Halo halo .... Hari ini update lebih cepat. Kelanjutannya besok lagi ya, guys. Terima kasih sudah membaca.
"Cium aku," pinta Lucas dengan suara yang bercampur desah. Napas Rachel kembali tersendat. Ketegangan di sekujur sarafnya tidak lagi terelakkan. Selama ini, selalu Lucas yang mencium lebih dulu. Sesuatu selalu menahan dirinya untuk memulai ataupun menyambutnya. "Kau tidak mau?" Nada bicara sang pria menyiratkan ancaman. Rachel menelan ludah. Ia beringsut mendekat, berjinjit meraih bibir Lucas. Baru satu detik mereka bersentuhan, Lucas sudah menahan tengkuknya, mengecup lebih dalam. Tangan yang semula bermain-main dari luar kini menelusup ke balik pakaian. "Sayang, jangan terlalu kuat. Akh!" Rachel mendongak dan terpejam. Tangannya yang sejak tadi enggan menyentuh Lucas, kini mencengkeram pundaknya. Lucas baru saja menyingkap bajunya, memberinya gigitan yang menggetarkan setiap sel dalam tubuhnya. "Sayang, kubilang pelan-pelan," pinta Rachel, mulai mendesah. Ia sadar matanya mulai basah. Perasaan tidak nyaman itu telah kembali menyelubungi hatinya—pengap dan sesak. Alih-alih me
Sang wanita melirik Edmund dengan mata berkaca-kaca. Rasa bersalah tampak jelas di matanya. Namun, sedetik kemudian, pandangannya kembali pada Lucas. "Kita adalah dua insan yang saling mengandalkan untuk kabur dari ketakutan. Maaf kalau pada akhirnya, aku harus mengecewakan kamu. Tapi aku tidak bisa lagi meneruskan." Lucas menggeleng, mengingkari apa yang terbersit dalam benaknya. "Apa yang kau bicarakan, Rachel? Aku sungguh tidak mengerti." "Aku sudah curiga sejak awal, saat terbangun dari koma," aku Rachel menebar keheningan dan kekakuan di udara. Edmund dan Lucas hanya terpaku menatapnya. "Saat itu, semua terasa aneh bagiku. Kau bilang kalau aku adalah Rachel, tapi nama itu terasa asing bagiku." "Kau juga bilang kalau aku istrimu, lalu kau memelukku. Tapi tubuhku sama sekali tidak mengenalimu. Pelukanmu tidak terasa hangat bagiku. Aku malah merasa canggung." Rachel berhenti sejenak. Ia melirik Edmund, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Ia tidak mungkin mengaku bahwa
"Bahkan saat bertemu denganmu di Mauritius,” ujar Alice serak, “aku menyangkal kalau hatiku mengenalimu. Aku takut kalau kau ternyata memang suamiku. Aku merasa belum siap menghadapi masa lalu." Raut Edmund kembali kaku. Kekhawatirannya muncul. Apakah Alice hendak mengatakan bahwa ia tidak mau pulang bersamanya? "Lalu kau datang kemari,” lanjut Alice, membuat Edmund menahan napas. “Kau menunjukkan bukti-bukti kalau aku Alice. Aku sadar bahwa semua itu masuk akal, bahwa aku adalah istrimu yang hilang. Tapi aku tetap dengan egoku. Aku dengan teganya mengabaikan semua itu, menganggapmu sebagai orang aneh. Padahal, akulah yang egois dan terlalu takut dengan takdir." Ketegangan Edmund seketika luntur. Alice kini menatapnya dengan raut bersalah. Tarikan napasnya bertambah berat. "Aku sama sekali tidak punya bayangan tentang bagaimana hidupku sebelumnya, Tuan Hills. Apakah aku orang yang jahat atau aku orang yang selalu ditindas? Aku takut kalau aku sebetulnya bukan ibu yang baik bagi Sky
"Karena itukah Paman Ed mengira kalau Mama dan aku adalah istri dan anaknya? Karena Mama memang Alice? Istrinya yang hanyut di sungai?" Sky menarik kesimpulan yang termudah. Alice mengangguk. "Benar, Sayang." "Jadi, Paman Ed adalah suami Mama yang sebenarnya? Dia adalah Papa-ku?" Edmund ikut menekuk lutut. "Apakah kamu sedih karena aku adalah ayahmu yang sebenarnya?" Sky menggeleng malas. "Tidak, tapi aku bingung. Kenapa kita harus pindah dari sini? Bagaimana dengan Papa Lucas? Dia pasti kesepian kalau kita meninggalkannya sendiri. Kenapa dia tidak ikut dengan kita?" Melihat pundak Sky yang lunglai, Edmund dan Alice bertukar pandang. Selang satu helaan napas, Alice menariknya ke dalam pelukan. "Maafkan Mama, Sayang. Mama telah menempatkan kamu dalam posisi yang sangat membingungkan." Ia mengecup kepala Sky, mengelus rambutnya dengan penuh cinta. "Mama tahu kamu sangat menyayangi Papa Lucas. Banyak hal yang sudah kita lakukan bersamanya. Tapi sekarang, Paman Ed datang menjemput
"Tidak ada masalah, Sky,” geleng Edmund. “Aku baik-baik saja. Sekarang, bagaimana kalau kalian ke ruang tunggu? Aku harus menebus obat dan menyelesaikan administrasi." Belum sempat Edmund melangkah, Alice mengambil kertas di tangannya. "Biar aku yang urus. Kau dan Sky duduk saja di ruang tunggu." Sementara Alice keluar dari ruang dokter, Edmund menatap Sky dengan tatapan sendu. "Mau pergi ke taman bersamaku?" Alis Sky berkerut. "Apakah tidak masalah? Mama meminta kita duduk di ruang tunggu. Bagaimana kalau Mama kebingungan mencari kita nanti?" Edmund menggeleng lemah. "Dia bisa melihat kita dari ruang tunggu. Tamannya di dekat situ." Ia mengulurkan tangan. "Mau pergi bersamaku?" Sky pun mengangguk. Sambil menggenggam telunjuk Edmund, ia keluar dari ruangan itu. Setibanya di taman, mereka duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon mangga. Edmund mendongak, memperhatikan buah-buahnya. Ia kira Sky juga melakukan hal yang sama, mengenang keseruan mereka di hutan. Namun ternyata
"Omong-omong," Edmund kembali berbisik, "apakah kau yakin semua keperluan kalian sudah terpenuhi? Kau belanja sedikit sekali tadi. Aku bahkan tidak melihat piama." Rachel menepuk-nepuk ransel di dekat kakinya. "Aku sempat berkemas tadi. Untuk 48 jam." Edmund menatap Alice lekat-lekat. Ia berusaha menemukan penyesalan dalam matanya. Namun ternyata, tidak ada. "Kalau kalian butuh pakaian ataupun keperluan lagi, jangan ragu untuk meminta kepadaku, oke? Uangku juga uangmu. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk memastikan kenyamanan kalian." Mendengar ketulusan itu, lengkung bibir Alice melebar. "Aku mengerti. Terima kasih, Tuan Hills." Senyum Edmund berubah miring. Ia mendadak rindu dengan suara Alice menyebut namanya. Namun, takut membuat sang istri tak nyaman, ia mengangguk samar. Ia sadar, bagi Alice, mereka berdua adalah orang asing yang baru kenal. Mereka butuh waktu untuk membangkitkan perasaan dan kenangan lama. Setibanya di hotel, Alice sibuk membawa ranselnya, ransel Sky, dan
Sambil menaruh tangan di atas pagar, Edmund menatap ke langit. "Kuharap kau tidak lupa bahwa aku adalah suamimu," gumamnya samar. Sengaja, agar Alice lebih menyerap maknanya. "Aku tidak lupa," balas sang istri, terdengar seperti menggerutu. "Kalau begitu, katakan saja apa yang mengganggu pikiranmu." Edmund menoleh dengan senyum manis. Tidak ada lagi kesan mengintimidasi dari mata hijaunya yang jernih itu. "Apakah kau memikirkan aku?" Edmund bermaksud untuk mencairkan suasana. Namun, tanpa terduga, Alice mengangguk. "Aku merasa semua ini tidak adil untukmu." Dalam sekejap, raut Edmund membeku. Hatinya tergelitik oleh sesuatu. "Kau sungguh memikirkan aku?" Alice menggigit bibir sejenak. Ia sadar suaminya terharu. "Kau tahu semua tentang diriku, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," ujarnya lirih. Edmund menggeleng sigap. "Kau bukannya tidak tahu, Alice. Kau hanya lupa. Kau adalah orang yang paling mengenalku di dunia ini, bahkan melebihi diriku sendiri." "Benarkah?" Alice
Begitu terbangun, Edmund langsung disapa oleh wajah bulat putri kecilnya. "Selamat pagi, Paman Ed. Apakah tidurmu nyenyak?" Edmund tersenyum dan mengelus kepala Sky. "Sangat nyenyak. Apakah kau bermimpi bayi trenggiling lagi?" Sky mengangkat wajahnya dari bantal, menggeleng kecil sebelum menurunkannya lagi. "Aku bermimpi bermain bersama Gigi dan Gusi. Ada Canis juga. Felis hanya menonton dari beranda. Dia masih pemalas." Edmund terkekeh gemas. "Lalu di mana ibumu?" Telunjuk Sky meruncing ke sebuah pintu. "Mama sedang mandi." Alis Edmund sontak terangkat. "Dia mandi lagi? Bukankah sebelum tidur dia sudah mandi?" Sky mengangkat pundaknya ringan. "Mungkin Mama berkeringat saat tidur semalam. Mama takut badannya bau saat di pesawat." Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Saat Alice melangkah keluar, Edmund terkejut melihatnya. "Alice, ada apa dengan matamu? Apakah semalam kau tidak tidur?" Sementara itu, Sky terkikik geli. "Mama terlihat seperti panda." Alice meringis dan mengga