Tumben, Fani diam tak menjawab. Dia hanya terpekur di kursi sambil memasang muka jutek.
“Bapak kenal di mana sama orang aneh itu, sih?” Dia malah bertanya sebal sama Bapak.
“Kan, sudah dijelaskan, Fani. Udah, jangan menyalahkan bapak terus! Maklum, setiap orang pasti pernah salah melangkah. Yang penting kalian tidak ada yang menikah dengan anak Pak Haji.” Bapak terdengar membela diri.
“Kok, bisa-bisanya Nia dihina separah itu, ya, Pak? Cara dia melihat Nia, ibu sangat sakit hati.” ibu ikut berbicara dan sukses membuat bapak menunjukkan muka penuh penyesalan. “Untung sekali, dia menolak perjodohona ini. Coba kalau dia mau sama Nia, bapak pasti akan memaksa Nia, dan tidak peduli sama persaannya.” Wanita itu terlihat kecewa. Lalu, bangkit dari duduknya menuju ke belakang.
Aku sudah tidak ada selera untuk melanjutkan aktivitas tadi. Iseng kubuka story pada kontak HP. Jari ini berhenti pada unggahan seseorang yan
“Waktu naik delman sama om itu, aku seneng banget, Mbah. Kita diajak muter-muter. Omnya juga baik banget sama aku, sama Kakak.” Danis tiba-tiba bersuara. “Kenapa adek sama Kakak gak punya ayah, sih? Ayah kami sudah diminta Aira.”Hening, tidak ada yang menjawab. Bapak juga, dari bertemu Pak Irsya tadi, jadi pendiam.“Kan, Danis sama Kakak punya banyak orang yang menyayangi. Ada Mbah Uti, Mbah Kakung, Ibu, juga Tante Fani. Jadi, gak ada ayah juga gak apa-apa.” Ibu berusaha menghibur.Aku tahu, walaupun telah berkata demikian, pasti ada luka dalam hati wanita. Karena tidak bisa dipungkiri, perkataan Danis menyayangi hati semua orang terluka.“Tapi pengin kayak teman-teman, Mbah .…” Dinta ikut menyahut.Aku dan Fani kompak melihat ke arah Bapak. Beliau masih terdiam. Syukurnya, tak berapa lama, kedua anak itu tidur.“Nia, kamu tadi janjian?” Akhirnya, setelah ribuan detik
“Nia, tolong bilangin sama adikmu. Aku berhak mendidik dia. Aku tidak mengajaknya pada jalan kesesatan. Belum apa-apa, sudah membangkang.”“Maaf, Mas Umar—”“Mbak! Kenapa pakai panggil dia kayak gitu segala, sih?”Belum selesai bicara, Fani sudah memotong saja. Dinta dan Danis—yang sedang bermain—menatap Umar penuh ketakutan.“Kakak, bawa Adek ke rumah Mbah, ya? Sekalian minta Mbah Kung ke sini,” perintahku, langsung dijawab anggukan oleh si Sulung. Lali, aku kembali fokus pada Umar. “Kamu mau ajak adikku ke mana? Dan atas dasar apa kamu mengajaknya?” tanyaku mencoba sabarAku memang lebih suka menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Jadi, selagi mampu mengendalikan diri, akan aku coba.“Kamu tahu, kan, kemarin aku sudah mengkhitbah Fani? Jadi,, aku sudah harus mulai menata masa depan tentang akhirat dia. Aku tidak mau, istriku kelak menjadi wanita ahli n
Aku tahu kalimat itu hanyalah alasan yang akan dijadikan pembenaran atas yang ingin ia sampaikan. Perasaanku mulai tidak tenang. Sebagai ibu, tentu hati ini sangat tahu, bila ada sesuatu yang tidak baik yang akan menimpa anak-anak. Pastilah rasa khawatir itu hadir.“Jangan bertele-tele, Mas. Langsung saja ke pokok permasalahan.”“Aku sangat berhak atas Dinta, apa pun itu. Jadi, apa yang aku lakukan terhadap dia, kamu tidak berhak melarang.”Kulirik Mas Agam dengan tajam. “Bicara yang jelas, Mas!”“Aira, cepat atau lambat, harus mendapatkan pendonor ginjal. Setelah kami diskusi, maka diputuskan, Dinta yang akan menjadi pendonor ginjal untuk Aira. Dengan atau dengan izin kamu, Nia.”Jangan tanya sehancur apa perasaanku saat ini. Aku sama sekali tidak menyangka Mas Agam sampai hati untuk berpikir sejauh itu.kAku kasihan pada Dinta, kalau harus menjalani operasi saat besar nanti, itu akan berpenga
“Berhenti memberikan saran konyol yang tidak masuk akal, Nia! Terimalah dengan lapang dada, anggap ini sebagai amalan baik dari kita. Demi kelangsungan hidup Aira. Apalah artinya hidup di dunia yang hanya sebentar ini kalau tidak untuk saling berbagi?”Aku sudah kehabisan kata. Segera kuambil tas yang tergelatak di atas kursi tadi dan mengalungkan dengan asal pada pundak. Aku tidak mampu lagi bicara dengan orang ini.“Masa depan dan keselamatan Aira terletak pada Dinta, tolong Nia, jangan egois!” Suaranya masih menghiba.“Aku, tidak peduli! Mau dia menderita atau sekarat, itu bukan urusanku maupun Dinta. Anggap saja ini balasan atas perbuatan kalian terhadap kami.”Selesai berkata demikian, aku melangkah menuju motor yang yang terparkir tak jauh dari tempat kami duduk. Tak kuhiraukan Mas Agam yang masih memanggil namaku.Setelah bertemu Mas Agam, aku langsung pulang ke rumah ibu. Akan kusampaikan hasil pert
“Kalian ke sini minta harta gono gini, saya masih bisa menghadapi dengan sabar. Bahkan, seluruh keluarga dikerahkan pun, saya tidak sampai naik pitam,” tegasku dengan lantang. “Tapi jika kedatangan kalian kali ini untuk meminta ginjal Dinta, aku tidak akan pernah bisa menerima. Pergi sekarang, atau akan kuambil air keras untuk menyiram muka kalian satu per satu?”Ancaman yang kusampaikan ini sungguh nyata adanya. Sepertinya, masih ada air keras sisa Agam waktu masih berstatus sebagai suamiku.“Mbak, kumohon, jangan lakukan itu pada kami. Tolong, Mbak, pahami keadaan kami. Berbuat baiklah kepada kami, Mbak, sekali ini saja. Akan kulakukan apa saja, agar Aira mendapatkan ginjal Dinta.” Rani bersimpuh di kakiku.“Nia, kami sudah terlanjur mengkonsultasikan ini dengan dokter yang menangani. Dinta, meskipun masih kecil, bisa mendonorkan ginjalnya. Asalkan ada persetujuan dari pihak orang tua.” izinkan Dinta ikut k
RaniNamaku Rani Khairunisa. Aku hanyalah gadis lulusan Sekolah Menengah Pertama yang dianugerahi wajah yang sangat cantik. Wajahku memilki bentuk yang sempurna. Hidung mancung, bibir tipis, dengan mata berbulu lentik.Waktu itu, diriku adalah seorang kembang desa. Banyak sekali pemuda kampung yang berlomba mendekati, termasuk seorang guru yang mengajar tidak jauh dari rumah.Kami sempat menjalin hubungan, tetatapi harus kandas karena orang tuanya—berasal dari keluarga terpandang—tidak menyetujui bila hubungan kami berlanjut. Alasannya, tidak lain karena, latar belakang pendidikan dan strata sosial yang tidak sepadan dengan mereka.Setelah putus dengannya—tentu—masih banyak yang ingin menjalin hubungan denganku. Dari semua pemuda yang mendekati, hanya Mas Iyan yang memiliki kesempatan untuk singgah di hati ini. Kami berdua bertetangga kampung.Awal perjumpaan terjadi saat aku bekerja di sebuah toko fotokopi. Sementara Mas Iy
Niat mereka mendukung perceraian kakak iparku batal karena melihat kondisi Mbak Nia yang karang. Dia sudah sangat sukses dengan usaha yang digeluti. Apalagi dia juga sudah bermobil sekarang. Segala upaya dilakukan, tapi Mbak Nia bersikukuh tidak mau lagi hidup bersama Mas Agam. Hingga akhirnya, sebuah peristiwa memalukan menimpa Mas Agam dan semakin mempermudah proses perceraian yang diajukan Mbak Nia.Keuangan keluarga ini jadi kacau pasca terjadinya penggerebekan di rumah Mbak Anti. Uang yang akan digunakan untuk perjalanan umroh bapak dan ibu mertua, harus dikuras habis untuk membayar denda yang diajukan pemerintah desa tempat Mbak Anti tinggal.Pangkat dan jabatan mereka pun ikut diturunkan. Tentu hal itu berpengaruh pada jumlah gaji yang diterima Mas Agam. Kini, dia juga tidak lagi menerima tunjangan sertifikasi. Namun, lelaki itu tetap berjanji akan membayar setoran bank yang diajukan untuk usahaku ini.Mbak Anti sangat berbeda dari Mbak Nia. Sebelum menik
Mbak Anti menatap tajam pada diriku yang duduk di lantai bersandar tembok. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.“Mbak, jangan bicara sembarangan pada istriku. Aku tidak suka. Lagian, Mbak ini belum ada kedudukan apa-apa di rumah ini. Jadi, tidak berhak berbicara seperti itu pada Rani yang notabene menantu di keluargaku.”Mas Iyan, sudah pasti akan melindungiku.“Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja?” Dengan cepat, Mbak Anti membalikkan ucapan Mas Iyan. “Maaf ya, aku bingung dengan jalan pikiran kalian. Apa kalian akan tega pada Dinta? Banyak orang yang bisa mengajukan diri di sini. Bapak, Ibu, Iyan, Rani, Mbak Eka. Bila kalian memang sayang pada Aira.”Yang ada, aku yang heran. Kenapa Mbak Anti malah menentang keputusan keluarga ini? Apa haknya, coba?Aku hanya diam, tidak bisa melawan Mbak Anti. Aku ini wanita yang berpendidikan rendah, tentu Mbak Anti bukanlah tandingan untuk adu bicara. Terlebih tidak ada Mbak Ek