Jingga merasakan hembusan napas pria itu menerpa kulit leher. Ia berpikir, mungkin Davin masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera bersama Vincent. Keduanya diam sesaat. Davin seolah sedang menghilangkan rasa lelahnya dalam pelukan Jingga. Dan Jingga memilih mengelus belakang kepala pria itu dengan penuh kasih sayang. “Dave?” “Hm?” gumam Davin tanpa mengangkat wajahnya dari ceruk leher Jingga. “Aku merasa, studio ini bisa lebih dari sekadar tempat aku melukis," ucap Jingga, mencoba mengungkapkan apa yang ada di benaknya sejak tadi. "Rasanya sia-sia kalau cuma aku yang menggunakan semua ruangan ini." Davin akhirnya mendongak, memandangi Jingga dengan penuh perhatian. "Kamu punya rencana lain, Sayang?" “Hm.” Jingga mengangguk. "Aku ingin studio ini menjadi ruang kreatif untuk orang lain juga. Mungkin bisa diadakan kelas seni, workshop, atau mungkin galeri kecil untuk seniman lokal. Tempat di mana orang-orang bisa belajar, berkarya, dan berbagi inspirasi," jelas Jin
“Kenapa bengong, Sayang?” Sebuah kecupan Davin berikan di bibir sang istri, membuat Jingga keluar dari keterpakuannya. “Kita belum pernah berkencan di motor, ‘kan? Aku rasa ini akan jadi momen yang romantis.”Mata Jingga seketika berbinar-binar. Beberapa saat yang lalu ia memang sempat menonton video pendek sepasang kekasih yang berkencan, berkeliling kota menggunakan motor, di media sosialnya. Dan Jingga mengomentari postingan tersebut bahwa ia juga memimpikan hal yang sama bersama suaminya.Namun, Jingga tidak menyangka Tuhan akan langsung mengabulkan keinginannya secepat ini.Jingga tidak tahu bahwa tadi Davin sempat melihat komentarnya di postingan tersebut saat ponselnya tertinggal di rooftop, yang membuat Davin segera berinisiatif memerintahkan Vincent untuk membawa motornya saat itu juga.Kini Jingga tersenyum lebar seraya memandangi Davin. Pria itu... auranya benar-benar terlihat berbeda. Tampak gagah dengan jaket hitam dan helm full face-nya.“Dave, aku nggak lagi mimpi, ‘kan
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hujan. Air hujan membasahi tubuh Davin. Jingga merasa bersalah, tapi ia juga merasa terharu dengan pengorbanan pria itu untuknya.Akhirnya, mereka tiba di rumah. Jingga bergegas melepas jas hujan dan menatap khawatir pada Davin yang basah kuyup. Ia segera membawa Davin masuk ke dalam rumah setelah melepas jaket yang dikenakan suaminya itu.“Bik, gimana keadaan Oliver?” tanya Jingga saat berpapasan dengan Arum yang membukakan pintu—yang juga terkejut dan khawatir melihat kondisi Davin.“Den Oliver baru saja tidur setelah saya kasih susu, Bu. Sekarang ada di kamar.”Jingga mengangguk. Ia dan Davin masuk ke kamar utama. Saat Jingga akan membantu mengeringkan tubuh suaminya, pria itu cepat-cepat berkata dengan lembut, “Kamu cek dulu Oliver, ya? Aku bisa mengeringkan tubuhku sendiri.”“Aku nggak mau kamu sakit,” kata Jingga dengan khawatir sambil memegangi handuk.Davin tersenyum, menyentuh pipi Jingga dengan jemarinya yang terasa dingin. “Tenang saja, a
Pukul sebelas malam, Jingga baru berhasil menidurkan Oliver lagi setelah minum obat yang diberikan Dokter Indra tiga jam yang lalu. Saat bersama ibunya, Oliver memang tidak terlalu rewel, tapi selalu ingin ditemani.Jingga menggendong Oliver, memindahkannya dari kamarnya ke kamar utama.Begitu memasuki kamar tersebut, Jingga cukup heran melihat Davin sudah terlelap di atas kasur sambil bergelung selimut.Terdengar rintihan dan igauan Davin yang membuat Jingga merasa terkejut sekaligus khawatir.Lebih dulu Jingga menaruh Oliver ke dalam box bayi, lalu bergegas mendekati Davin dan duduk di sebelahnya.“Dave, kamu kenapa?” tanya Jingga lembut seraya mengusap pipi suaminya. Ia kaget karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. Tubuh Davin menggigil. “Ya Tuhan, kamu demam!”Jingga segera beranjak untuk mengambil obat penurun panas. Namun, igauan Davin kembali terdengar, membuat langkah Jingga terhenti di ambang pintu.“Jingga... jangan pergi... temani aku di sini.”Akhirnya, Jingga kembali du
Di satu sisi, Jingga merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Namun, di sisi lain, sikap dan ucapan Davin membuat Jingga terperangah hingga ia nyaris tertawa. Selain terlihat seperti lelaki paling menderita, Davin juga terlihat seperti hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di bumi. Jingga duduk kembali di samping Davin, tersenyum seraya mengusapkan jemari lentiknya di dagu pria itu. “Seluruh harta milik kamu itu nggak berarti buat aku, kalau nggak ada kamu dalam hidupku,” ujarnya, lembut. “Jadi jangan bicara aneh-aneh. Istirahat saja di sini, aku yakin nanti sore juga kondisi kamu akan kembali membaik.” Davin memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia raih tangan Jingga dari dagunya dan mengecup telapak tangan itu. “Terima kasih, Sayang. Jangan pergi lama-lama. Selesai masak ke sini lagi.” Jingga mengangguk. Ia mengacak rambut suaminya sambil terkekeh pelan, sebelum akhirnya ia keluar dari kamar dan bergegas membuatkan sup untuk sarapan Davin dan MPASI untuk Oliver dibantu oleh Arum
Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela, berhasil membangunkan Jingga dari tidur lelapnya pagi itu. Namun, saat ia membuka mata, ia tidak melihat Davin di sisinya. Begitu pula dengan Oliver. Dan Jingga merasa kaget kala melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Aku kesiangan!” desis Jingga sambil buru-buru turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Mungkin karena malam sebelumnya ia kurang tidur, jadi tadi malam ia benar-benar tertidur nyenyak. Oliver tidak rewel. Begitu juga ayahnya. Lima belas menit kemudian Jingga keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Ia terlebih dulu mencari kedua lelakinya ke kamar Oliver, tapi di kamar itu tampak kosong. Ke mana mereka? Samar-samar Jingga mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruang tamu. Dengan penasaran, ia datang ke sana. Terlihat Davin sedang menggendong Oliver, duduk di sofa dengan Lucy yang duduk di hadapannya. “Mas, kamu yakin baik-baik saja?” Suara Lucy terdengar penuh kekhawatiran. “Dok
Davin memasuki ruang kreatif Jingga tanpa menimbulkan suara. Ia segera menempelkan jari telunjuk di bibirnya saat Arum akan menyapanya.Arum mengerti, ia hanya mengangguk dan mengalihkan perhatian Oliver pada mainan di hadapannya. Oliver tidak menyadari kedatangan ayahnya, sebab jika tahu, anak itu pasti akan berteriak memanggil-manggil ‘papa’.Davin mendekati Jingga yang sedang duduk di depan kanvas dengan posisi membelakanginya. Jemari wanita itu tengah menggoreskan pensil, membuat sketsa pada kanvas. Jendela besar di hadapannya memperlihatkan taman kecil di rooftop.“Selamat sore, Sayang,” bisik Davin seraya mengecup pipi Jingga dari belakang.Seketika, Jingga berjengit. Ia menurunkan tangannya, menoleh dan menghela napas lega kala melihat Davin. “Kamu bikin aku kaget, tahu?”“Maaf. Aku sengaja melakukannya untuk memberimu kejutan.” Davin tetap merundukan badan di belakang Jingga dan mencium puncak kepalanya.Lantas Davin menyerahkan setangkai bunga mawar merah yang sejak tadi ia s
Jingga merasakan darahnya mendidih. Pikirannya berkecamuk saat ia mendengar ucapan wanita tersebut. Cemburu mulai merayapi hatinya meski Davin yang mereka maksud belum tentu Davin suaminya.“Davin? Laki-laki yang kita lihat barusan? Yang bersama anak kecil dan perempuan tua yang seperti pembantunya itu?”“Iya.”Jingga seketika lupa bagaimana caranya bernapas. Ternyata benar. Davin yang mereka maksud adalah suaminya. Sedangkan wanita tua mungkin maksudnya Arum.Jingga mengurungkan dirinya untuk keluar dari bilik toilet dan memilih mendengarkan percakapan mereka.“Dulu dia sering datang ke club-nya Danish, hampir setiap malam.” Terdengar suara air mengucur dari keran saat wanita itu bicara. “Kamu tahu nggak? Dia jadi idaman di sana. Banyak wanita yang berusaha dan bermimpi naik ke ranjang dia.” Wanita itu terkekeh-kekeh.“Terus? Dia meniduri semua perempuan itu?”“Nggak. Cuma yang memenuhi spesifikasi dia saja yang dipilih. Seperti aku?”“Ya... ya... aku percaya. Kamu nggak perlu diragu