Lea bertanya seraya melempar senyum simpul. Sejak tadi sudah memperhatikan Frederick dari kejauhan ketika pasangan suami istri itu dihadang pengawal. Tentu saja dia tak mau melewatkan kesempatan untuk menggoda Frederick. Lea mengerutkan dahi saat Frederick tak merespons sama sekali. Lelaki itu pandangi dia sangat datar, tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali. Lea merasa tertantang lalu berkata lagi,"Pangeran?"Frederick menaikan satu alis mata. Lalu memindai penampilan wanita di depannya dari atas hingga ke bawah. Hal itu membuat Lea tampak salah tingkah. Namun, belum sampai lima menit, Frederick seketika melengoskan muka lalu melangkah cepat, melewati Lea. Melihat reaksi Frederick, Lea tercengang, dengan pupil mata melebar sedikit. Cepat-cepat ia memutar badan lalu bergegas mengekori Frederick.Lea berhasil menyentuh lengan atas Frederick sehingga membuat langkah kaki pria itu terhenti. "Pangeran mau ke mana?" Frederick mendengus, menoleh ke belakang. Dengan raut wajah dingin di
Pagi-pagi sekali Katherine sudah bangun. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Katherine menguap sejenak, menatap lurus ke depan. Wajahnya terlihat muram dan matanya tampak sembap karena terlalu lama menangis semalam. Dia melirik ke samping melihat Frederick tengah mengerutkan dahi saat mendengar bunyi grasak-grusuk akibat ulahnya barusan.Secara perlahan Frederick membuka mata, pandangan keduanya langsung bertemu."Katherine kenapa sudah bangun, matahari belum terlihat, ayo tidur lagi." Pelan dan agak serak suaranya, ciri khas seseorang yang baru saja bangun tidur. Katherine menggeleng cepat. "Aku ingin menemui Karl."Frederick menghela napas pendek kemudian duduk tegak. Menyentuh pelan punggung tangan kanan Katherine. "Katherine tidurlah dulu, kau kurang tidur. Ini masih pagi, nanti saja kita bertemu Karl.""Tapi Fred aku ingin sekali bertemu lelaki itu!" protes Katherine. Jika semalam dia mengalah. Tapi, hari ini dia tak mau menghilang kesempatan untuk bertemu Karl. F
"Kau!" Lea meradang. Secepat kilat mengangkat tangan kanan ke udara hendak menampar Katherine.Namun, pergelangan tangannya ditangkap Frederick seketika. Lea terkesiap. Pandangannya langsung terhubung dengan Frederick. Frederick menatapnya sangat tajam sampai-sampai Lea diserang kepanikan mendadak. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin sekarang. "Pang—er—an," ucap Lea terbata-bata."Apa kau ingin dihukum mati juga hah?!" geram Frederick, mencekal pergelangan tangan Lea dengan sangat kuat dan erat. Hingga terdengarlah rintihan pelan keluar dari bibir Lea. Lea menelan ludah berkali-kali saat atmosfer di sekitar terasa sangat dingin dan mencekam sekarang. "Maaf Pangeran aku, ahk!" Lea tersentak. Frederick menghempas kuat tangannya tiba-tiba hingga mengakibatkan dia terhuyung-huyung ke belakang sejenak. Secepat kilat Lea menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. "Shfft ...." desis Lea seraya mengusap pelan pergelangan tangan kanan. Napas Frederick semakin memburu. Sama seperti Kath
Kopenhagen, Denmark.Zaman modern ***"Sabarlah Karl." "Tapi, aku sudah tidak tahan lagi," kata Karl sembari menarik pinggang Lea seketika. "Astaga, lihatlah istrimu masih ada di sini."Karl malah tertawa rendah, tak mempedulikan sosok wanita yang tengah berusaha mendekati mereka sekarang. "Biadap kalian!" Dengan sekuat tenaga Katherine Brown merangkak di atas pasir, mencoba mengapai bayinya yang terbujur kaku, berjarak tiga meter darinya. Malam ini debur ombak di bibir lautan mengalun-alun lembut di telinga Katherine. Udara pun begitu dingin hingga menusuk-nusuk kulit pori-porinya.Katherine sedikit mengigil, menyeret kedua kakinya yang dipenuhi darah. Dia baru saja melahirkan tanpa bantuan siapa pun mengakibatkan perdarahan hebat. "Abaikan saja dia." Karl meraih tengkuk Lea dengan cepat kemudian melumat liar bibir kekasih gelapnya itu. "Mengapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Katherine, mendekap tubuh anaknya yang masih merah sambil melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi
Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar. Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda. Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine. 'Pasti aku sedang di surga?' Katherine masih berpikir dirinya berada di surga. Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung. Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu. "Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu." Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip se
Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut. "Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap. William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang. Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan. Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine. 'Tempat ini keren seka
Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka
Setelahnya Katherine tersenyum hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya berjejer dengan sangat rapi. Dia lirik sekilas ke samping, di mana Grace memandangnya dengan tatapan terkejut. Sampai-sampai bola mata Grace hampir saja keluar. Katherine menggeser sedikit kakinya tiba-tiba."Grace, begitu caranya melamar, 'kan?" tanyanya agak pelan sambil lirik-lirik Frederick ke depan. Sedari tadi Frederick sedang duduk di atas kuda seraya memandanginya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Grace tersenyum meringis hendak membalas. Namun dia urungkan tatkala melihat Frederick mulai turun dari kuda. Tak lupa Grace memberi bahasa isyarat pada Katherine.Katherine buru-buru memandang ke depan sambil melempar senyum lebar pada Frederick, yang saat ini melangkah dengan gagah dan tegap, menghampirinya. Frederick menghentikan langkah kaki tepat di depan Katherine. "Kau bilang apa tadi? Coba ulangi."Karena tinggi badan Frederick tinggi, alhasil Katherine mendongak. Ia membungkuk hormat kembal