Share

4. Melamar

Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras.

Melihat hal itu Katherine langsung manyun.

"Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti.

"Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine.

Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana.

'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini.

Detik selanjutnya, William mengurai pelukan.

"Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah."

Katherine hanya membalas dengan anggukan singkat. Dia masih berusaha memahami apa yang telah terjadi padanya saat ini.

"Nanti sempatkan waktu untuk meminta maaf pada mamamu ya," ungkap William.

'Tidak akan, enak saja, setelah dia membuat aku kesakitan semalam!' Katherine hanya dapat membalas ucapan papanya di dalam hati.

Agar tak membuat William mengulangi perkataan, dia pun melempar senyum kaku. "Hmm, iya Pa."

"Ya sudah kalau begitu papa keluar dulu, kalau sudah diperiksa dan diberi obat, langsung tidur, tubuhmu pasti masih kedinginan." Sebelum keluar, William memperingati anak kandungnya tersebut.

Lagi dan lagi Katherine balas dengan tersenyum.

"Oh ya papa hampir lupa, tadi Karl menghubungimu tapi tidak kau angkat-angkat, sepertinya calon menantu papa itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu," sambung William lagi dengan sudut bibir terangkat sedikit.

Mendengar nama Karl disebut, bayangan percintaan Lea dan suaminya itu berputar-putar di benaknya kembali. Mulai mendidih darah Katherine. Tangannya langsung terkepal erat, menahan amarah yang meluap-luap di dalam dadanya sekarang.

Hal itu membuat senyum William memudar. Dengan kening berkerut dia pun kembali berkata.

"Katherine, kau akan menelepon Karl 'kan? Tadi dia meminta papa menyuruhmu untuk menghubungi balik."

"Iya Pa," balas Katherine pada akhirnya sambil mengubah ekspresi wajah.

"Baiklah, kalau begitu papa keluar dulu," ujar William lalu memutar tumit. Namun, pergerakkan kakinya terhenti tatkala Katherine menahan tangannya tiba-tiba.

"Tunggu Pa, ada yang mau aku sampaikan sebentar sama Papa."

William merekahkan senyum sesaat."Iya sampaikanlah Sayang."

"Pa mungkin ini kedengarannya sedikit gila, tapi Pa aku perlu menyampaikannya. Semalam aku dibunuh sama Zara, Lea dan Karl. Mereka juga membunuh anakku yang baru saja lahir lalu ...." Perkataan Katherine terjeda saat ingin memberitahu kematian papanya tersebut. Tapi, dia sangat tak tega.

Demi menetralisir rasa canggung yang mendera, Katherine mengeluarkan dehaman cukup kuat kemudian menatap William lekat-lekat, yang saat ini memandangnya dengan raut wajah serius.

"Pokoknya Zara, Lea dan Karl orang jahat Pa, hehe," balasnya diiringi cekikikan rendah di akhir kalimat.

Tak ada tanggapan, William bungkam sambil memandangi wajah Katherine dengan seksama.

"Pa?" panggil Katherine.

William tiba-tiba menempelkan telapak tangan ke kening Katherine. "Astaga, anakku ini kepalanya mungkin terbentur bebatuan. Baiklah sekarang kau berbaring, Dokter sebentar lagi akan datang."

Sontak dahi Katherine mengerynit. Secepat kilat ia menurunkan tangan William.

"Tapi Pa, aku tidak berbohong," protes Katherine dengan bibir merengut.

"Shft, sudah, kau berbaring ya." Secepat kilat William menuntun Katherine naik ke atas tempat tidur.

Katherine hanya dapat pasrah. Usai itu, William bergegas pergi keluar. Grace pun mulai mendekati Katherine. Tak sampai lima menit, seorang dokter melenggang masuk ke dalam kamar, memeriksa keadaan Katherine.

Setelah selesai dokter pamit undur diri. Katherine pun menyantap makanan yang disajikan Grace di tempat tidur dan tak lupa meminum obat yang diberikan sang dokter.

"Nona, sepertinya ini telepon dari Tuan Karl." Grace menghampiri sembari membawa ponsel mini milik Katherine.

Katherine meletakkan perlahan gelas ke nampan lalu melirik ponsel tersebut sekilas. "Matikan saja."

Perintah yang diberikan Katherine membuat Grace keheranan. "Tapi Nona—"

"Turuti saja kemauanku Grace, aku malas berbicara dengan pria gila itu," balas Katherine sambil memutar mata ke atas sejenak.

Kebingungan Grace bertambah dua kali lipat hingga menciptakan kerutan di dahinya. Meskipun begitu dia patuhi juga kemauan sang majikan.

"Tumben, biasanya Nona akan menelepon Tuan Karl setiap jam, setiap menit dan setiap detik." Setelah ponsel dimatikan dan ditaruh ke tempat semula, Grace langsung memberi tanggapan.

Katherine menoleh, mulai teringat sikapnya dahulu kepada Karl, yang kalau dipikir-pikir sangat bucin. Bucin tingkat dewa. Katherine bergedik ngeri dan sedikit geli akan kelakuannya itu.

"Oh my God, bodoh sekali aku dulu," balas Katherine kemudian membuat Grace melonggo.

Grace ingin bertanya namun Katherine terlebih dahulu membuka suara.

"Sudah jangan banyak bertanya, kau tidak akan mengerti, siapkan perahu kecil, sekarang kita pergi ke istana, aku ingin bertemu Pangeran Frederick."

"Jangan banyak membantah dan jangan sampai orang tahu kita ke istana!" sambung Katherine kembali saat melihat raut muka Grace seolah-olah akan memarahinya.

Sebelum keluar, Grace menghentak-hentakkan kaki ke lantai sejenak, melampiaskan kekesalannya pada Katherine. Dia takut akan dimarahi William nanti.

Katherine menanggapi sikap Grace dengan terkekeh-kekeh pelan.

Sesudah itu Grace pun bergegas keluar dari kamar, melaksanakan perintah Katherine.

"Terima kasih Tuhan." Setelah melihat punggung Grace menghilang di balik pintu, Katherine langsung mengucap syukur.

Tadi, ketika sedang diperiksa dokter, Katherine baru sadar jika dirinya tidak mati atau bermimpi. Melainkan kembali ke masa lampau. Entah apa yang terjadi, tetapi Katherine sangat senang. Dia pun berencana akan membalaskan dendam pada Zara, Lea dan Karl. Dia pun sangat bersyukur dapat melihat papanya dalam keadaan sehat. Kemarin kepergian William menyisakan trauma mendalam bagi Katherine.

"Nona, perahu sudah siap." Tak berselang lama Grace masuk ke kamar.

Katherine mengangguk, kemudian secara diam-diam pergi ke istana bersama Grace menaiki perahu kecil.

Sesampainya di sana, Katherine meminta Grace menuntunnya ke tempat biasa pangeran Frederick bersantai. Selama ini Katherine jarang pergi ke istana meskipun dia memiliki hak karena status papanya lumayan tinggi.

Lea dan Zara yang selalu menemani William ke istana. Sementara Grace kadang kala pergi ke istana saat disuruh Zara untuk menemani Lea.

"Akhirnya dapat, luas juga istana ini." Katherine menghentikan langkah kaki. Melihat Frederick di ujung sana menunggangi kuda putih. Dengan cepat dia mendekati Frederick.

"Pangeran maaf menganggu waktumu, maukah kau menikah denganku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status