Share

3. Surga?

Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut.

"Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap.

William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang.

Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine.

"Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.

Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan.

Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine.

'Tempat ini keren sekaligus aneh, jadi ini rasanya berada di surga?' Katherine bertanya pada diri sendiri.

"Kak, mengapa Kakak menampar Mama?" Sedari tadi Lea menunggu jawaban sambil memeriksa keadaan Zara yang saat ini wajahnya nampak sendu.

"Nak, ada apa denganmu?" William pun menimpali. Lelaki bertubuh gempal itu masih memeriksa keadaan Zara. Takut bila sang istri terluka.

Seringai tipis langsung terukir di wajah Katherine seketika. "Karena kau pantas mendapatkan tamparan."

Amarah yang membuncah di hati Katherine, akhirnya menjadi sebuah dendam yang tak mampu lagi ditahan. Bukan kah ini mimpi atau bisa jadi surga. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang diinginkannya.

Namun, Katherine tak menyadari jawaban yang dilontarkan barusan membuat William mulai tersulut emosi. Wajah lelaki tersebut mendadak berubah menjadi merah padam. Begitu pula dengan Lea, mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

"Katherine, ada apa denganmu?! Lancang sekali kau!" seru William menggebu-gebu.

Katherine hendak menyanggah. Tetapi, Zara tiba-tiba angkat suara.

"Sudahlah Sayang, mungkin karena terjatuh dari kapal, kepala Katherine terbentur." Zara langsung mengelus dada William, sedang berusaha menenangkan suaminya.

Dalam sekejap ekspresi wajah William langsung berubah. Dia pun menoleh ke arah Zara. "Tapi Sayang, lihatlah pipimu merah."

Zara mengulum senyum tipis seraya melirik Katherine sekilas.

Katherine memilih diam dengan alis kanan terangkat sedikit.

"Tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja," balas Zara kemudian.

Membuat Lea terperangah sesaat, padahal jelas-jelas pipi Zara terlihat merah dan bekas jari-jari Katherine membekas. "Tapi Ma, Kakak sudah keterlaluan."

"Iya lihatlah pipimu merah Sayang," timpal William.

Zara menggeleng cepat sambil melempar senyum lebar. Sebuah senyuman yang tak memudar sejak tadi.

"Aku baik, sudahlah jangan diperpanjang, sebaiknya panggil dokter ke sini sekarang untuk memeriksa keadaan Katherine."

William dan Lea membuang napas kasar bersamaan. Tak lagi menanggapi Zara.

'Cih, benar-benar ular, lihatlah dia.' Katherine menyipitkan mata tatkala melihat sikap Zara yang ternyata selama ini hanyalah sandiwara.

"Katherine, apa kepalamu sakit Sayang?" Zara tiba-tiba mendekati Katherine lalu memegang kedua pundak anak sambungnya. Sebuah tatapan kasih sayang pun terpancar dari bola matanya. Akan tetapi, bagi Katherine tatapan itu adalah tipu daya semata.

Katherine tentu saja agak terkejut saat ini. Namun, dengan cepat dia mundur beberapa langkah dan tak lupa melayangkan tatapan dingin juga.

Riak muka Zara langsung sendu.

"Katherine, ada apa denganmu?!" Untuk kedua kalinya William menahan kesal, melihat sikap putri kandungnya tak seperti biasanya.

Bukannya membalas perkataan William, Katherine mendengus lalu buru-buru menarik tangan Grace hendak pergi ke kamar.

"Katherine, papa belum selesai bicara!" panggil William dengan napas mulai memburu.

Namun Katherine tak sedikit pun berniat menghentikan langkah kaki. Dia menarik-narik tangan Grace yang saat ini tengah ketakutan, karena William memandang ke arah mereka dengan tatapan tajam.

"Kakak berhenti!" Lea pun tak kesalnya hendak menggerakkan kaki. Tetapi, Zara menahannya seketika.

"Lea sudahlah, Kakakmu sepertinya sedang sakit, biarkan dia beristirahat," ujar Zara.

Lea mengeluarkan decakan setelahnya."Tapi Ma, walaupun dia sedang sakit, Kakak sudah keterlaluan. Dia harus minta maaf sama Mama!"

"Lea benar Sayang, aku akan menemuinya nanti, sekarang kita masuk ke dalam, aku akan mengolesi pipimu ini agar tidak membekas." William membelai pelan pipi Zara sebentar.

"Benar Pa, temui Kakak, dia sudah membuat pipi Mama merah, sudahlah aku mau ke kamar dulu." Dengan tergesa-gesa Lea melenggang pergi. Meninggalkan Zara dan William saling lempar pandang.

"Sayang, kau jangan kasar dengan Katherine. Sepertinya kepalanya terbentur tadi, aku benar-benar minta maaf karena lalai menjaganya," ucap Zara setelah melihat punggung Lea menghilang di balik pintu kapal.

"Iya, tapi walau bagaimana pun sikapnya sangat keterlaluan, sudahlah ayo kita masuk, aku tidak bisa berlama-lama melihat kau terluka." Tanpa mendengarkan pendapat, William menarik tangan Zara dan menuntunnya menuju kamar mereka.

Selagi William mengurusi Zara di dalam kamar. Katherine duduk di tepi ranjang dengan tatapan nelangsa. Dia begitu heran, apa dia benar-benar sudah mati atau belum.

Tadi, sesudah membersihkan diri dan mengganti pakaian. Katherine meminta Grace mencubit tangannya tatkala mendengar perkataan tangan kanannya itu sama persis sewaktu itu.

Katherine mulai ragu jika sedang bermimpi.

"Nona, apa mau aku ambilkan teh?" Berjarak dua meter Grace berdiri sambil menghadap ke arah Katherine sejak tadi.

Katherine tak menjawab, masih tercenung dengan dunianya sendiri.

"No ...." Perkataan Grace seketika terhenti saat mendengar bunyi pintu kamar didorong dari luar. Dengan cepat dia menoleh, melihat William berdiri.

Grace hendak menggerakkan bibir. Namun, William memberi bahasa isyarat untuk diam dan menyuruhnya keluar dari kamar Katherine sekarang.

Grace mengangguk. Secara perlahan-lahan memundurkan langkah kemudian berlalu pergi, meninggalkan William mulai mendekati Katherine.

Katherine tak menyadari keberadaan William. Dia bergeming.

"Katherine," panggil William seketika sambil memegang kedua pundak Katherine.

Lamunan Katherine mendadak buyar. Dengan cepat dia mendongak kemudian beranjak dari kasur.

"Pa, coba Papa tampar aku, apa aku sudah mati atau belum saat ini?" tanya Katherine dengan mimik muka serius.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status