“Papa, ayo. Katanya mau ke mal.” Danis berteriak sambil berlari melewati tubuh ini tanpa menyapa.
“Mas, pulanglah! Dan jangan pernah kembali ke sini.” Nia mengusirku. “Aku yakin, keluargamu sangat menantikanmu di rumah. Jangan sampai, kebersamaanmu dengan mereka, terganggu oleh urusan kami. Pergilah. Kehadiranmu sangat tidak diharapkan oleh Dinta dan Danis.”
Kulihat Dinta sudah memegang lengan Pak Irsya dengan erat. “Papa, aku takut.”
“Selama ada papa, tidak akan ada siapa pun yang menyakiti Kakak. Sekarang, kita siap-siap pergi, ya? Nanti beli mainannya pas adek gak lihat.”
Ucapan Pak Irsya pada putriku terdengar sangat akrab. Orang yang tidak mengenal, tidak akan tahu bila mereka bukan ayah dan anak kandung.
Sepertinya, aku memang harus tahu diri. Bahkan, Pak Irsya ikut melewatiku, tanpa menyapa. Hanya Nia yang masih mau berbicara terhadapku.
“Aku pamit, Nia. tolong berikan
“Mas, berhenti bersikap konyol. Aku harap, kamu tidak menjatuhkan harga dirimu lagi dengan tetap berada di sini, atau datang lagi kemari esok dan seterusnya. Lagipula, aku tidak ingin ada yang mencarimu ke sini. Kamu dengar ya, Mas, aku tidak mau lagi berhubungan denganmu ataupun kaluargamu.”Meski kata-katanya sungguh menyakitkan, setidaknya hanya Nia yang masih mau menyapaku. Karena pada dasarnya, dia memang wanita yang baik.“Nia, tolong izinkan aku memeluk Dinta. Sekali ini saja. Bila memang pintu rumah kamu sudah tertutup untukku. Setidaknya, kedatanganku kali ini tidak sia-sia.”Nia terlihat menghela napas panjang. “Mas, Dinta punya perasaan. Dia sendiriyang tidak mau bertemu denganmu. Sudahlah, Mas, nikmatilah hasil dari apa yang kamu perbuat dulu. Saat kamu seolah tidak peduli pada mereka, anak-anakku berusaha menerima, kan? Kami lewati masa-masa sulit tanpa merengek apa pun padamu. Masa kamu yang sudah dewasa, malah b
“Rani, aku mau meminta uang yang dulu kupinjam ke BRI untuk kamu buka usaha. Sekarang, aku sedang butuh modal buat beli mesin jahit.” Tepat satu minggu setelah aku belajar dan mulai bisa menjahit, kuutarakan keinginanku pada istri Iyan.“Lho? Kan, aku yang sekarang membayar setorannya, Mas.” Rani menjawab sambil mengupas bawang.“Kan, baru kemarin kamu nyicil. Dulu, aku pinjamkan sepuluh juta, dan sudah kusetori jumlahnya empat jutanan lebih. Aku minta empat juta saja.”“Itu, Mas Agam tanya sama Mas Iyan aja. Aku tidak tahu urusan hal itu,” jawabnya, tanpa mau menatap wajahku.“Kan, kamu baru dapat warisan. Bisa, lah, diambil segitu buat aku. Gak apa-apa, kan?” tanyaku jengkel.“Kenapa Mas Agam ungkit-ungkit terus warisan aku, sih? Itu hak aku, Mas. Mas Agam gak ada urusannya sama hal itu.” Rani seakan terusik dengan permintaanku.“Aku tahu, itu milik kamu. Tapi, a
“Jangan berkata seperti itu, Gam. Ini adalah ujian dari Allah untuk meningkatkan keimanan kita. Jangan pernah menyesali apa pun. Dalam agama kita, tidak ada karma.”“Terserah Bapak mau berpikir apa tentang semua ini. Yang pasti, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Kalau Bapak memaksa, silakan Bapak ambil tindakan sendiri. Tapi, kupastikan, aku akan pergi dari sini selamanya dan tidak akan lagi menghubungi Bapak. Satu lagi, Bapak harus siap-siap berurusan dengan Pak Irsya,” ancamku, serius.“Terus siapa lagi yang bisa menolong Aira, Gam?”“Bapak saja kalau begitu,” jawabku ketus. Setelahnya, aku kembali melanjutkan kegiatan menjahitku.Tak berselang lama, muncul Mbak Eka dari kamar. Dia duduk di bawah kursiku dengan wajah cemas.“Gam, coba telepon masmu. Beberapa hari ini, tidak.bisa dihubungi. Mbak udah coba hubungi temannya, katanya, dia tidak kembali ke tempat kerja. Mbak khawatir dia
“Aku harus bagaimana lagi, Bu? Sudahlah, ini jalan yang terbaik. Di antara Iyan atau Rani yang akan memberikan ginjal pada Aira. Itu pun kalau ibu masih menginginkan cucu ibu sembuh.” Kataku sewot, sembari berdiri dan melangkah masuk ke kamar.“Coba sekali lagi kamu ke rumah Nia untuk—”“Untuk bunuh diri, Bu? Biar aku dibunuh sama suami Nia? Kalau begitu, coba saja Ibu yang ke sana. Aku capek jadi boneka. Giliran aku pusing gak punya uang, semua kupikirkan sendiri.” Tidak ingin debat berlama-lama, kututup pintu kamar dengan suara keras. Biar ibu paham.Kubaringkan tubuh lelah di atas kasur. Entah mengapa, semenjak kutahu Nia menikah dengan Pak Irsya, hati begitu kosong. Terlebih, saat sendiri seperti seperti sekarang. Bayangan perilaku di masa lalu terekam jelas dalam otak.Kumiringkan tubuh, menatap sisi kosong di sampingku. Dulu, aku pernah mengisi malam penuh gairah dengan ibu dari Dinta dan Danis. Kini,
“Maafkan aku, Bu. Pikiranku sedang kacau. Tapi, demi apa pun juga, tolong, jangan bawa-bawa mereka ke dalam masalah kita.”“Kamu terlihat berbeda setelah balik dari rumah Nia. Apa jangan-jangan, kamu kena guna-guna?” selidik ibu penuh kewaspadaan.“Nia sudah tidak peduli dengan aku, Bu. Buat apa dia mengguna-guna? Apa yang ingin Nia dapat dari lelaki miskin sepertiku?” Kupelankan intonasi bicaraku, berharap wanita yang telah melahirkanku itu sedikit tersadar dengan apa yang dipikirkan selama ini. “Bu, kenapa Ibu masih bawa-bawa Nia ke dalam masalah kita? Aku dan Nia sudah selesai. Bahkan, dia tidak ingin lagi berurusan dengan keluarga ini.”“Ibu tidak akan pernah memaafkan Nia, Gam. Karena dia, keluarga kita seperti ini. Kamu kehilangan pangkat, karena dia. Kamu menjadi lelaki yang tidak beruang, itu semua Nia yang menyebabkan. Dan kini, Iyan serta Rani terancam mendonorkan ginjal pada Aira. Itu semua k
Mendengar bapak berbicara dengan Lik Mimin, entah mengapa, firasat ini mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan masalah baru di keluarga kami.“Kalau timbul masalah, aku tidak mau ikut-ikutan lho, Pak.” Aku berkata sambil meminta gawai pada bapak.“Kamu tenang saja. Niat bapak ini nbaik. Seharusnya, Mimin berterima kasih sama bapak.”Tidak kujawab ucapan bapak barusan. Aku memilih menjahit kembali.***Iyan, Rani, serta Aira pulang saat hampir zuhur. Wajah tegang tegambar jelas dari pasangan suami istri itu.“Bagaimana hasil pemeriksaannya, Yan? Sudah keluar ginjal siapa yang cocok?” Aku memulai pembicaraan, ketika kami beristirahat di ruang makan yang bersebelahan dengan balai tempat menjahit.“Sudah, Mas. Punyaku yang lebih cocok untuk Aira,” jawab Iyan, terlihat lemas. “Mas, gimana dengan masalah biaya?”“Tidak cukup kalau pakai uang Rani?” tanyaku mema
“Mas .... Eh, Mbak. Maaf, jangan ganggu saya. Saya ini orang yang sedang tidak bahagia. Tolong, jangan tambah penderitaan dalam hidup saya,” pintaku, memohon sambil duduk. Berharap, manusia tidak jelas itu iba.“Makanya, kalau tidak bahagia, ayo madam bikin seneng.”Muka tidak berbentuk begitu minta dipanggil madam?“Saya sedang ingin menikmati kesedihan, Mas. Eh, Mbak. Maksud saja, Madam.”Makhluk jadi-jadian itu semakin mendekat dan mulai mengelus tubuhku yang sudah berdiri.“Tolong! Tolong!” Aku berteriak, berharap beberapa pedagang yang berada agak jauh dari sini mendengar teriakanku.“Diem kamu! Kalau berteriak, aku seret dan per*o*a kamu di semak-semak. Atau kalau tidak, aku ceburin kamu ke laut!”Mulutku dibekap menggunakan tangan kekarnya. Suaranya berubah menjadi laki-laki galak. Tubuh ini bergidik ngeri. Meskipun sempat berniat bunuh diri, tapi aku jadi takut saat m
NIAKami pergi ke suatu mal untuk menuruti keinginan anak-anak bermain. Ada yang berbeda dari Pak Irsya. Selama kami duduk berdampingan, pria itu tidak pernah mengajak ngobrol. Dirinya hanya berbincang dengan anak-anak. Sesekali, mereka tertawa bersama dan akan mengalihkan pembicaraan bila diriku ikut bergabung dalam candaan.Beberapa kali kulirik pria yang baru tadi malam mengucapkan ijab kabul padaku. Namun, lelaki di balik kemudi itu sama sekali tidak mengindahkan keberadaan istrinya. Aku merasa sedang tidak diacuhkan. Dan keadaan itu berlangsung sampai kami sampai di tempat parkir.“Kakak, Adik, turunnya hati-hati. Tunggu papa bukain pintu.” Pak Irsya berujar sambil membuka pintu lalu turun, masih dengan tidak memedulikan keberadaanku.Kenapa tiba-tiba berubah? Apa yang salah dengan diri ini?Bila Pak Irsya marah karena sesuatu hal, seharusnya anak-anak masih menganggapku ada. Namun, yang terjadi, aku sama sekali tidak disapa. Aku l