sambil menunduk. Dia tak berani hanya untuk sekedar menatap Zevin. "Zevin, saya nikahkan dan kawinkan engkau, dengan keponakan saya, Zevalethea Cesa Valentino binti valentino irwanda dengan mas kawin logam mulia seberat 300 gram dan satu set perhiasan dibayar tunai!" "Saya terima nikah dan kawinnya, Zevalethea Cesa Valentino dengan mas kawin tersebut, Tunai!" ucap pria itu lancar. Hanya saja, Cesa dapat melihat Zevin menatapnya dingin. "Bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu. "Sah!" Kata sah seketika menggema di rumah sakit itu. Menyadarkan Cesa atas pernikahan menyedihkannya yang sudah berlangsung. Namun, Vivian tiba-tiba mendekati Cesa dan memeluknya, "Terima kasih, Sa! Sudah mau menjadi menantu, Mama!" Cesa mengangguk. Hanya saja, ada satu hal yang membuat dirinya begitu penasaran. "Kalau boleh tahu, kenapa tante Vivi ingin Cesa jadi menantu tante?" Vivian mengurai pelukan itu dan menatap Cesa dengan senyuman. “Nanti, kamu akan tahu.” Tak menunggu lama, Cesa pun diboyong keluarga Atmaja. Tak ada sedikitpun percakapan di dalam mobil. Zevin bahkan hanya menatap jendela terus-menerus. Pria itu bagaikan patung setelah akad pernikahan. Setahu Cesa, Zevin memang sangat mencintai tante Diandra. Tapi, kenapa pria itu menerima pernikahan ini? "Sa, Mama sangat sayang denganmu!" Ucapan Nyonya Atmaja memecah keheningan dan membuyarkan lamunan gadis itu. "Cesa juga sangat menyayangi tante Vivi sebagai pengganti Ibu …” balas Cesa, “tapi, tante belum menjawab pertanyaanku sebelumnya. Kenapa Cesa harus jadi menantu Tante?" "Bagaimana dengan tante Diandra?" lanjutnya, lagi--menyinggung istri Zevin yang kini menjadi kakak madunya.Mendengar petanyaan Cesa, Vivian malah kembali tersenyum. "Kau selalu mengingatkanku pada Ibumu!”“Panggil aku Mama, Sa! Kau menantuku sekarang!"Nada suara Vivian sudah kembali otoriter dan menuntut, membuat Cesa hanya bisa mengangguk.Vivian memang sahabat mendiang ibunya, dan selama ini Cesa berhubungan baik dengan wanita itu.Setelahnya tak ada percakapan lagi. Tak terasa, mereka pun tiba di Mansion Atmaja.Mereka semua turun dan masuk kedalam disambut oleh para maid, "Ini istri baru Tuan Zevin, kalian mengerti?" kata Vivian pada para maid.Semua menunduk. "Mengerti Nyonya Besar. Selamat datang Nyonya kecil!" ucap para maid serempak.Vivian mengangguk puas. Hanya saja, dia tiba-tiba mengerutkan kening dan bertanya pada kepala maid, "Oh, iya. Di mana Nyonya Muda Diandra?"Belum sempat salah satu dari mereka menjawab, Zevin tiba-tiba berkata, "Istriku sedang ke Paris."Nadanya begitu dingin sebelum berlalu melewati Vivian dan Cesa begitu saja, lalu menuju kamar.Cesa sedikit tersenta
Cesa seketika menatap nanar Zevin, "Kalau begitu, ceraikan aku.”Rasa hormat atau takut menguap dari dalam diri Cesa akibat tajamnya lisan Zevin. Sungguh, dia lebih baik hidup di jalanan dibanding menghadapi pria itu.Zevin seketika melepas kedua tangan Cesa.Karena tak siap, gadis itu limbung dan terlentang di kasur."Jika bisa, aku tak akan pernah menikahimu!" ucapnya dingin lalu keluar tanpa menoleh sedikitpun–meninggalkan Cesa yang kini kembali menyusut air matanya."Tidak apa, Cesa! Kamu hanya harus kuat untuk papa!" gumamnya–menguatkan diri.Cukup lama dia menata pikirannya setelah drama-drama yang dialaminya hari ini.Tak sadar, dia pun tertidur.Hanya saja, beberapa jam kemudian, Cesa merasakan pundaknya disentuh seseorang."Nak, Bangun!"Vivian tampak menggoyang tubuh Cesa sembari menahan senyum.Melihat kebaya Cesa robek dan banyak bekas merah di dadanya, Vivian meyakini itu ulah putranya."Tante?” Cesa mengerjapkan mata, terkejut."Mama, Cesa. Bukan Tante!" tegas Vivian, "Se
Masih tertegun dengan keadaan tiba-tiba itu, Cesa melihat Diandra masuk dengan mata merahnya."Cesa! Kau?!" kagetnya."Tante Di, Cesa—"Ucapan Cesa terputus karena bingung harus berkata apa.Terlebih, Diandra tiba-tiba histeris dan meneteskan air mata. "Teganya kamu, Sa! Aku berfikir kamu gadis baik-baik, kenapa kamu justru merebut suamiku?"Zevin yang sudah tertidur, bahkan terbangun.Pria itu langsung berdiri dan menghampiri Diandra yang ada di depan Cesa."Maafkan aku! Aku tak bisa menolak perintah Mama!"Namun, Diandra menangis semakin kencang sambil memukuli dada suaminya, "Teganya kamu menyakiti aku, Mas!""Cesa hanya akan di sini sampai dia melahirkan anak untukmu, Di!" kata Zevin datar pada Diandra walau hanya berdiri tanpa merengkuh istrinya."Tetap saja aku sakit, apa tidak bisa adopsi saja, Mas? Aku tidak rela melihatmu dengan perempuan lain!" manja Diandra."Tidak!" lembut Zevin menenangkan Diandra.Perlakuan Zevin pada Diandra sungguh berbeda dibandingkan pada Cesa!Gadis
Sepanjang Malam Cesa hanya bisa meratapi nasibnya sambil meringkuk di bath up dingin itu.Dingin yang sekaligus bisa membekukan hatinya untuk suami dan istri pertama suaminya yang sama-sama kejam.Hingga tanpa terasa Cesa bisa terlelap saat dini hari.Baru saja matanya terpejam, Cesa merasakan panas yang luar biasa di kakinya.Sontak Cesa terbelalak dan berdiri keluar dari bath up."Hahaha— Dasar jalang pemalas!" hina Diandra sambil tertawa menang.Glek!Cesa menelan salivanya berat saat mendengar penghinaan itu dengan tatapan tajam.Diandra sungguh keterlaluan!Cesa marah? Tentu saja, siapa yang tidak marah.Pasalnya, Diandra menyalakan pengisi bath up dengan air panas saat dia tidur."Daripada Tante, sudah tua tapi tak punya etika!" sindir Cesa tak kalah pedas."Kau—" tunjuk Diandra meradang, "Kau yang tak punya etika pada orang tua!" pekiknya.Cesa muak mendengar ocehan Diandra dan memilih pergi meninggalkan kamar mandi."Merusak pagiku saja!" gerutunya pelan sambil berjalan keluar
Cesa menarik nafas panjang sambil tersenyum.Yah, senyuman menahan amarah dan penuh kepalsuan, "Baik, Pak!"Cesa kembali menuju pantry dan membuat secangkir kopi yang baru."Kenapa dia menghantui hidupku! Argghhhh!" kesal Cesa.Cesa merasa terjerat hubungan tak kasat mata dengan Zevin, hingga Cesa berfikir sedang terkena azab.Zevin sudah seperti malaikat maut di mata Cesa.Dengan menetralkan hatinya lumayan lama, Cesa kemudian kembali membawakan kopi untuk suami presdirnya."Silahkan diminum, Pak!" ucapnya dengan senyum manis.Pasalnya kini disebelah Zevin ada Arga- asisten pribadi Zevin.Zevin langsung menyambar cangkir itu dan sesaat kemudian bernasib sama dengan cangkir pertama.Prang!"Sudah dingin! Buatkan lagi!"Cesa tampak menghela nafas panjangnya lagi.Dia berbalik dan menuruti perintah Zevin dengan hati yang mulai panas."Sepertinya aku benar-benar berurusan dengan pasien rumah sakit jiwa!" kesal Cesa."Dingin otakmu!" pekiknya.Jelas-jelas kopi itu masih sangat panas bahkan
Tut!Seketika panggilan teleponnya dengan Arga berakhir.Dan Zevin tetap diam memandang lepas hamparan lampu.Mengingat kembali kejadian kemarin.Saat pertemuan bisnisnya di hotel Royal Pallace, dan tiba-tiba merasakan tubuhnya seperti terbakar.Zevin kemudian pergi ke kamar mandi berharap bisa mendinginkan kepalanya.Namun, justru mendapati wanita yang sepertinya juga dijebak seperti dirinya.Tanpa berfikir panjang, Zevin langsung menyambar tubuhnya dan membawa ke kamarnya."Dia masih perawan! Oh shiitt ... Aku merusak anak gadis orang!" batinnya.Zevin benar-benar terganggu dengan kegiatan panas dengan wanita asing itu, hingga tak bernafsu dengan Diandra lagi.Zevin kemudian menatap bekas gigitan di tangannya."Tanda cinta bahwa aku telah mengambil kesucianmu!" gumamnya pelan.Sejujurnya Zevin sangat bingung, jika dia menemukan wanita berkalung bunga peony itu, apa yang akan dia lakukan?Menjadikan dia istri ketiga?Atau memberi kompensasi berupa uang? Ahh, dia bukan wanita murahan.
Tentu saja Zevin mendengar suara benda pecah dan teriakan Cesa, tapi dia memilih abai. Zevin masih kesal dengan Diandra yang seenaknya sendiri pergi dan pulang kapanpun. Zevin mulai muak! Dan bertambah muak dengan adanya istri keduanya yang dipikirannya adalah seorang jalang. Karena itulah, dia begitu ingin membuat Cesa tidak betah di rumah ini. Zevin memilih untuk masuk ke dalam kamar dan berusaha mencari informasi tentang wanita berkalung bunga peony. Dia merasa tak bisa mengandalkan Arga dalam urusan ini. "Aku yakin, Kalung bunga peony itu bukan sembarang kalung, karena blue diamondnya itu bisa memancar di kegelapan!" gumam Zevin sambil membuka situs barang langka. Mencari dimana bisa menemukan benda itu, agar Zevin tau siapa pemiliknya. Set
Cesa masih shock dengan apa yang baru saja di dengar. Hingga tanpa dia sadari Felicia telah keluar dari pantry dengan seringai merendahkan. Cesa dengan berat menelan salivanya. Dengan hati yang masih mengganjal, Cesa berjalan menuju ruangan Presdir. "Permisi Pak, Silahkan diminum!" ucapnya sambil menaruh secangkir kopi di meja Zevin. "Siapa yang menyuruhmu meletakkan di meja!" desis Zevin. "Maaf, Pak!" jawab Cesa kemudian kembali mengangkat kopi itu. Zevin hanya menatap Cesa, "Arga, Keluarlah! Segera cek yang saya informasikan barusan!" titahnya tanpa melihat Arga. "Baik, Pak tentang kalung atau rekan yang—" Belum sempat melanjutkan ucapannya, Zevin lebih dulu menginterupsi, "Ya, Kalung!" Arga mengangguk dan kemudian undur diri. "Letakkan!" titah Zevin setelah Arga menutup pintu. Setelah meletak